“Woy!” terdengar seruan keras dari luar kamar mereka. “Kalian berdua belum puas apa bertempur dari puncak semalem, sampe-sampe mesti tempur lagi di siang bolong begini? Kedengeran sampe kamarku, tau!” Deo dan Veren serentak langsung menyudahi perang mereka saat mendengar teguran Gennaro yang merasa terganggu. “Selera humor Kak Aro parah banget, anjiiirrrr ...” komentar Veren dengan suara pelan. “Bukan cuma parah, tapi dia emang nggak punya selera humor.” Deo meralat. “Beda sama gue, itu makanya gue nggak terlalu akrab sama dia. Kalo gue berada di deket dia, gue berasa nggak bisa jadi diri gue sendiri, kudu jaim gitu deh.” Veren berdecak. “Cowok model kek lo mana pantes jaim,” komentar Veren. “Gue jadi penasaran, apa Kak Freya nggak tertekan ya, Yo?” “Kenapa juga dia mesti tertekan?” sahut Deo tidak mengerti. “Gini lho, dia kan udah lama terbiasa sama elo yang banyak omong gini. Lima tahun bukan waktu yang sebentar
“Beres.” Deo menganggukkan kepalanya. Freya mendadak muncul dari dalam rumah dan menghampiri mereka. Tampilannya yang anggun dan memesona seketika membuat darah di sekujur tubuh Deo berdesir. “Udah siap semua, Mas?” tanya Freya kepada Gennaro yang hendak menutup bagasi mobil. “Nggak ada yang ketinggalan?” “Udah beres semua kok, Frey.” Gennaro mengangguk. Deo berkali-kali mengingatkan dirinya sendiri kalau dia sudah beristri, meskipun Veren tidak seanggun dan sememesona sang mantan. Freya juga sudah bersuamikan Gennaro, yang Deo sendiri tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan seujung kuku jari kakaknya itu. “Aku berangkat dulu ya, Ver?” Freya mendekati Veren untuk cipika cipiki sebelum pergi. “Hati-hati, Kak!” balas Veren. Freya mengangguk dan mendekat ke posisi Deo, namun Deo sengaja mundur kemudian berpindah ke sisi Veren yang satunya. “Hati-hati, Kak!” Dia memfotokopi kata-kata Veren. “Selamat berbulan madu.” “Makasih.” Freya tersenyum pendek kemudian berbalik untuk
Tere bin jiyo naiyo lag da main te margaiya .... “Ini lagu India, Yo!” Veren menjawab sambil meliuk-liukkan tubuhnya, berusaha meniru gerakan yang ada di video. “Elo juga joget dong, kaku banget badan lo kek robot!” Deo menggerakkan tubuhnya dengan ragu-ragu, seraya menirukan gerakan-gerakan di video yang terlihat rumit tetapi lincah. “Lo ngapain sih, ngajakin joget ginian?” protesnya. “Anggep aja hidup itu kek film India, Yo!” seru Veren dengan ekspresi gembira. “Susah seneng tetep joget sama nyanyi!” Le jaa le jaa, dil le jaa le jaa Le jaa le jaa, soniye le jaa le jaa Aah aah aah aah, aah aah aah “Bisa edan gue lama-lama!” Deo terbahak, sementara Veren mulai terlarut dalam tariannya. Bole chudiyan, bole kangna Haai main ho gaya tera saajna Tere bin jiyo naiyo lag da main te marjaawa Le jaa le jaa, soniye le jaa le jaa Dil le jaa le jaa, ho *** Sore itu Deo latihan futsal bersama Septian dan kawan-kawan kuliahnya yang lain. Menurutnya kegiatan ini jauh lebih berfaeda
Dilihatnya Septian membantu cewek itu berdiri kemudian menuntunnya ke teras gedung dan mendudukkannya di situ. Deo merasa lega sekali saat mengetahui Septian mampu melakukan tugasnya dengan baik.Memang susah menyandang status sebagai suami di usia yang masih delapan belas tahun, pikir Deo nelangsa. Mau menolong orang saja mesti lewat tangan sahabatnya. Berteman dengan cewek lain saja juga harus mikir-mikir dulu, takut jadi bahan omongan orang lain.Kapan hidup ini bisa kembali kayak dulu lagi, batin Deo nelangsa.“Yo!” panggil Septian. “Gue ada perlu, nih.”“Kok cewek tadi lo tinggal?” tanya Deo. “Gimana keadaannya?”“Gue udah ditunggu sama cewek gue,” jawab Septian. “Lo aja yang temenin dia dulu, ya?”Deo melengos.“Entar lo buruk sangka sama gue?” tukasnya. “Dikira gue yang ganjen, nggak nyadar status, nggak bisa jaga hati ...”“Serius amat sih idup lo?” sahut Septian sambil nyengir. “Beneran gue udah ditunggu. Elo temenin aja dia, sambil lo p
