"Mommy tidak tahu tentang kematian Papa," tutur Elgar. Pria berwajah khas bule itu mendesah dengan menatap lurus ke depan.Aku sudah bisa Menebaknya. Tentu saja Mommy Rosa tidak tahu berita duka itu, itulah sebabnya dia tidak datang di pemakaman suaminya. Mungkin saja mereka sudah bercerai. "Mereka masih sah suami istri." Seperti tahu apa yang ada di pikiranku Elgar pun menjelaskan status kedua orang tuanya. "Ah... iya," Aku menatap pada pria yang juga tengah menatapku itu. Pandangan kami bertemu beberapa saat sampai aku yang lebih dulu memutuskannya. Rasanya tak sanggup menatap lebih lama lagi bola mata yang menghanyutkan itu. Kualihkan tatapanku ke depan. Kearah gelombang air danau yang meliuk-liuk karena tertiup angin. Setelah mengantar Mommy Rosa untuk beristirahat, Elgar mengajakku ke sebuah kafe dekat danau. Suasana cukup ramai pengunjung meski sudah menginjak pukul sebelas malam. Hari yang semakin malam tak menyurutkan niat orang-orang di sini untuk menghabiskan waktu di mu
"Baiklah, besok aku libur. Aku akan menemaninya." Kurasa tidak ada salahnya aku menemani ibu mertuaku. Wanita itu sudah banyak menderita jadi sedikit membuatnya bahagia tidak akan membuatku rugi. "Kamu serius?" Elgar menatapku lekat. Tatapannya seolah menarikku masuk jauh ke dalam lautan tak bermuara. Degh....Spontan aku memegang dadaku, jantungku rasanya bertalu-talu. Kukedipkan mataku beberapa kali sampai akhirnya aku tersadar dan segera mengalihkan pandangan ke arah lain. "Khem.... Iya, besok aku akan menemaninya." Masih dengan jantung yang berdetak tak biasa aku menjawabnya. "Yakin? Bagaimana dengan teman-temanmu?" Kulirik pria itu masih saja mengarahkan tatapannya padaku. Kenapa hari ini Elgar sangat aneh?"Yakin." Jawabku singkat.Putra sudah membuat alasannya. Kurasa itu sudah cukup untuk meyakinkan Miranda dan Nathan. Lagi pula dua seniorku itu tidak mengenal teman-temanku selain Raisa dan Natalia. "Bisa kita kembali ke hotel sekarang?" Suasana aneh ini harus segera dia
"Kalian kenapa?" Mommy Rosa menatap kearahku dan Elgar bergantian. Matanya yang biasanya sendu berubah tajam, menelisik ekspresi kami yang sejak tadi sama-sama diam. Aku duduk di ujung ranjang sedangkan Elgar dengan sikap sok cool-nya duduk diatas sofa di pojok ruangan. Saat kami datang Mommy Rosa masih belum siap. Jadilah kami menunggu. "Kenapa sejak tadi saling diam?" tanyanya lagi setelah selesai memoles wajahnya dengan make up. Kuhela nafas saat ingatanku tertarik mundur pada kejadian setengah jam yang lalu. Hal itu membuatku jadi serba salah. Mungkin tidak hanya aku Elgar pun merasakan hal yang sama. Terbukti dengan sikapnya yang tiba-tiba canggung."Apa kalian bertengkar?" "Tidak." Seperti ketahuan melakukan salah kami kompak membantah. Tangan pun begitu kompaknya, Sama-sama melambai mengisyaratkan kata 'Tidak'. "Kalian tidak bohong?" Sontak aku menggelengkan kepalaku sedang Elgar membuang muka. Kenyataannya kami tidak bertengkar, Elgar yang bertengkar dengan wanita itu. J
"Baiklah." Dengan sangat terpaksa aku pun menyetujui permintaan Mommy Rosa. Sontak saja Elgar menatapku dengan penuh tanya. Pria itu melebarkan matanya seolah tak yakin dengan yang aku ucapkan. Kuangkat bahu, entahlah. Aku juga arak yakin tapi mau bagaimana lagi. Mommy Rosa tak kalah keras kepala dengan sang putra. Membiarkan Mommy di sini tanpa adanya Elgar juga tidak mungkin. Aku sendiri juga harus kerja. Jadilah aku berjanji meski, jujur aku sendiri juga tidak yakin bisa memenuhinya. Hari raya hanya tinggal satu minggu dan penelitian masih dalam tahap penyelesaian. Mungkinkah aku bisa dapat libur, itu masih belum bisa dipastikan. "Shila serius kan, Sayang?" Rona bahagia terpancar dari wajah wanita berkulit putih itu. Matanya berbinar menampakkan betapa dirinya sangat bahagia. Di peluknya tubuh ini dengan erat dan penuh kasih sayang. Tak lupa ucapan terima kasih yang di lantunkannya berulang-ulang. Padahal itu masih janji, belum terjadi. Tapi Mommy Rosa sudah sebahagia itu. A
