Share

Seperti Sebuah Mimpi

Setelah mereka semua pergi, aku kembali ke luar menemui Bunda dan Ayah. Sebab tadi usai perkenalan, aku diminta Ayah untuk masuk. 

"Bun, jadi itu yang mau dijodohin sama Qila?" tanyaku. 

"Iya. Ganteng, 'kan?" Bunda mengerlingkan sebelah matanya padaku. 

"Idih ... kok, Bunda yang semangat gitu!" protesku. 

"Haha ... akhirnya, anak gadis Bunda nanti akan menikah juga." Bunda berucap sembari menerawang ke langit-langit rumah. 

"Bunda meragukan Qila? Itu artinya Bunda nggak percaya Allah bakal kasih jodoh buat Qila," ucapku lagi. 

"Bunda dan Ayah bersyukur sama Allah sudah diperkenalkan sama anaknya Om Cakra."

"Maksud Bunda?"

"Ya, jadi itu pasti jalan dari Allah untuk mempertemukan kalian ke jenjang pernikahan," jawab bunda enteng. 

"Aduh ... Bunda nggak tahu siapa dia? Dia itu bos baru yang waktu itu Qila ceritain, Bun."

"Oh, ya? Wah ... bagus itu," ujar Bunda girang. 

"Loh? Kok, malah bagus? Bunda nggak tahu gimana kata temen-temen di kantor? Mereka semua bakal ngira aku--"

"Ya, ampun! Aqila, anak Bunda tersayang, tercantik dan tersegalanya. Kamu nggak usah dengerin apa kata orang, deh. Kamu percaya 'kan kalau Bunda dan Ayah nggak mungkin menjodohkan kamu dengan orang sembarangan?"

"Hufft ...." Kuhela napas panjang dan berjalan lesu ke kamar. 

Rasanya percuma berdebat panjang dengan Bunda mau pun Ayah, tetap aku yang akan kalah. Lebih tepatnya, terpaksa kalah. Sikap kedua orang tua yang kelewat 'fer' itu yang kadang membuatku merasa sedikit risih. 

Meski beberapa teman mengaku iri padaku. Mempunyai orang tua seperti sahabat yang selalu bisa menjadi tempat yang tepat untuk bercerita segala hal. Itulah mengapa aku tidak mempunyai teman dekat. Sebab segala keluh kesah hanya kuceritakan pada Allah dan kedua orang tuaku. 

***

Saat sedang sarapan pagi esok harinya, aku seperti diingatkan oleh sesuatu. Namun, otakku mulai sedikit lupa. 

'Ah ... apa yang sudah aku lupakan? Masa baru umur segini udah pikun. Aargh ... aku belum nikah woy!' batinku pada diri sendiri. 

"Kamu ini kenapa, sih?" tanya Bunda yang ternyata memperhatikanku.

"Eh ... ha? Nggak, nggak apa-apa. Qila kayak ada lupa sesuatu, tapi apa?" tanyaku sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. 

"Ada yang ketinggalan barang yang mau dibawa ke kantor?" tanya Ayah. 

"Bukan itu, deh. Ah ... ntar aja. Nanti juga pasti ingat. Oh, ya, Qila selesai sarapannya. Qila berangkat ngantor dulu, Yah-Bun. Love you, assalammualaikum." Aku langsung beranjak meninggalkan Ayah dan Bunda yang masih duduk di meja makan. Mereka terlihat kebingungan saat menjawab salam dariku. 

Maafkan anakmu ini Ayah-Bunda, karena sepertinya otakku mulai error sejak perjodohan kemarin. 

"Hah? Ya, Tuhan! Perjodohan. Iya, aku baru ingat. Aduuuh ... gimana, nih. Ketemu Pak Azka di kantor, apa iya aku bisa bersikap biasa aja? Aduh ... mati aku!" rutukku sendiri setelah mengingat hal besar yang seharusnya tidak boleh dilupakan.

"Loh? Belum berangkat juga?" Suara bariton milik Ayah membuatku kaget. 

"Yah! Qila baru ingat!" pekikku sambil menempelkan kedua tangan di pipi, membentuk huruf 'O' di mulut. 

"Apanya?"

"Bos Qila itu sekarang, 'kan ... Azka!" 

"Hahaha ... cuma itu? Halah, Ayah kira apa'an. Sudah, Ayah juga mau berangkat kerja. Baik-baik, ya, Nak." 

Ayah berlalu setelah mengusap-usap jilbab yang kukenakan. 

"Hu-hu ... kalau nanti Pak Azka itu blak-blakan di kantor gimana? Apa kata anak-anak kantor nanti. Aduh ... aku ini kena karma apa, sih. Sampe harus segininya!" gerutuku. Kemudian, mulai menjalankan motor.

Sesampainya di kantor, aku terdiam sejenak sebelum akhirnya turun dari motor dan masuk dengan langkah pelan dan gontai. Ini pertama kalinya selama aku bekerja di sini, datang dengan wajah yang tidak dipenuhi aura semangat. 

"Loh, Non Ceria. Tumben pagi ini nggak semangat," sapa Pak Rahmat. 

"Hmm ... bos kita yang baru sudah datang, Pak?" tanyaku. 

"Oh ... Pak Azka. Belum, Non. Palingan datangnya juga siang. Eh ... memangnya kenapa? Non Ceria pagi-pagi udah nanya bos ganteng?" 

"Iih ... apa'an sih, Pak. Pake ganteng-ganteng segala."

