Kama tersentak, mengalihkan tatapan dari layar canggih yang ia genggam, menatap tajam Arsha yang baru saja menendang kakinya.“Sorry ... gue enggak sengaja,” ucapnya santai kemudian memejamkan mata kembali.Luar biasa, baru tiga puluh menit saja privat jet milik keluarga Kama lepas landas, Arsha sudah terlelap dan terjaga ketika turbulance terjadi kemudian kembali terlelap dengan mudahnya.Ketika menaiki pesawat tadi, seperti ada yang ingin Arsha bicarakan dengan Kama, itu sebabnya Arsha mengambil duduk di depan pria itu.Akan tetapi Kama begitu sibuk dengan Macbooknya membuat Arsha enggan dan malah tertidur di kursi yang berada tepat di depan sang pria.Kama mengembuskan nafas, kembali mematuti layar pipih yang menampilkan banyak angka kemudian hatinya tergelitik untuk mengetahui wajah Arsha saat sedang tidur.Menahan tawa, ia menduga bila wajah tidur Arsha pasti akan sangat kocak dengan mulut yang terbuka lebar.Untuk memenuhi rasa penasarannya, Kama pun akhirnya mengintip dengan se
“Tuan Kama meminta saya membelikan makan siang untuk anda,” ujar Nufaira seraya memberikan satu kotak berisi makan siang. “cảm ơn bạn,” balas Arsha, menerima kotak makan siang tersebut dari tangan Nufaira.Ucapan terimakasih dengan bahasa Vietnam yang diungkapkan Arsha mampu membuat Nufaira menaikan satu alisnya, pasalnya Arsha melafalkannya begitu fasih dengan nada bicara yang tinggi terlebih dahulu, lalu menurun secara bertahap.“Anda bisa bahasa kami?” Nufaira yang masih berdiri di samping Arsha bertanya demikian menggunakan bahasa Inggris, seperti pertama kali ia berbicara dengan Arsha ketika tadi memberikan makan siang.“Tentu, untuk menjadi pendamping Tuan Kama sudah seharusnya saya pandai Tiếng Việt,” balas Arsha tanpa tersenyum bahkan terkesan ketus.Tidak ada yang tau jika sehari semapam Arsha belajar bahasa Vietnam hingga tidak sempat mengepack pakaiannya.“Apaan sih lo, Ca ... sok-sokan ngomong pendamping Bang Kama, kege’eran banget, mewek entar lo,” batin Arsha mengingatk
Kama menelan saliva kelat, matanya melirik ke arah Arsha yang berjalan mendekat kemudian beralih pada nasi goreng yang sedang ia masak lalu kembali lagi pada Arsha dan detik berikutnya kembali memusatkan perhatian pada nasi goreng, terus saja begitu. Ia gugup.Mengumpat berkali-kali karena tadi malah mengijinkan Arsha memilih sendiri pakaian dari dalam lemarinya.Kamar Kalila terkunci, Kama tidak mengerti kenapa adiknya harus mengunci kamar padahal hanya dirinya dan pelayan yang masuk ke apartemen ini, itu pun sang pelayan tidak tinggal di sini, para pelayan hanya akan datang siang hari untuk membersihkan rumah dan mencuci pakaian.Kama jadi tidak bisa meminjam pakaian Kalila untuk Arsha, akhirnya Arsha memilih sendiri pakaian Kama yang nyaman untuk ia kenakan dan pilihan jatuh pada kemeja putih yang tampak kebesaran di tubuh mungilnya.Pasalnya baju dalam Arsha yang berwarna hitam tampak jelas menerawang menembus kemejanya.Dengan santai Arsha duduk di kursi tinggi meja bar, menopang
“Pagi Tuan Putri ... .” Langkah Arsha terhenti ketika mendengar sapaan seorang pria berbahasa Indonesia.Di ruang makan telah duduk Kama di ujung meja dan seorang pria yang menyapanya tadi duduk di samping sang Tuan rumah.Kedua bola mata mereka menatap Arsha membuat Arsha menengok ke kiri dan ke kanan kemudian ke belakang.Mencari orang yang dipanggil Tuan Putri oleh pria tersebut.Tidak mungkin dirinya, kan? Karena Tuan putri tidak akan memakai hotpan seperti yang ia kenakan pagi ini.Mesin cuci Kama sangat canggih bisa mencuci sekaligus mengeringkan pakaiannya dengan cepat sehingga pagi ini ia bisa memakai pakaiannya sendiri tanpa harus meminjam pakaian Kama lagi.Pria tersebut tergelak. “Lucu ya dia,” ucapnya kepada Kama.Kama tidak menanggapi, mengalihkan tatapannya pada roti sandwich yang dibuatkan pelayan“Hallo Arsha ... gue Fabian, yang hari ini akan menemani kemanapun lo pergi,” ujar pria tersebut seraya mengulurkan tangan.Arsha menarik kursi meja makan tepat di depan Fabi
