BAB 16Malas satu atap denganmuJam menunjukan angka lima kurang lima belas menit. Masih sedikit gelap, karena semalam turun hujan cukuplah lebat. Aku memandang genteng kaca, yang terpasang tepat di atas kasur yang aku tiduri.Ingin rasanya bangun tidur di rumah sendiri. Tanpa di kejar-kejar pekerjaan rumah yang menumpuk.Tanpa harus bangun lebih awal, untuk sekedar mengisi air.Mas Wawan masih berada di Semarang, belum ada kabar dia akan segera pulang. Rencana awal sekitar tiga mingguan di sana. Tapi entah apakah ada perubahan atau tidak?Rindu ini sudah menyelimuti relung hati, namun tidak hanya rindu. Tetapi rasa malas tinggal disini tanpa nya.Aku masih belum beranjak dari kasur. Masih menatap langit-langit kamar. Berharap hari ini ada keajaiban.Lamunanku buyar ketika terdengar suara tutup panci jatuh.Ah … paling dia bermaksud menyuruh ku segera bangun.Aku melihat jarum jam menunjukkan jam lima tepat.Dengan melawan rasa malas aku segera beranjak dari tempat tidur. Membuka pint
Bab 17Buah tangan"Mas …." Aku menghampiri ibu dan juga Mas Wawan yang sedang duduk di depan televisi."Apa … mau ngadu sama Wawan?" sahut ibu yang sedang duduk tak jauh dari Mas Wawan."Mau di siapkan makan sekalian atau mandi dulu pakai air hangat?" Aku menatap Mas Wawan, dan tak aku hiraukan ucapan ibu."Iya aku mandi dulu, abis itu makan!"Aku langsung pergi meninggalkan mereka yang tengah berbincang. Aku sudah tak membahas itu lagi dengan Mas Wawan. Jawaban yang sama seperti biasa, dari pada wajahku semakin keriput dibuatnya, mending tak aku hiraukan.Setelah mandi dan juga makan, Mas Wawan segera istirahat. Mungkin dia sangat lelah, hingga tertidur di depan televisi.Aku segera membereskan pakaian kotor yang dibawa olehnya.Tak lupa membuka kardus yang berisi beberapa makanan. Aku bagikan kepada tetangga terdekat, karena mereka tahu Mas Wawan pergi ke Semarang.Namun waktu aku hendak pulang, dari kejauhan nampak ibu berbicara dengan dua orang laki-laki. Mereka berpakaian rapi,
Bab 18Setoran Bank"Siapa, Mas?" Aku bertanya pada Mas Wawan yang tengah berbicara di telepon.Dia tak menjawabnya, mungkin penting hingga dia seperti meminta waktu. Aku yang dibuatnya penasaran, masih saja berdiri di ambang pintu. Ikut mendengarkan Mas Wawan berbicara.Mas Wawan menutup telepon, dan menarik napas dalam, lalu membuangnya."Apa?" Aku berbisik pelan hingga hampir tak terdengar.Mas Wawan keluar kamar, tanpa menjawab pertanyaanku."Aku lagi gak ada duit, Bu!"Aku lega mendengar ucapan Mas Wawan. Bukannya pelit ataupun perhitungan dengan orang tua. Namun keadaan tidak memungkinkan, kami yang harus keluar uang seminggu sekali untuk membeli susu Hawa. Belum juga beras dan kebutuhan lain.Gaji Mas Wawan yang tidak seberapa, masih dipotong cicilan motor dan juga cicilan koperasi.Kadang dengan terpaksa kami harus menjual emas yang aku miliki, dari cincin hingga kalung.Miris ….Ya sangat miris, aku pikir dulu, jika sudah menikah akan lebih mudah. Tidak bekerja dan tidak per
Bab 19Teguran NandaPartini adalah nama ibu mertuaku. Namun jarang sekali aku menyebut dengan menambahkan namanya. Hanya memanggil dengan sebutan, Bu kalau tidak Nenek.Aku langsung menyeka air mata yang menetes di pipi.Aku segera keluar, dan melihat siapa yang datang?"Ada apa, Bu?" Tiba-tiba ibu keluar dari rumah.Aku yang masih diambang pintu, terheran-heran melihat kedatangan ibu yang tiba-tiba muncul dari belakang."Gak ada apa-apa!" Netra Bude Sumi dan juga Ibu saling bertemu. Ada isyarat yang diperlihatkan, aku tak begitu memperhatikan. Namun setelah itu, Ibu mertua ku mengajak Bude Sumi berbincang di kursi depan.Bude Sumi, adalah teman Ibu. Dia selalu pergi bersama kemana pun. Padahal anak menantunya juga ada, tapi setiap ada acara apapun, dia pasti mengajak Bude Sumi. Misalnya akan menghadiri acara hajatan, mereka pasti pergi berdua. Padahal aku sendiri juga akan menghadiri acara tersebut. Bukan kah hal seperti itu terlihat sepele? Namun alangkah baiknya jika dia mengajakk