Hah..... Apa aku tidak salah dengar. Sepertinya si pria habis terbentur kepalanya. Alih-alih meladeninya aku putuskan untuk masuk ke kamar mandi. "Waktumu lima menit, pergi dari sini sebelum akun keluar dari kamar mandi." Kataku sambil berlalu menuju kamar mandi. Mencuci tangan, kaki dan muka. Berganti pakaian dengan piyama tidur. Sudah lebih dari sepuluh menit dan aku pun keluar kamar mandi. Bukan seperti yang kuharapkan. Elgar bukannya pergi malah merebahkan dirinya diatas ranjang. Tangannya sibuk memainkan ponsel. Sempat melirikku sebentar lalu kemabli fokus pada benda pintar yang sejak tadi menjadi fokusnya. "Astaghfirulla.... Kenapa di sini sih?" kesalku menghentakkan kakiku ke lantai. Ingin sekali aku menarik pria itu bangun dari tempat tidurku namun ingatan tentang kejadian malam itu membuatmu mengurungkan niat. 'Tidak, tidak.... jangan sampai ciuman yang tak di sengaja itu terulang kembali.' Tanpa sadar aku menggeleng-gelengkan kepalaku. "Elgar keluarlah!" Kupelankan na
Gema takbir terdengar sahdu dari layar televisi yang terpasang di ruang tunggu bandara. Membuat hati terasa haru biru. Teringat akan orang tua dan sanak saudara yang terpisah jarak dan waktu. Di tengah sibuknya suana bandara aku dan Nathan duduk sambil menatap kameriahan takbir akbar yang disiarkan langsung dari salah satu chanel televisi. Tak hanya aku ada sekitar enam rekan kerja termasuk Profesor Wiliams dan Vero tengah menunggu panggilan cek inn dari petugas bandara. Tujuan kami adalah kembali ke Jepang untuk menyerahkan laporan penyelesaian proyek penelitian kemarin. Berbeda dengan aku dan Nathan, dua anggota tim kami sudah pulang ke Indonesia sejak siang tadi. Ini adalah bentuk dari solidaritas dan toleransi untuk yang merayakan hari raya, di izinkan langsung pulang ke negaranya masing-masing. "Shila, selamat hari raya. Semoga perjalananmu lancar." Devi yang juga seorang muslim pamit karena akan cek inn lebih dulu. Pesawat menuju negaranya akan segera lepas landas. "Iya, sela
"Oh... Ma maksudku ya kamu dan Mbak Miranda. Kalian selalu kayak gitu, apa kalian pikir aku anak kecil?" Nathan pun menghela nafas lalu menatapku dengan tatapan yang entah, sulit kutebak. "Kamu juga keras kepala. Tidak bisa mengerti persaanku." "Aku bisa sendiri, Nathan. Tolonglah jangan buat aku merasa tak enak dengan orang tuamu," kataku setengah putus asa. Nathan diam, seolah sedang memikirkan sesuatu. Sampai akhirnya terdengar lagi helaan nafas berat dari bibirnya. "Baiklah, jika itu yang kamu mau. Jangan lupa kirim pesan begitu sampai dan jangan mengabaikan pesan juga telponku!" Spontan aku mengembuskan nafas lega. Akhirnya......"Iya," jawabku lalu kembali memakan sandwich yang tinggal setengah.****Setelah mengantar Nathan ke pintu cek inn aku bergegas menuju pintu keberangkatanku sendiri yang jadwalnya hampir bersamaan. Hampir saja telat, tapi aku masih punya sedikit keberuntungan. Kurasa Vero ada benarnya juga, aku memang sangat beruntung. Dengan petunjuk dari pramugari
"Lihat ini!" Ku tunjukkan layar ponselku ke depan wajah Elgar. Selesai makan malam aku menyeret pria itu ke halaman samping mansion. Beruntung Mommy Rosa tidak banyak bertanya. Sepertinya ibu mertuaku itu mengira kami ingin berduaan setelah hampir dua minggu tidak bertemu. "Baca!" perintahku saat Elgar hanya menatap datar padaku. "CEO tampan dari perusahaan Romanov tertangkap kamera menganggandeng seorang wanita yang kabarnya adalah istri yang selama ini dirahasiakannya." Dengan suara bergumam Elgar membaca judul artikel yang tadi dikirim oleh Raisa. "Ternyata lebih cepat dari perkiraanku." Komentarnya setelah mengembalikan ponselku. Tak ada ekspresi kaget atau marah sama sekali. Sungguh bukan reaksi yang kubayangkan. Pria itu nampak tenang sekali, berbeda denganku yang sudah panik setengah mat*."Hanya itu?" Aku menatapnya dengan pikiran yang dipenuhi tanda tanya. "Memangnya apa lagi?" katanya sambil mengangkat pundaknya. Eh..... ini orang kok santai sekali. "Mereka memberit