Candrakanti mengendap-endap diantara pepohonan hutan. Ia datang di hutan Ganggeya tepat seperti yang diperintahkan Jentra secara diam-diam. Ia sendiri sebenarnya enggan untuk datang, namun rasa penasarannya membuat hatinya menolak untuk tinggal berdiam diri di rumah. "Dimana dia?"Tanyanya dalam hati "Katanya menunggu di bawah pohon Trembesi besar. Tetapi mengapa ia tidak ada? Apa dia hanya ingin mempermainkanku?"Tanya Candrakanti lagi di dalam hati. Tiba-tiba ia merasa pinggangnya di peluk seseorang. Candrakanti seketika meronta. Orang yang memeluknya-pun melepaskan pegangannya sehingga Candrakanti terjatuh. Orang itu mengulurkan tangannya untuk menolongnya. "Kakang Jentra! Kau mengejutkanku saja." Kata Candrakanti kesal. "Kau harus tetap waspada, Kanti. Meskipun aku telah menyepakati suatu tempat, sebagai seorang anggota perajurit sandi kau tidak boleh gegabah langsung menuju tempat itu. Kau harus memeriksa keadaan dan kau harus yakin kau tidak sedang diikuti seseorang."Kata Jen
Raras Hayu tertunduk sedih di hadapan Mpu Kumbhayoni dan seluruh prajurit muda perdikan Walaing. Ia merasa misi yang dibebankan kepadanya telah gagal. "Sungguh memalukan. Kami menyusupkanmu ke istana bukan untuk bersenang-senang. Masa hanya sekedar memastikan bahwa lonthar Anarghya ada pada Panglima Jentra atau tidak saja, kau tidak mampu memastikannya." Kata Mpu Kumbhayoni murka. "Maaf, Gusti! Saya telah bersungguh-sungguh mengikuti gerak-gerik baik Nyimas Candrakanti maupun Panglima Jentra. Namun mereka jauh lebih cerdik dan sakti daripada hamba. Kemampuan pengendalian api hamba-pun masih sangat terbatas sehingga dengan mudah panglima Jentra menjebak saya dan Dharitri."Jawab Raras Hayu. "Dengan kata lain kau ketahuan sedang menguntit mereka. Pintar sekali. "Kata Gaurika dengan wajah masam "Lagipula untuk apa kau mengajak teman ketika menguntit Panglima Jentra? Apa kau tidak sadar bahwa bisa saja Dharitri ini yang justru membocorkan rencana-rencana kita. Dasar Bodoh."Lanjut Ga
"Sudahlah Gusti. Tidak perlu begitu resah berpikir mengenai mustika itu. Apalagi jika Sang Maharaja menginginkannya. Coba Gusti pikirkan. Hampir semua Raja menyuruh orang-orang terbaiknya memburu mustika itu, dan akhirnya mustika tidak di dapatkan namun orang-orang terbaik itu menghilang di Gunung Udarati. Andaikata ada yang kembali, kondisi fisik dan jiwanya sangat kacau." Bujuk Wiku Sasodara "Aku tahu, Guru. Tetapi aku sangat ingin menjadi Chakrawartin, aku tidak ingin terus menerus hidup di bawah kebesaran kakak iparku dan di bawah perlindungan kakak perempuanku. Setiap kali hanya berharap bahwa kelak takhta Medang akan sampai padaku. Tapi kapan dan bagaimana adalah pertanyaanku setiap hari. Apakah aku harus menunggu hingga rambut ini memutih?"Jawab Pangeran Balaputradewa mengesah. Wiku Sasodara tersenyum sambil memainkan kebutan berwarna putih yang terbuat dari serat sutra. Bagaimanapun Pangeran Balaputradewa masih sangatlah muda. Usianya masih di awal dua puluhan maka sangat waj
"Kemana saja sih Kakang Jentra? Sampai larut begini belum pulang juga." Kata Sriti gelisah. "Kalau Yu Sriti sudah mengantuk, tidur saja dulu. Nanti biar saya yang membuka pintu buat Kang Jentra." Jawab Rukma. Sriti cemberut dan membuang muka, lalu menjatuhkan tubuh sintalnya ke balai-balai di ruangan tengah rumah Jentra yang besar dan luas. "Aaah, kamu anak kecil tahu apa sih! Suka ikut campur saja kau ini." Jawab Sriti ketus "Yu, Kang Jentra itu tidak mesti pulangnya. Kadang tengah malam, kadang juga tidak pulang. Kalau saya sudah biasa menunggunya di sini. Jadi Yayu tidur saja dulu. Toh Kang Jentra juga selalu membawa kunci rumah. Andaikata tidak-pun, ia bisa masuk lewat mana saja." Rukma memberikan informasi sambil sedikit meledek Sriti. "Jadi percuma aku memasak begitu enak. Yang ditunggu tidak pulang juga." Kata Sriti "Sebenarnya itu juga tidak perlu, Yu. Kakang Jentra jarang makan di rumah. Andaikata makan-pun, ia juga akan makan yang ringan-ringan seperti kacang rebus at