"Lah, iya. Bos kita itu memang ganteng, Non. Jangan-jangan, Non Ceria nanyain bos, karena kepincut kegantengannya, ya?" ledek Pak Rahmat yang sontak membuatku semakin tidak bersemangat. 

"Aargh ... Pak Rahmat malah bikin makin kesel, deh!" sungutku, meninggalkan orang tua itu yang masih tertawa tidak jelas. 

Aku mencoba menenangkan pikiran sedikit. Belum tentu apa yang kutakutkan akan terjadi, mana tahu Pak Azka juga akan diam saja. 

Rileks, rileks Qila. Jangan su'udzon dulu, belum tentu Pak Azka juga setuju dengan perjodohan ini. Coba lihat, dia itu seorang presdir muda yang dikagumi banyak perempuan di sini. Oh ... apalah-apalah aku ini. 

"Hey ... melamun pagi-pagi, entar kesurupan!" pekik Naya tepat di telingaku. 

"Ya, Allah! Naya, bisa nggak jangan ngagetin orang gitu? Dateng-dateng malah bikin jantungan!" balasku dengan mata melotot. 

"Hehe ... abis, tumben-tumbennya kamu ngelamun pagi-pagi gini. Udah ngopi, ngeteh, minum, ngemil, makan, ma--"

"Stop-stop! Nggak usah banyak tanya hari ini. Aku lagi BADMOOD!" sentakku sebal dengan menekankan kata 'badmood' padanya. 

"Idiih ... tumben-tumbennya si Qila badmood. Kenapa, sih? Cerita, dong."

"Kepo, deh. Udah, mending sana selesain kerjaan. Dari pada kepo aja," sungutku berpaling darinya dan menatap laptop di atas meja. 

"Selamat siang, Pak." Terdengar suara Naya menyapa seseorang. 

Aku menoleh, orang yang baru saja datang itu membuatku hampir syok. Ia berdiri cukup lama dengan kedua tangan disakukan. Aku hanya bisa diam menunduk, menyapa juga tidak berani. 

"Qila. Saya tunggu di ruangan, sekarang," titahnya. Kemudian, berlalu meninggalkanku dalam kebingungan. 

"Heh ... bukannya gerak, malah bengong. Kamu dipanggil ke ruangannya Pak Azka, Qila!" sentak Naya. 

"Hah? Aduh ... ngapain sih dia pake nyuruh-nyuruh ke dalam segala. Nggak bisa ngomong di sini aja," gerutuku. 

"Heh ... dia itu bos! Suka-sukanya dia, dong. Lagian, mana tahu kamu itu mau dijadikan sekretaris pribadi dia gitu. Kalau kamu nggak mau, promosikan aku aja, ya."

"Idih ... bawel banget. Ngarep banget jadi sekretaris orang nyebelin kayak dia," omelku dan bergegas menemui Pak Azka di ruangannya. 

Kuatur napas sebelum mengetuk pintu ruangan orang paling berkuasa di kantor ini. Berulang kali pula aku mengucap bismillah dan istigfar bergantian. Jujur, ada sedikit takut dan grogi yang menggelayuti hatiku. 

Tok ... Tok ...

Kuketuk pintu dua kali dan masuk saat mendapat jawaban dari dalam ruangan. 

Kututup pintu kembali dan berdiri tepat di depan Pak Azka. 

"A-ada apa, Pak?" tanyaku.

"Kita bertemu lagi, Qila. Sepertinya kamu terlihat gugup?" 

"Ha? Hmm ... t-tidak. M-maaf, apa ada yang bisa saya bantu, Pak Azka?"

"Kenapa kamu tidak memanggil Azka saja?" ujarnya dengan senyum tipis di bibir. 

"M-maaf--"

"Kenapa kamu meminta maaf terus dari tadi? Come on, kamu sedang tidak melakukan kesalahan, Qila."

"Saya tahu, tapi--"

"Kamu akan cuti selama dua minggu dari kantor."

"APA?!" pekikku dan menatap Pak Azka tidak percaya. "Saya salah apa?" tanyaku lemah. 

"Sudah kubilang, kamu tidak melakukan kesalahan apa-apa. Hanya saja, kita tidak akan bertemu selama dua minggu."

"K-kita?"

"Iya. Bukankah dua minggu lagi kita akan menikah? Come on, jangan lupa kalau sekarang aku ini adalah calon suamimu," katanya enteng.

"Hah? Aku belum mengatakan kalau aku menerima perjodohan ini. Jangan ge'er begitu. Lagian, apa nanti kata-kata orang di kantor kalau tiba-tiba--"

"Kalau tiba-tiba kamu menikah dengan presdir mereka yang mempunyai aura ketampanan yang tak terkalahkan ini?"

Ya, ampun! Manusia sejenis apa yang kini berdiri dihadapanku? Kenapa dia bisa berpikir begitu? Aku memutar kedua bola mata melihat kelakuan menyebalkan laki-laki ini. 

"Jadi, sekarang kamu hanya masuk kantor satu hari ini. Besok, kamu sudah mulai masa cuti. Sampai bertemu dua minggu lagi dengan status baru, Aqila Putri," ucapnya setengah berbisik. 

Aku melongo. Kemudian, pergi ke luar ruangan dengan napas hampir tidak lagi bisa kuatur dengan baik. Oh ... apa aku sedang bermimpi? Aku mohon, siapa saja tolong bantu aku bangun!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status