Perlahan Rukma mulai pulih. Hal ini melegakan baik Amasu maupun Jentra. Bagaimanapun penyerangan Walaing ke rumah Jentra adalah hal yang memang menjadi tanggung jawabnya. Oleh karena itu baik Jentra maupun Amasu yang mengetahui benar dimana lonthar Anarghya itu akan merasa sangat bersalah jika Rukma menjadi korbannya. "Nimas Sriti. Bisakah kau membuatkan bubur untuk kami? Kami tahu kau lelah. tetapi kami juga sangat lapar dan harus segera menjalankan tugas berikutnya. Jadi kalau kau tidak keberatan untuk membuatkan kami sarapan, kami akan berterima kasih." Kata Wiku Sasodara. "Tapi jangan ditambah bubuk Purwaceng, ya."Kata Rukma dengan suara yang masih lemah. "Kau ini!" Sriti melotot kepada Rukma. Rukma nyengir sedikit karena tahu Sriti tak akan berani memukulnya. Sementara Amasu menahan tertawanya. Saat Sriti pergi. Wiku Sasodara memandang Jentra dan Amasu dengan tajam. Sementara tangannya menyentuh tengkuk Rukma supaya ia tertidur. Sasodara menggunakan aji sirep angin agar Rukm
"Kemana mereka?"Megarana bertanya-tanya saat tiba di tepi telaga Arungbaya. "Itu di sana, mereka sedang melakukan meditasi." Jawab Laturana "Kalau begitu, kita tunggu mereka di sini, sambil kita awasi saja gerak-gerik mereka."Megarana berkata lagi. "Meditasi? Aneh sekali. Menghindari kami dan melakukan perjalanan sejauh dan sesulit ini hanya untuk meditasi?"Mpu Kumbhayoni mengesah di dalam hati. Ia sama sekali berbeda pemikiran dengan kedua pengikutnya. Mpu Kumbhayoni berpikir keras. Sebagai putra tertua dari lingkaran kedua pewaris wilayah Walaing, Mpu Kumbhayoni tentu tidak semudah itu dikecoh. Bagaimanapun ia adalah putra Rakai Ranuhmaya dan cucu dari Mpu Pugat Liwung Sang Rakai Walaing Sepuh yang memegang ilmu-ilmu kuno pengendalian api dan penganut Bhairawa Tantra dimana sihir serta ilmu ghaib bukanlah barang baru. "Kurang ajar. Mereka mengecoh kita dengan melakukan perjalanan melintas demensi." Teriak Mpu Kumbhayoni kemudian. "Apa? Perjalanan melintas demensi, Gusti?"Tanya
"Ternyata mereka ada di punggung Sadara." Mpu Kumbhayoni dan Megarana menjejakan kaki di Gunung Sadara. "Tapi tidak ada tanda-tanda mereka di sini, Gusti." Megarana mencoba memastikan lagi. "Benar. Tapi aku tidak mungkin salah. Aku mengunci energi mereka sehingga wilayahnya pasti benar. Kita dan mereka saat ini sama-sama badan alus, Megar. Jadi mereka bisa menyerupai apa saja" Kata Mpu Kumbhayoni lagi. Perjalanan melintas demensi memang dapat menembus benda padat sekalipun, namun tidak untuk gua Amasu karena pintunya diberikan semacam rajah dimana tidak semua roh bisa masuk kecuali yang memiliki frekwensi atau gelombang elektromagnet yang sama dengan keluarga Amasu. Semacam sidik jari atau DNA di jaman modern sekarang ini. Namun karena jalan yang digunakan adalah jalan ghaib maka rajah itu mendeteksi energi. Pintu gua tidak akan terlihat atau terbuka kecuali rajah tersebut mendeteksi aura keluarga Amasu. "Sepertinya mereka masuk ke suatu tempat yang tidak bisa dimasuki badan alus
"Jadi menurutmu para Sanditaraparan itu telah mengkhianatiku?" Tanya Maharaja Rakai Garung dengan wajah memerah. "Tuanku, jangan memakan mentah berita yang tidak jelas ujung pangkalnya."Kata Permaisuri Sri Kahulunan. "Tidak jelas bagaimana? Kau juga tahu jika dimas Balaputradewa adikmu itu berusaha menyaingiku dalam hal apa saja, termasuk pencarian mustika itu!" Teriak Maharaja dengan gusar. "Tapi kenyataannya dimas Balaputeradewa tidak pergi kemana-mana dan memenuhi kewajibannya sebagai Mahamentri I halu dan I hino sekaligus karena putri kita masih belum dewasa. Ia sama sekali tidak menguber mustika itu bukan?" Bujuk permaisuri. "Dia kan tidak perlu mencarinya sendiri. Anak buahnya para sandi itu yang akan mencari untuknya." Kata Maharaja kesal. "Raras hayu, kuperingatkan kau untuk tidak asal bicara dan menyebarkan fitnah yang tidak beralasan dan berbukti." Kata Permaisuri sambil melebarkan matanya yang indah itu. "Ampun, Gusti permaisuri. Hamba tidak berani. Hamba berkata sepe