"Ada apa ini? Kenapa rumah terlihat berantakan? Rukma.... kau kenapa?" Pertanyaan Jentra bertubi-tubi pada Rukma yang saat ini sedang meringis kesakitan. Jentra kemudian mendekati Rukma dan memeriksa lukanya. Rupanya pukulan api Ganika menyerempet kulit lengan Rukma dan menyebabkan luka bakar yang terus menyebar. Rukma sendiri tidak menyadari awalnya. Namun ketika lengannya terasa terbakar ia mulai merasakan kesakitan yang luar biasa. "Tapak Geni." Kata Jentra. Sriti yang tergopoh-gopoh membawa kain dan air untuk mengompres lengan Rukma, namun di tepis oleh Jentra hingga airnya tumpah. "Jangan basuh dengan air. Itu akan memperparah lukanya. Ambil saja sutera bersih untuk membalutnya nanti." Perintah Jentra. "Baik. Maafkan saya." Kata Sriti sambil pergi mencari pembebat sutera yang dimaksud Jentra. "Bagaimana kau mendapatkan luka seperti ini? Hanya pengendali api yang cukup tangguh bisa menyebabkan kulitmu hancur terbakar seperti ini. Apakah kau berselisih dengan pembesar Walaing
Perlahan Rukma mulai pulih. Hal ini melegakan baik Amasu maupun Jentra. Bagaimanapun penyerangan Walaing ke rumah Jentra adalah hal yang memang menjadi tanggung jawabnya. Oleh karena itu baik Jentra maupun Amasu yang mengetahui benar dimana lonthar Anarghya itu akan merasa sangat bersalah jika Rukma menjadi korbannya. "Nimas Sriti. Bisakah kau membuatkan bubur untuk kami? Kami tahu kau lelah. tetapi kami juga sangat lapar dan harus segera menjalankan tugas berikutnya. Jadi kalau kau tidak keberatan untuk membuatkan kami sarapan, kami akan berterima kasih." Kata Wiku Sasodara. "Tapi jangan ditambah bubuk Purwaceng, ya."Kata Rukma dengan suara yang masih lemah. "Kau ini!" Sriti melotot kepada Rukma. Rukma nyengir sedikit karena tahu Sriti tak akan berani memukulnya. Sementara Amasu menahan tertawanya. Saat Sriti pergi. Wiku Sasodara memandang Jentra dan Amasu dengan tajam. Sementara tangannya menyentuh tengkuk Rukma supaya ia tertidur. Sasodara menggunakan aji sirep angin agar Rukm
"Kemana mereka?"Megarana bertanya-tanya saat tiba di tepi telaga Arungbaya. "Itu di sana, mereka sedang melakukan meditasi." Jawab Laturana "Kalau begitu, kita tunggu mereka di sini, sambil kita awasi saja gerak-gerik mereka."Megarana berkata lagi. "Meditasi? Aneh sekali. Menghindari kami dan melakukan perjalanan sejauh dan sesulit ini hanya untuk meditasi?"Mpu Kumbhayoni mengesah di dalam hati. Ia sama sekali berbeda pemikiran dengan kedua pengikutnya. Mpu Kumbhayoni berpikir keras. Sebagai putra tertua dari lingkaran kedua pewaris wilayah Walaing, Mpu Kumbhayoni tentu tidak semudah itu dikecoh. Bagaimanapun ia adalah putra Rakai Ranuhmaya dan cucu dari Mpu Pugat Liwung Sang Rakai Walaing Sepuh yang memegang ilmu-ilmu kuno pengendalian api dan penganut Bhairawa Tantra dimana sihir serta ilmu ghaib bukanlah barang baru. "Kurang ajar. Mereka mengecoh kita dengan melakukan perjalanan melintas demensi." Teriak Mpu Kumbhayoni kemudian. "Apa? Perjalanan melintas demensi, Gusti?"Tanya
"Ternyata mereka ada di punggung Sadara." Mpu Kumbhayoni dan Megarana menjejakan kaki di Gunung Sadara. "Tapi tidak ada tanda-tanda mereka di sini, Gusti." Megarana mencoba memastikan lagi. "Benar. Tapi aku tidak mungkin salah. Aku mengunci energi mereka sehingga wilayahnya pasti benar. Kita dan mereka saat ini sama-sama badan alus, Megar. Jadi mereka bisa menyerupai apa saja" Kata Mpu Kumbhayoni lagi. Perjalanan melintas demensi memang dapat menembus benda padat sekalipun, namun tidak untuk gua Amasu karena pintunya diberikan semacam rajah dimana tidak semua roh bisa masuk kecuali yang memiliki frekwensi atau gelombang elektromagnet yang sama dengan keluarga Amasu. Semacam sidik jari atau DNA di jaman modern sekarang ini. Namun karena jalan yang digunakan adalah jalan ghaib maka rajah itu mendeteksi energi. Pintu gua tidak akan terlihat atau terbuka kecuali rajah tersebut mendeteksi aura keluarga Amasu. "Sepertinya mereka masuk ke suatu tempat yang tidak bisa dimasuki badan alus