Share

Jodoh Dengan CEO

"Bundaaa ...!" teriakku manja saat baru masuk ke dalam rumah. 

"Eh ... eh, bukannya salam dulu," ujar Bunda berkacak pinggang. 

"Assalammualaikum. Qila lagi bete, Bun. Qila punya bos baru yang nyebelin banget. Sombong, sok cool, pokoknya bikin Qila nggak mood banget, Bun." Kusentakkan bokong ke sofa dengan bibir mengerucut. 

"Ya, Allah. Pulang kerja, ngomel-ngomel sama Bunda? Bunda salah apa, Sayang?" Bunda ikut duduk di sampingku sambil mengelus rambutku dengan sayang. 

"Bukannya ngomelin Bunda, tapi ini Qila lagi curhat, Bunda sayang. Please, deh. Nggak usah baper gitu," sungutku.

"Haha ... anak gadis Bunda, yang sebentar lagi mau 25 tahun. Kok, gini amat manjanya?" Bunda membawaku dalam pelukannya yang hangat. 

"Abisnya, tadi itu bos Qila bener-bener ngeselin, Bun."

"Udah, ah. Jangan cemberut lagi, nanti cantiknya hilang, loh." Bunda mengusap-usap kepalaku lembut, hal yang selalu bisa mengubah moodku kembali baik. 

Tidak lama, terdengar suara Ayah mengucap salam dari luar. Namun, aku masih saja nyaman menyender di bahu Bunda. Enggan melepas sampai Ayah masuk dan menggeleng-gelengkan kepala. 

"Harusnya bundanya dibiarkan dulu menyambut Ayah," ujar Ayah sambil menyodorkan tangan untuk disalami. 

"Lagi nyaman begini, Yah," jawabku kembali menyender setelah menyalami punggung tangan Ayah.

"Udah, Bunda mau nyiapin teh buat Ayah. Sama nyiapin buat makan malam nanti." Bunda melepas pelukannya dariku dan langsung berdiri meninggalkan aku dan Ayah. 

"Kamu kenapa, sih? Kok, kayaknya nggak semangat gitu?" tanya Ayah.

"Qila sebel sama bos baru yang kebangetan di kantor," sungutku lagi pada Ayah. 

"Haha ... itu, biasa aja. Namanya juga kerja, pasti ada masalahnya. Lagian, baru segitu aja udah bikin kamu nggak mood."

"Ih ... Ayah! Kok, ngomongnya malah gitu," rengekku. 

"Udah. Oya, besok Om Cakra sama anaknya itu mau ke rumah. Besok kamu 'kan nggak ke kantor."

"Om Cakra?"

"Iya. Sahabat Ayah yang anaknya mau dijodohkan sama kamu."

"Apa?! Ayah, Qila 'kan belum bilang setuju."

"Setuju atau tidak, kamu akan tetap Ayah jodohkan."

Usai memberi ultimatum, Ayah lantas berdiri tanpa menunggu jawaban. Benar-benar menambah kekesalanku hari ini. Bergegas aku masuk ke kamar dan mengunci pintu. 

Mengapa Ayah dan Bunda bisa tiba-tiba berubah egois seperti ini? Harusnya mereka minta pendapatku terlebih dahulu, lagian jaman sekarang kenapa harus ada perjodohan segala. 

Usai mandi, tubuhku terasa segar. Bunda sudah memanggil untuk makan malam. Dengan langkah malas, aku duduk di kursi meja makan. Kalau bukan karena lapar, aku benar-benar tidak ingin ke luar dulu. 

"Hai ... anak Ayah yang cantik," sapa Ayah, tapi bagiku tampak mengejek. 

"Ayah jangan ngeledekin Qila begitu, deh," ucapku tanpa menatap Ayah.

"Ciiee ... marah, ya?" Ayah mencolek hidungku.

"Apa'an, sih. Nanti Qila masuk kamar lagi, nih!" ancamku. 

"Kalau mau kelaparan malam ini, masuk saja," ucap Ayah dengan tersenyum. 

Huft ... terpaksa aku mengalah. Ayah tahu sekali kelemahanku yang memang paling tidak bisa menahan rasa lapar. Bunda hanya tersenyum saja tanpa mau banyak berkata. 

***

"Qila ...!" