"Kelas berapa Dek?" tanya Aavar pada Lusi. Pria itu kini tengah berbincang dengan Lusi. Yah, niatnya ingin mengenal lebih jauh kedua perempuan manis itu. "Kelas tiga, Kak," jawab Lusi dengan canggung. "Baru kelas tiga aja udah cantik, apalagi kalau sudah besar ya?" Tampaknya mode buaya Aavar tengah kumat, membuat dia senang dalam menggombal. "Mau Abang halalin gak?" Pertanyaan berikutnya berhasil membuat Aavar kena pukulan. Bukan dari Lusi, melainkan dari Aarav yang baru datang diantara perbincangan tersebut. "Jangan gila Ava! Dia masih kelas tiga, masih sekolah!" sergah Aarav dengan wajah tegasnya. Aavar yang mendapatkan hal tersebut tentu mencebik. "Untuk jatuh cinta tidak melihat umur, Rav. Oh, kalau tidak dengan adiknya, bisa dong dengan Kakaknya?" tanya Aavar menaik-turunkan alisnya. "Sekali kau menggombal dengan mulut busukmu itu, ku pastikan kau tidak akan bisa berbicara lagi, Ava. Tidak perduli jika kau saudaraku sendiri.""Kalau yang kukatakan bukan gombalan, bagaimana?
"Katakan, kau sudah mengajak makan siang Kinara?" Pertanyaan di sebrang telfon membuat Aarav menghembuskan nafas kasar. "Maksudmu?" tanya Aarav mulai was-was akan rencana saudara kembarnya ini. Ya, yang sekarang tengah menelfon dirinya tak lain adalah Aavar."Ck! Seharusnya kau ajak Kinara makan siang Aarav, bawa dia ke sebuah tempat yang paling romantis untuk kalian kunjungi." Hari ini adalah jam istirahat siang, menjadikan setiap karyawan yang bekerja akan mengisi jam istirahatnya dengan makan siang. Dan lain hal pun dengan Aavar, dia menyuruhnya untuk mengajak Kinara makan di luar. "Terus apa yang harus aku lakukan? Hanya mengajaknya, begitu?" Pertanyaan Aarav jelas membuat Aavar menepuk jidatnya. Tentu tanpa sepengetahuan Aarav. "Allahu, kau masih bertanya apa yang akan kau lakukan? Ayolah, Rav. Ini sebuah kesempatan untuk kau dekat dengannya. Sebuah kesempatan untuk mencuri hatinya. Dan, sebuah kesempatan untuk kau terbiasa dengannya. Lihat saja, kau akan menemukan arti cinta
Setelah acara makan siang selesai keduanya kembali menuju mobil, pulang menuju kantor kembali. Tidak ada pembicaraan setelah itu, hanya saling melirik kemudian fokus dengan pikirannya sendiri. Suara deru mesin mobil menjadi pemicu diantara keheningan yang ada. Menjadi pemenang untuk meluapkan rasa yang canggung. Sebenarnya Aarav ingin sekali berbincang dengan istrinya ini tetapi ia juga bingung harus mengawalinya dari mana. Berbeda dengan Kinara dia malah difokuskan pikirannya akan Karin yang terus mengiriminya pesan. Pesan yang isinya meminta uang 50 juta, dia terus memohon untuk dirinya memberi pinjaman tersebut. Kinara bisa saja memberikan uang tersebut pada Karin, tetapi ... uang itu pun harus ada izin suaminya. Bilamana suami tidak mengizinkannya? Bagaimana coba? Tring! Suara notifikasi yang berbunyi membuat atensi mata beralih pada asal suara. Bahkan pandangan mata mereka sempat bertemu namun kemudian saling buang muka kembali. Kinara yang memutuskan kontak mata tersebut
Kinara menatap kepergian mobil sang suami. Teringat akan isi pesan yang dikirimkan saudara kembarnya itu. Akan suatu hal ... yang membuatnya tidak mengerti. [Kusuruh kau untuk menggenggam tangannya malah tidak kau lakukan. ][Menyuruhmu pula untuk mencium kening, bibir atau bahkan apalah pada Kinara malah tidak!]Isi pesan tersebut jelas masih terekam jelas dalam penglihatannya, berpura-pura bahwa ia tidak membaca saat Aarav bertanya. Padahal jelas ia membaca semua pesan tersebut. "Sebenarnya, apa yang tengah mereka sembunyikan?" tanya Kinara. "Dan apa maksud dari percakapan mereka ini?"Tidak ingin pikirannya ditambah pening Kinara lebih baik menyelesaikan pekerjaannya lebih dahulu. Untung tadi ia sempat salat dulu, bersama Aarav dia menunaikan kewajiban. Dengan begitu ia akan langsung bekerja kembali. Di dalam pikirannya Kinara baru sadar, akhir-akhir ini ... ada sedikit perubahan mengenai Aarav. Bukan hanya pada sikapnya yang pelan-pelan mulai berubah, tapi juga dirinya yang terl
