Keesokan harinya sesuai keinginan ibu, kami berangkat ke kampung halaman Haura, ia bersikukuh ingin menemuinya karena merasa bersalah atas perbuatan putra bungsunya yang enggan bertanggung jawab.Setelah beberapa kali membujuk, Haura akhirnya menyetujui usul ibu, pukul tujuh pagi kami berangkat bertiga menuju kampung halamannya.Selama perjalanan Haura kerap kali mengeluh mual dan pusing, membuatku harus menghentikan mobil beberapa kali, dengan sabar ibu mengelus dan memijat tengkuknya.Semenjak ia tahu yang sebenarnya, wanita paruh baya itu memang lebih perhatian terhadap Haura, matanya selalu sendu saat melihat Haura.Tiga jam kemudian kami sampai di kampung halamannya, daerah ini masih segar dan asri. Namun, sudah banyak angkutan umum yang lalu lalang, intinya daerah ini pedesaan tapi jaraknya tak jauh dari kota.Sesuai petunjuk Haura, mobilku memasuki gank satu dan selanjutnya, jalan menuju rumahnya cukup rumit, beberapa kali bertemu belokan dan tanjakan, juga jalan yang menurun d
"Ibu," bisikku sambil menyentuh lengannya, ia masih diam terpaku bibirnya berat untuk mengucap kata, sedangkan hati ini penasaran siapakah pria itu hingga membuat ibu tercengang bukan main."Adnan, dia adalah ayah kandungmu yang dahulu meninggalkan kita demi wanita lain, dia yang membuat hidup kita susah bertahun-tahun lamanya," ucap ibu bergetar.Bagai petir yang menyambar, tubuhku diam mendadak kaku tak mampu menatap siapapun selain lantai rumah ini, ternyata ayahku masih hidup di muka bumi ini, ia belum terkubur dalam bumi seperti yang dikatakan ibu tempo hari."Ratna, di-dia ... anak kita?" tanya lelaki itu berjongkok di hadapan ibu.Sungguh aku tak mampu berada di dekatnya, goresan luka yang ia sayat begitu dalam hingga membuatku kehilangan kasih sayang sebagai seorang anak terhadap ayah."Dia anakku, lalu Haura, apakah dia juga anakmu?" tanya ibu sedikit ketusPertemuan ini teramat dramatis, pertemuan ini sama saja mengingatkanku pada beberapa tahun silam di mana aku dan ibu hid
Aku menggelengkan kepala, di saat seperti ini ia malah memikirkan kehormatannya sendiri, bukan memikirkan anaknya yang sedang membutuhkan sosok kedua orang tua."Aku ga tahu, dia masih dalam proses penyidikan belum menjalani sidang putusan berapa tahun lamanya dipenjara," jawab ibuku tenang.Kulihat Haura menangis sesenggukan, mungkin ia dilema harus berbuat apa."Kalau kamu ga mau terima Haura, biarkan dia tinggal bersamaku, soal biaya persalinan dan bayi itu jangan khawatir kami akan menanggungnya, seburuk apapun aku pasti tanggung jawab ga seperti suamimu itu, yang lari dari tanggung jawab."Luar biasa, hati ibu begitu mulia ia juga pandai dalam membalikkan fakta."Ayo Haura kita pulang lagi, biarkan aku merawatmu," ucap ibu pada Haura."Ayo Haura, mereka tak menginginkanmu, jangan khawatir kasih sayangku ga akan berubah hanya karena aku sudah mengetahui asal-usulmu, bayi yang ada dalam perutmu itu cucuku," bujuk ibu lagi karena Haura masih diam terpaku."Haura, ayo kita pergi aku
Justin telah tertangkap dengan segala bukti yanng menunjukkan bahwa dirinya yang dahulu merenggut mahkota Elya.Pada polisi ia mengaku jika dirinya memang mengagumi Elya jauh sebelum mengenal Melta. Namun, gadis malang itu sama sekali tak pernah meliriknya bahkan terkesan cuek saat pria blasteran Amerika itu mendekati.Merasa gagal berkali-kali, akhirnya ia menuruti bisikan s3t4n untuk berbuat nekat, merenggut paksa mahkota pada bunga yang sedang tumbuh mekar.Ingin sekali aku mengh4j*rnya hingga puas. Namun, kusadari tindakan itu tak bisa membuat kekasihku hidup kembali.Setidaknya aku merasa lega, tuduhan yang selama ini mengarah padaku benar-benar tak terbukti, semoga saja Melta menyesali perbuatannya itu."Adnan, Ibu mau kenalkan kamu dengan anak temen Ibu, siapa tahu kalian cocok 'kan, kamu harus menikah lagi, tak baik terlalu lama menduda," ujar ibu saat kami makan siang bersama.Uhukkk!Tiba-tiba saja Haura terbatuk-batuk, entah tersedak atau kenapa, ia lekas segera meneguk air