“Mereka kan ada kek semacam jatah gitu,” jawab Deo hati-hati.“Jatah apaan?” Veren mengangkat wajahnya ke arah Deo. “Jatah ronda? Ngapain elo ikut, lo kan tidurnya nomaden kek manusia purba. Kadang di rumah gue, kadang di rumah lo sendiri. ‘Napa juga mesti minta jatah segala?”Deo menyangga kepalanya dengan tangan, semakin tertarik untuk menguji sejauh mana pengetahuan Veren tentang hubungan suami istri yang sesungguhnya.“Rondanya ya di rumah masing-masing, Ver.” Deo memberitahu. “Di kamar tertutup, dan anggota timnya cuma dua orang.”“Hahah!” Veren malah terbahak. “Gue kok jadi ngebayangin yang enggak-enggak ya, Yo?”Alis Deo terangkat sebelah saat mendengar kalimat Veren barusan. Syukurlah kalau ternyata dia paham apa maksud perkataannya tadi. Tanpa sadar Deo mengukir senyuman samar di wajahnya.“Ada dua orang kan di kamar, terus lampunya dimatiin?” kata Veren antusias sambil memandang Deo. “Biar suasananya mendukung, ada lilin yang sengaja dinyalain. Yang satu ngejagain lilin, sat
“Kalo kita cerai, elo auto jadi janda dan gue jadi duda.” Deo menjelaskan. “Kalo ada cowok yang mau sama janda, itu artinya dia mesti siap kalo segelnya udah nggak utuh lagi ... tapi kan yang penting lo nggak punya anak dari gue!” Deo menambahkan buru-buru ketika melihat Veren mengangkat guling jumbonya dengan mengancam. “Enak di elo dong, nggak ada bekasnya kalo elo duda!” ketus Veren. “Elo kalo nggak taat sama perjanjian yang udah kita buat, gue mau perceraian kita dipercepat!” Kali ini Deo memandangnya dengan serius. “Coba aja sana, kalo pengadilan agama mengabulkan, gue siap. Tapi lo mesti inget, apa ortu lo siap sama perceraian ini?” katanya sungguh-sungguh. “Ortu gue juga pasti mikir-mikir, karena kita nikah belom ada setahun.” Veren memajukan bibirnya, tapi tidak mengatakan apa-apa. “Elo mau menggugat cerai gue, silakan. Aku ra popo,” kata Deo dengan harga diri yang menjulang tinggi. “Yang ngantri
Kedua mata Gennaro masih terfokus pada ponselnya.“Atau gini aja, deh. Aku minta tolong kamu buat nganterin Kak Freya bisa, Yo?” tanya Gennaro tiba-tiba.“Eh??” Deo melongo sebentar. “Aku?”“Iya, aku ada kerjaan penting banget soalnya. Kamu nggak usah khawatir soal bensin, Yo.” Gennaro mengeluarkan dompetnya dan menarik sedikitnya lima sampai tujuh lembar uang seratus ribu rupiah dari dalamnya.“Bukan masalah bensin, Kak ...” Deo sebetulnya sudah menyatakan penolakan, tetapi dia bingung memilih alasan yang tepat.“Ini ya uang bensinnya, Yo.” Gennaro menyerahkan uang itu langsung ke tangan Deo. “Tolong anterin Kak Freya dulu, ya? Frey, aku jalan lagi ya? Biar Deo yang anter kamu.”Mau tidak mau Freya mengangguk, kemudian mencium tangan Gennaro sebelum suaminya kembali ke kantor dan meninggalkannya berdua dengan Deo di ruang tamu.“Kak, mending Kakak pesen ojol aja. Entar duitnya biar aku balikin ke Kak Aro,” usul Deo cepat-cepat.“Jangan Yo, tadi kan Mas Aro nyuruh kamu buat nganterin
Deo tidak memedulikan perkataan Freya dan kembali sibuk menyantap baksonya.“Yo, apa kamu udah nggak ada perasaan sama aku sedikitpun?” tanya Freya pelan.Deo masih tidak menjawab. Saat ini dia lebih mementingkan rasa laparnya dibandingkan perasaannya tentang Freya.“Yo, jawab pertanyaanku.” Freya mendesak. “Apa perasaan yang dulu itu udah nggak ada?”“Mungkin,” kata Deo dengan mulut penuh. “Tapi sengaja aku kubur dalam-dalam demi Kak Aro.”Freya memandangnya tidak berkedip.“Keluarga besar nggak ada yang tahu kan kalo dulu kita pernah pacaran?” tanya Deo tanpa memandang Freya. “Khususnya Kak Aro?”Perlahan-lahan Freya menggeleng.“Bagus, jangan sampe mereka tau. Aku nggak mau hubungan persaudaraanku sama Kak Aro rusak apa pun alasannya.” Deo menekankan kalimatnya.“Tapi kita masih bisa saling menyayangi, Yo. Kita masih ...”“Haha.” Deo tertawa hambar. “Saling menyayangi? Nggak semudah itu, Kakak Ipar. Simpen aja rasa sayang itu buat Kak Aro. Jangan khianati dia kayak Kakak ngekhianat