Aktifitas makan Cakra terhenti, ia melirik ke arah benda pipih yang tergeletak di dekat kotak nasi. Wajahnya mengernyit, ketika melihat nomor baru memenuhi layar, sedang melakukan panggilan WhatsApp.
"Lidya, aku Terima telepon dulu, ya," Tanpa menunggu jawaban, ia berlari keluar rumah. Setengah tak percaya dengan panggilan masuk itu.
"Halo, Mega?" Ia menyapa pada seseorang di seberang telepon. Memang belum tertera namanya, tetapi ia hafal benar nomor itu.
"Halo?" Sapanya lagi. Untuk ke sekian kalinya, belum juga terdengar suara dari sana.
"Mega? Ini benar kamu, bukan?" Ia memekik lirih, tak sabar karena lawan bicara di seberang telepon tak mau merespon.
"Iya, mas," Jawaban lirih di sana, membuat Cakra tercengang tak percaya.
Siksaan rindu yang semakin lama kian memudar itu, kini mendadak muncul setelah mendengar suaranya. Suara indah, yang hingga kini masih membekas dalam ingatan.
"Maa
Setelah puas memandangi keadaan luar, Cakra menutup pintu dan duduk di sofa tunggal depan TV. Sesekali netranya mengamati gawai di tangan, hendak mengirimkan pesan pada nomor Mega. Namun, hingga kini belum juga mengetik apapun.[Mega. Maafkan aku, jadi bersikap acuh. Aku, ingin bertemu denganmu. Boleh?]Lama ia mengamati pesan itu hingga benar-benar terkirim pada pemilik nomor yang dituju. Hanya saja, di bawah profil gambar perempuan dari arah belakang itu tidak tertulis tanda online. Hingga beberapa saat lamanya, tanda centang dua itu masih saja berwarna keabuan.Satu menit. Dua menit. Lima menit, dan tiga puluh menit berlalu. Tanpa ada tanda-tanda Mega membaca pesan itu. Gelisah, mulai menyergap benak Cakra yang masih memelototi layar enam inchi itu. Sesekali melirik ke arah TV, acara telah berganti dengan berita gosip para artis Ibukota.Jengah, ia mendengus pelan, karena pesan pada Mega tak kunjung dilihat. Kemana
Hari telah petang, ketika ia masuk ke dalam rumah. Ia baru menyadari bahwa di warung tadi, tak sempat memakan apapun. Dan kini perut kosongnya mulai meraung.Akhirnya, hanya dengan sebungkus Mie instan Cakra mengisi perutnya untuk bekal tidur semalam. Ia terperangah, ketika menyadari ada beberapa panggilan WhatsApp dari Mega. Beberapa saat lalu. Juga sebuah pesan.[Buat apa mas ingin ketemu saya? Bukankah mas Cakra sudah punya teman wanita lagi?]Deg!Mata elang itu membulat, lalu mendesah berat dan mengalihkan pandangannya dari layar kecil itu."Apa mungkin Bima bercerita pada keluarganya, tentang pertemuannya denganku waktu itu?" Gumamnya seorang diri. Tak ada siapapun yang menjawab, selain sayup-sayup suara kendaraan berlalu-lalang di jalanan depan sana.Matanya kembali menatap pada layar gawai yang telah berubah gelap, memegang erat benda itu, dengan rasa ragu yang entah apa sebabnya.Ak
Pagi ini, ia tak ingin pergi kemanapun. Kebetulan sabtu pagi ini sedang agak mendung. Untuk keluar mencari sayur pun terasa enggan. Ia hanya merebus mie instan dan telur dadar untuk sarapannya."Apa hari ini aku temui mega saja, ya?" Gumamnya sambil memasukkan sekeping Mie ke dalam panci mendidih."Iya. Sebaiknya aku ke sana saja!" Tak lama, pendengarannya menangkap suara ketukan dari arah pintu."Selamat pagi, Mas," Lidya trsenyum sumringah sambil menenteng rantang susun."Lidya?" Cakra tak percaya, gadis itu akan selalu datang menjelang jam makan. Bahkan jika hari sedang libur seperti ini, Lidya rela datang tiga kali sehari ke tempat kos Cakra. Hanya untuk mengantarkan makanan.Berkali-kali, Cakra meminta pada gadis itu untuk tidak selalu seperti ini. Berkali-kali pula Lidya mengatakan bahwa ia tidak apa-apa. Membantu sesama menurutnya, lebih menyenangkan."Mas Cakra belum makan, kan?" Tany
"Tunggu apa lagi? Ayo bersiap!" Cakra berseru, membuyarkan lamunan Lidya. Juga tak terasa, makanannya telah habis. Berpindah ke dalam perut."Iya, mas. Kalau begitu aku bersiap dulu. Kita harus segera berangkat sebelum turun hujan," Lidya menyahut penuh semangat. Ia lantas beranjak melewati pintu rumah Cakra.Pergi ke kosnya untuk bersiap. Begitupun Cakra. Ia segera membersihkan badannya di kamar mandi, dan memakai pakaian terbaru yang dibelinya beberapa hari lalu. Belum sempat ia memakainya.Tak lupa memasukkan dua stel pakaian ke dalam tas. Karena akan ikut menginap di rumah gadis itu, esok pagi keduanya akan kembali.Ia telah memikirkan semuanya. Sesuai dengan penjelasan pak Tejo, seorang yang dipercaya oleh keluarga besarnya sejak dulu, mendiang pak sanjaya memiliki toko besar di setiap kecamatan. Juga pabrik triplek yang menjadi lahan pekerjaan untuk masyarakat sekitar.Ia yakin, di tempat Lidya itup