"Ada apa?" Tanya Jentra Candrakanti hanya menatap air telaga yang biru dan pegunungan berkabut dihadapannya. Air matanya menetes perlahan. Jentra mendekatinya kemudian memeluknya dari belakang. Ia menempelkan bibirnya yang hangat ke punggung Candrakanti. "Apakah ada yang menganggu pikiranmu?"Tanya Jentra "Aku merasa berdosa kakang." Kata Candrakanti "Mengapa? Karena kita tidak menikah seperti umumnya orang-orang itu? Kudengar dari Rukma bahkan Permaisuri Sri Kahulunan memberikan restu jika kita menikah."Jentra menghibur Candrakanti. "Apa hanya itu yang kau dengar dari Rukma?"Tanya Candrakanti. "Aku mendengar juga soal Raras Hayu yang dihukum mati. Apakah itu yang membuatmu sedih?"Tanya Jentra Candrakanti seketika pecah tangisnya. Jentra sedikit terkejut. Ia kemudian menarik Candrakanti dalam pelukannya. Entah mengapa, kabut hari itu begitu pekat dan dingin hampir di seluruh dataran tinggi Kedu. Namun bagi Jentra kabut ini seakan memberinya firasat yang buruk mengenai masa depan
Amasu bersujud di hadapan Pangeran Balaputeradewa dengan wajah menghadap ke lantai tanpa berani mendongak. Begitu juga dengan Rukma. Mereka berdua belum pernah melihat Pangeran Balaputeradewa semarah itu. "Orang-orang Walaing kurang ajar! Beraninya memfitnahku di depan Maharaja. Dan itu semua karena kebohonganmu dan Jentra, Amasu!" Bentak Pangeran Balaputeradewa sambil menggebrak meja. Wajah tampannya yang putih susu memerah karena seluruh darah seperti dipompa naik ke kepala. "Dan di mana si brengsek itu sekarang! Di mana?" Teriaknya hampir histeris "Hamba....hamba...tidak tahu paduka. Tadi pagi kakang Jentra hanya berpamitan untuk latihan berkuda sebentar. Namun hamba tidak tahu ke mana."Jawab Rukma terbata-bata. "Panglima Jentra menghadap!" Terdengar suara penjaga pintu. Di sertai terbukanya pintu aula besar. Jentra menyerahkan pedang dan senjatanya pada pengawal penjaga pintu. "Hamba menghadap Pangeran Balaputerdewa!" Kata Jentra sambil menyembah. Namun kedatangan Jentra di
"Sudah terbukti bukan? Jika bukan hamba yang menyuruh baik panglima Jentra atau siapapun untuk mengambil lontar Anarghya. Bahkan orang-orang Walaing sendri yang berusaha masuk ke ibukota dan menyerang kediaman Panglima Medang. Hal itu tentu tidak bisa dibiarkan Yang Mulia. Tidak cukup menghukum mati penebar fitnahnya saja. Tuanku juga harus menghukum pembesarnya yang telah berani merangsek masuk ibukota dan melakukan penyerangan di rumah pejabat istana." Kata Pangeran Balaputeradewa dengan berapi-api. "Tapi itu kan juga tidak membuktikan kalau panglima Jentra tidak menyimpan lontar itu?" Pangeran Aswangga mencoba membela Rakai Walaing yang sama-sama masih berdarah Sanjaya dengannya. "Apanya yang tidak terbukti? Jelas-jelas mereka mencari dan tidak menemukannya. Bahkan melukai perwira muda kita dengan sangat keji." sanggah Pangeran Balaputeradewa. "Bisa saja disembunyikan di tempat lain." Mpu Ghek Sang Pati masih mencoba melawan pendapat Pangeran muda itu. "Paman Rakyan Ghek Sang P
Air mata Megarana tidak berhenti menetes ketika sebuah kotak besar berisi jenasah Raras Hayu dikembalikan ke Walaing. Di dalam hati kecil ia berjanji akan membalaskan dendam kematian Raras Hayu. Ia bersumpah akan menghabisi Jentra dan Sriti yang dianggapnya telah menjadi penyebab kematian Raras Hayu. "Megarana, aku turut berduka cita ya atas kematian Raras Hayu. Kau tidak boleh hanyut di dalam kesedihan. Raras pasti juga ingin kau tetap melanjutkan hidup. Aku tidak menyangka, Maharaja akan begitu tega menjatuhkan hukuman tanpa mau mendengar apapun dari pihak kita."Kata Laturana. "Terima kasih, Laturana. Kau benar! Padahal Panglima Jentra dan kedua bikku itu jelas-jelas menyimpannya. Ini semua adalah kesalahan Panglima Jentra. Maka aku tidak akan membiarkannya begitu saja." Kata Megarana. Sementara itu Mpu Kumbhayoni segera datang dan memeluk Megarana. Ia sangat mengerti perasaan sahabatnya itu. Megarana dan Raras Hayu belum lama bertunangan. Rencananya akhir tahun ini akan menikah.