"Kenalan aja dulu, Adnan, kalau kamu tertarik langsung nikah, dia wanita shalihah, Ibu senang kalau kamu beristrikan dia.""Tapi, Renata mantan istri temanku, apa kata orang?""Jangan dengar apa kata orang, banyak di luar sana yang naik ranjang dan turun ranjang, selama kalian tak sedarah maka pernikahan itu sah."Ucapan ibu sungguh terngiang merusak konsentrasi kerjaku, tak dapat dipungkiri Renata memang sangat menarik hati, kepribadiannya yang kalem dan berwibawa juga penampilan yang berbeda dengan Melta.Sungguh, sejak dulu aku selalu mendamba memiliki seorang istri yang bisa menutup auratnya dengan sempurna. Namun, saat itu Melta selalu berdalih bahwa dirinya belum siap."Percuma memakai hijab tapi hati belum bisa taat, lebih baik perbaiki hati dulu baru setelah itu berhijab," kata Melta tempo hari.Sejatinya perkataan itu adalah talbis untuk menyesatkan kaum hawa agar jauh dari syariat agama, ia hendak mengulur waktu, hingga hari kematian itu tiba, tipuan iblis ini sudah sangat m
Duhh, sungguh pernikahan seorang duda dan janda tak semudah seorang perjaka, banyak yang harus dipertimbangkan, aku tak ingin Sandrina merasa dilema akibat pernikahan ini.Akan tetapi, hati ini berkata lain, seolah menuntut agar segera menghalalkannya, tak dapat dipungkiri, memang diri ini hampir tenggelam dalam rasa sepi.Ya Tuhan, ternyata mengalami masa puber kedua itu sangat mengesankan."Sandrina, mau ga punya mama baru?" tanyaku pada suatu pagi, untung Haura dan ibu belum menampakkan diri."Emang kenapa? bukannya Ina masih punya mama?" tanya gadis itu dengan polosnya."Tapi, Papa sama Mama sudah pisah, Sayang, ga bisa sama-sama lagi."Gadis kecil itu terdiam, aktifitas sarapannya pun terhenti, seketika perasaan bersalah menyeruak, takut jika pertanyaan tadi akan melukai hati gadis kecil itu."Terserah Papa saja tapi ....""Tapi apa, Sayang?" "Ina mau ketemu Mama, sekali saja," ungkapnya memelas.Kutahu ia begitu rindu dengan sosok ibu. Namun, aku tak pernah mengizinkan jika ia
(POV Melta)"Jangan pernah berfikir bahwa aku ini lemah, Sandrina anakku! Aku akan kembali dan mengambilnya darimu!"Kurang aj4r, ternyata ia tak gentar mendengar ancamanku, lelaki itu malah menyeringai menatap wajahku yang rusak "Kamu itu mandul, ga berhak mengasuh seorang anak manapun!" tegasku lagi."Terserah!" Hanya kata itu yang Adnan ucapkan, keterlaluan! Ternyata memancing amarahnya tak semudah memancing seekor ikan di lautan.Padahal, aku sangat berharap ia terluka oleh tajamnya kata-kata ini. Namun, ia tak selemah yang kukira, justru diri ini yang rapuh, tak mampu tangguh dalam menghadapi badai yang menerjang.Terlebih saat ibu tiada, tak ada lagi tempatku berbagi duka, diri ini benar-benar sendiri terpenjara dengan rasa sepi yang begitu menyiksa.Lelaki itu pergi bersama gadisku Sandrina, tidak! Ia milikku dan akan selamanya jadi milikku! Batin ini menjerit-jerit ingin segera lepas dari sangkar besi, dan mengobati luka yang selalu membuatku menderita di penghujung malam.B
(POV MELTA)"Tahanan yang bernama Melta, ada yang ingin berkunjung, mari ikut saya," panggil seorang petugas penjaga lapas yang bertubuh gemuk itu.Pasrah, aku pun mengikuti langkahnya, rupanya Tante Ajeng yang berkunjung hendak membesuk, wanita itulah yang sekarang menjadi sandaranku, ia kerap kali membawaku obat untuk luka bakar ini."Gimana keadaanmu, Melta?" tanya Tante Ajeng menyapa."Baik, Tan, obatnya di bawa?"Ia menganggukkan kepala, sambil menyodorkan satu kantong plastik berisi obat-obatan."Jangan lupa diminum, salepnya juga harus rutin dioleskan," ujarnya mengingatkan.Hampir berbulan-bulan tetapi luka bakar ini masih saja belum pulih sempurna, bahkan sebagian masih mengalirkan cairan dan nanah.Aku sungguh dilema takut jika wajah ini rusak dan membusuk, bagaimana masa depanku? sanggupkah diri ini hidup dengan wajah yang cacat permanen? oh tidak! Bagaimanapun juga aku harus melakukan operasi plastik."Tante, aku pengen operasi plastik, bisakah minta Om Feri untuk menguran