"Ya Allah ... apa yang harus aku lakukan untuk operasi Ibu? Aku tidak mempunyai uang sebanyak itu untuk operasinya." Lirih, Kinara berujar lirih dengan air mata yang berhasil turun membasahi pipinya. Tidak sengaja mendengar suara tangis membuat langkah pria berumur 25 tahun itu terhenti. Dia yang tengah berjalan menuju mobilnya mendekatkan diri untuk melihat siapa yang tengah menangis. "Aku tidak mau kehilangan Ibu ... tapi, aku juga bingung harus melakukan apa. Meminjam uang? Pasti tidak akan ada yang mau meminjamkannya." Kembali menangis, Kinara menangis dengan suara pelan dan tertahan. Kening pria itu mengernyit. Dia yang tak lain Aarav --mengintip di balik mobil belakang. Bertanya kenapa sore-sore begini ada suara tangisan. Padahal hari sudah pukul lima sore, tapi tangis itu tetap berlanjut. Karena penasaran membuat Aarav mengintip dalam diam, berpikir kalau itu adalah suara tangis perempuan. Dan benar saja, seorang perempuan tengah menangis sembari memeluk tas ranselnya. Dia
Waktu sudah menunjukan pukul empat sore, membuat Kinara dengan segera membereskan alat-alat kebersihannya. Ini adalah sesi terakhirnya untuk bekerja dibagian office girl, untuk besok entah akan ke mana ia dipindahkan karena memang Aarav sendiri yang akan mengaturnya. Buru-buru Kinara mengganti baju seragamnya dengan baju gamis. Setiap hari Kinara memang seperti ini, kala bekerja ia akan menggunakan seragam beserta celana. Sedang ketika ia pulang? Maka pakaian gamislah yang ia pakai. Teringat akan ucapan Aarav untuk pulang bersama membuat Kinara dengan segera keluar dari kantor. "Semoga aku yang lebih dulu di sana, kalau Mas Aarav? Jelas aku tidak enak padanya," gumam Kinara dengan terburu-buru. Saat hendak keluar dari pintu tiba-tiba Kinara dibuat mundur kembali pasca matanya tak sengaja berpapasan dengan ... Aarav? Ah tidak, bukan hanya Aarav, Aavar pun juga ada, saling berdiri bersisian. Kinara memundurkan langkah tatkala ia merasa telah menghalangi jalan mereka, karena diras
"Kinar, sebenarnya saya ...."Ucapan Aarav lagi-lagi harus terjeda, bingung juga untuk bertanya. Sebenarnya ada hal yang sangat ingin Aarav tanyakan perkara Ayah Kinara. Hanya saja ... ia tidak punya keberanian penuh akan hal itu. Sebuah kebenaran yang ia simpan jelas membuatnya selalu merasakan resah. "Saya apa, Mas?" tanya Kinara dengan kening mengerut, pasalnya suaminya itu tidak melanjutkan pembicaraan tersebut. "Enggak ada hal yang serius, saya hanya ingin memberitahukan kalau hari ini kita enggak bakal pulang ke rumah Kakek," ujar Aarav mengalihkan topik yang sempat ia bahas. Tampaknya ia harus mengurungkan niat mengenai Ayah Kinara untuk saat ini. "Kenapa, Mas?" tanya Kinara heran. Aarav tidak langsung menjawab justru ia palingkan wajahnya untuk menelusup ke perut Kinara. Hal yang jelas membuat Kinara merasa tersentak, terkejut karena tiba-tiba Aarav menelusupkan kepalanya di perut depannya ini. Kinara merasa geli dan ... merasakan hal yang aneh. Baru pertama kali ia mel
Kinara melotot terkejut kala merasakan lumatan kecil di area bibirnya. Di sana, mata Aarav terpejam menikmati apa yang dia lakukan pada Kinara, sedang Kinara sendiri jelas dibuat deg deg an akan semua ini. Hingga tepat saat Aarav melepas lumatan itu Kinara kembali memejamkan matanya. Aarav terkekeh. "Tidur yang nyenyak ya sayang." Untuk terakhir kalinya Aarav mencium kening Kinara kemudian pria itu pergi dengan membawa handuk yang tersimpan di pundak. "Hah ... hah ... hah ...." Nafas Kinara memburu tatkala Aarav berhasil pergi dari dirinya. Ya, selepas Aarav pergi Kinara terbangun dari kepura-puraannya dalam ridur, dia langsung duduk dengan nafas yang terengah-engah. Bagaikan habis lari marathon itulah yang Kinara rasakan atas kejadian barusan. Tentu saja, toh tadi dia menahan nafas tatkala Aarav mencium bahkan sedikit memberi lumatan. Bagaimana bisa Kinara akan baik-baik saja? Tidak bisa dipungkiri, kejadian barusan membuat pertanyaan kian bermunculan. Akan siapa sebenarnya Aara