Arsha membuka dus kecil berisi ponsel baru yang dibelikan Fabian, di dalamnya sudah ada provider yang dapat ia gunakan selama di Vietnam.Memasukan beberapa nomor keluarga dan sahabatnya untuk kemudian menghubungi mereka.Dalam sekali panggilan video, Arsha dapat menjangkau kedua orang tua bersama kedua Kakak kembarnya.Berturut-turut ke empat keluarganya menjawab panggilan Arsha. Hari sudah sore di Jakarta, Daddy dan kedua Kakak kembarnya tampak sedang berada dalam perjalanan pulang namun tidak dengan sang Mommy yang sedang sibuk di dapur, memasak untuk makan malam orang-orang tercinta.“Hai Caca sayang,” sapa Daddy.“Hallo sayang Mommy, udah makan?” Mommy selalu khawatir Arsha terlambat makan.“Betah enggak di sana, Ca?” Belum apa-apa Aarash sudah bertanya demikian.“Gimana Ca? Udah sampe mana naklukin gunung esnya?” Pertanyaan Aarav lebih parah.Wajah Arsha memberengut membuat kedua Kakak kembarnya tertawa.Tapi tidak berlangsung lama, raut wajah Caca berubah ceria tatkala melihat
Langkah Arsha terhenti ketika hendak memasuki ruang makan, seorang gadis cantik yang mirip dengan Kama sedang duduk menikmati sarapan pagi dengan gerakan anggun.“Itu pasti Kalila, kapan dia pulang?” gumam Arsha.Si gadis menoleh, menatap Arsha tanpa senyum kemudian mengembalikan tatapannya pada mangkuk sup yang sedari tadi ia tekuni.“Si dingin lainnya,” batin Arsha bicara.“Duh!” Arsha berseru, maju selangkah karena Kama menyenggolnya.“Jangan ngelamun depan pintu,” kata pria yang sudah lengkap dengan stelan jas dan wangi masculin yang menyeruak ke dalam indra penciuman Arsha.Bibir Arsha mencebik, perasaan ia tidak berdiri di depan pintu. Masih banyak ruang untuk Kama lewati tapi kenapa pria itu malah menyenggolnya.“Bilang aja pengen pegang-pegang,” tuduh Arsha di dalam hati.Langkahnya ia lanjutkan, menarik kursi di depan Kalila.“Pagi Mbak,” sapa Arsha sambil tersenyum.Kalila menggerakan bola matanya hingga bertemu dengan netra Arsha, lima detik kemudian ia tersenyum samar nyar
Kama melirik ponsel yang sedari tadi berdering, ia mengabaikannya karena nomor yang tertera pada layar adalah nomor tidak dikenal.“Jawab, Kama ...,” ujar Fabian yang saat itu sedang bersamanya membahas suatu proposal.Nufaira juga ada di sana mencatat beberapa hal penting.“Biarkan saja!” Pria itu kemudian kembali fokus pada deretan angka di layar Macbook.“Siapa tau penting,” kata Fabian yang merasa tertanggu.Akhirnya pada dering ketiga Kama berdecak kesal, tak urung tangannya terangkat hendak mematikan ponselnya namun kalah cepat dengan Fabian terlebih dahulu meraih ponsel tersebut.Hal seperti ini sudah sering terjadi, mengingat banyak wanita yang mengejar Kama.Fabian paling senang menjawab panggilan telepon dari nomor tidak di kenal pada ponsel Kama karena sudah dipastikan bila panggilan tersebut dari seorang wanita yang menyukai sahabatnya itu.Lalu Fabian akan berpura-pura menjadi Kama kemudian di akhir sambungan, ia mengaku jika dirinya bukan Kama dan berdusta bila nomor ter
Arsha terhentak ketika mendengar suara pintu terbuka, padahal baru saja ia berusaha terlelap mencoba menghilangkan kekecewaan karena Kama malah memilih meninggalkannya di sini sendiri.Seharusnya Arsha bisa belajar dari Liam dan tidak perlu berharap lagi pada seorang pria apalagi Kama bukan pria yang mencintainya.Akan tetapi hatinya selalu saja mengkhianati logika, mata Arsha melebar berharap seseorang yang mendorong pintu tersebut adalah Kama.Namun untuk yang kesekian kalinya ia harus dilanda kekecewaan karena ternyata yang masuk adalah seorang wanita memakai pakaian putih-putih.Wanita itu hendak memeriksa kondisinya, bertanya banyak hal mengenai apa yang dirasakan Arsha saat ini menggunakan bahasa Inggris yang dijawab malas-malasan olehnya.Wanita itu juga memberi tau apa yang boleh dan tidak boleh Arsha lakukan kemudian bertanya mengenai seseorang yang akan menemaninya selama ia di rawat.Arsha menggelengkan kepala lemah. “Aku sendirian, keluargaku di Indonesia ...,” Arsha melir