BAB 20Memulai usaha"Aku sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan Ibumu padaku!" Aku terisak hingga membangunkan Hawa.Hawa menangis, dia rewel. Mungkin dia merasakan perih yang sama dengan Ibunya.Aku lantas menggendong dan juga menenangkannya."Dek, ini uang sisa setoran kemarin. Aku juga sudah membeli susu. Sisa sedikit pegang lah!"Aku melihat masih ada lembaran uang seratus ribuan. Mungkin kisaran dua jutaan. Karena emas yang aku beli waktu itu adalah emas yang cukup mahal per gramnya, jadi tidak salah kalau uangnya masih cukup banyak."Mas, belikan aku mesin jahit. Aku akan buka usaha jahitan! Dulu pernah lihat Mbak Ida, menjahit waktu di Klaten. Mbak Ida adalah tetangga ku di Klaten. Dia menerima jahitan dan juga permak pakaian. Dan sering melihatnya, dan sesekali mencoba menjahit baju, jadi sedikit-sedikit aku pasti bisa. Juga ada Mbah Google jadi gampang belajarnya." Mas Wawan terkejut mendengar permintaanku.Aku bertekad apapun keadaannya aku akan membuka usaha jahit ini, ka
Bab 21Ibu mertua meminta uang"Arisan lagi?!" Aku terkejut mendengar pengakuan Ibu. Bukankah Ibu sudah diberi uang untuk arisan oleh suamiku, sehingga uang yang seharusnya dibayar untuk cicilan motor malah diberikan padanya. Dan tempo hari masih meminta uang tiga ratus ribu untuk arisan, meskipun tak diberikan oleh suamiku.Dan sekarang dua ratus ribu, dengan dalil membayar arisan? Berapa banyak arisan yang diikuti oleh Ibu?Astagfirullahaladzim …Aku mengusap dada dan juga beristighfar dalam hati.Padahal aku yang masih mempunyai bayi, dengan pengeluaran banyak seminggu nya, untuk membeli susu dan lain sebagainya. Tidak sebanyak itu, dia yang hanya mengeluarkan uang untuk makan dan juga arisan sebanyak itu? Padahal dia juga memiliki pendapatan sendiri! Kemana uang hasil kerjanya selama ini?"Assalamualaikum," salam Adi dari luar."Waalaikumsalam," Aku menjawab bersamaan dengan Ibu.Dilihatnya wanita berbadan langsing dan juga tinggi. Kulitnya sawo matang dan juga rambutnya terura
Bab 22Calon mantuBerubah sikap lembutnya tadi yang ia perlihatkan, di depan calon menantunya itu.Baru juga calon. Aku hanya memandang Ibu yang berlalu dengan membawa beberapa kantong plastik.**Tidak terasa Hawa genap berumur sepuluh bulan, dia bayi yang aktif. Sudah tengkurap sejak berumur empat bulan. Alhamdulilah, dia makan dengan sangat baik dan juga lahap. Meskipun masih dengan MPASI instan sebab aku belum berani memasak bubur sendiri untuknya. Meskipun sudah banyak tutorial membuat MPASI homemade yang disiarkan di internet.Belum genap satu bulan aku membeli mesin jahit waktu itu hingga sekarang. Aku rasa ini sudah saatnya aku mengatakan pada tetangga.Tanpa berpikir panjang, aku menulis status di aplikasi hijau berlogo gagang telepon.'Menerima permak baju, tambal baju yang robek bukan tambal hati yang terluka' Kurang lebih seperti itu status yang aku tulis, cukup menggelitik dan juga menarik.Tak ada respon maupun tanggapan dari teman maupun tetangga.Ya … Sudahlah. Mun
Bab 23Terbongkarnya sandiwara"Lihat, seperti itukah istrimu, Wan!" Ibu mertuaku berlagak kesakitan, dan masih tersungkur di lantai dapur.Aku terkejut Mas Wawan sudah berdiri di ambang pintu, tanpa rasa bersalah aku langsung menghampiri Mas Wawan.Karena memang aku tidak bersalah.Mulutku menganga ingin mengucapkan kata.Namun tangan Mas Wawan diangkatnya ke atas.Menandakan tak ingin mendengar penjelasan dariku.Aku tertunduk lesu, melihat perlakuan Mas Wawan baru saja.Ibu mertuaku kembali berakting kesakitan.Hu hu hu …"Istrimu memang keterlaluan! Lihat, Ibu tersungkur karena di dorongnya! Kamu percaya kan sekarang sama Ibu!" Ibu seolah-olah menyeka air matanya, padahal jelas terlihat dia tak menangis.Lama Mas Wawan diam tak bergeming, menatap Ibu cukup lama."Aku percaya sama kamu, Nanda!" Mataku terbelalak mendengar ucapan Mas Wawan baru saja."Jangan kau bersandiwara lagi, Bu. Sudah cukup selama ini kamu menghina maupun memfitnah Nanda. Aku tahu Ibu tidak didorong oleh Nanda