Mereka bertiga akhirnya mengobrol kesana kemari, hingga hujan benar-benar reda. Hanya menyisakan air di atas tanah yang masih menggenang, juga air yang tertinggal di permukaan dedaunan. Menetes jatuh, seperti embun pagi."Hujannya sudah hilang. Ayo jalan lagi,"Cakra beranjak dari tempat duduk yang digunakan sejak satu jam yang lalu."Benar, sudah reda. Sebaiknya kita segera jalan lagi saja," Salah satu pengendara lain itu menyahut. Keduanya segera naik ke atas motor model lama. Namun, bagi pekerja kasar seperti mereka jadi sangat cocok.Sementara cakra dan Lidya juga berjalan perlahan, mendekati motor mereka yang basah kuyup tersiram air hujan.Perjalanan usai hujan deras tadi, membuat badan jalan jadi basah dan semakin licin. Medan yang berkelok-kelok dan tanjakan, membuat Cakra harus berkonsentrasi penuh dalam kendali stang motornya.Hal itu, tentu saja menimbulkan Lidya terkekeh melihatnya. Padah
Suasana itu terhenti ketika pak RT tiba-tiba datang, tanpa mengucapkan salam."Tamunya mau nginep di sini? Itu tamu apa calon mantu, sih?" Tuding pak RT tanpa basa-basi. Cakra langsung berdiri, mengetahui apa yang akan terjadi setelahnya."Maaf, pak. Saya kemari, karena ada urusan dengan pihak pabrik," Jawabnya tegas. Membuat yang lain saling memandang tak mengerti. Begitupun Lidya, memang hingga kini belum memahami benar siapa sebenarnya seorang Cakra.Yang gadis itu tau, hanyalah seorang guru pegawai negeri. Mengajar di satu sekolah sama dengannya. Bertempat tinggal di kos yang juga tak jauh darinya. Hanya itu saja."Pabrik?" Tanya pak RT penuh selidik. Dari sorot mata tajamnya itu belum memperlihatkan rasa percaya."Benar, pak. Saya ingin berkunjung ke sana," Jawaban Cakra itu malah membuat pak RT mengerutkan kening, semakin tak percaya saja nampaknya."Pabrik triplek sanjaya, itu? Memangnya ada
Cakra kini benar-benar telah berada di rumah pak RT. Rumah petinggi lingkungan itu memang lebih besar dan megah dari yang lain. Ia diminta tidur di kamar anak sulung yang sedang kuliah di luar kota. Ia terlentang sambil melainkan gawai di tangan, bingung hendak menjawab apa atas pertanyaan Mega tadi.[Kenapa tidak dijawab?][Maaf, mega. Kayaknya minggu ini aku belum bisa. Sekarang aku di nawangan,]tak lama, centang ganda pun berubah warna. Mega telah membacanya, dan tulisan mengetik pun terlihat. Dalam hati, Cakra penasaran dengan jawaban yang akan segera muncul dari mantan istrinya itu. Mantan istri yang hingga kini masih kerap mengganggu tidurnya. Bahkan cintanya, masih melekat kuat di dasar hati.[Ngapain ke sana?]Ia merasa ada kecewa atau apalah, dari balik tulisan bernada pertanyaan itu. Hal itu, semakin menguatkan hatinya, bahwa mega pun hingga kini masih memiliki rasa yang sama. Hanya saja perempuan itu muda
"Langsung pulang sekarang, Mas?" Tanyanya ragu, sambil bergegas memutar kuda besi yang terparkir sendiri."Iya, mas. Kita langsung pulang saja. Sepertinya ini sudah siang, sebentar lagi saya harus kembali ke Pacitan,""Iya, mas. Mari kalau begitu,"Langkah Cakra yang akan menaiki motor itu terhenti karena seseorang yang tadi kembali mendekati. Ia terhenyak, rupanya pak moko belum pergi dari tempat itu."Bapak?""Apa benar? Kamu berteman dengan pak Soni?" Pak moko mencecar dengan tatapan tajam. Seakan masih belum percaya dengan penjelasan tadi. Mungkin saja, pria paruh baya itu penasaran, mengapa seorang Cakra yang selalu direndahkan itu bisa kenal dengan Soni."Benar, pak. Kami teman seperjuangan waktu kuliah dulu. Hanya saja kami berbeda jurusan," Jelas Cakra mengada-ada. Tetap berusaha untuk menutupi jati dirinya dari siapapun, termasuk pak moko dan keluarganya. Kecuali seorang saja, yaitu Mega.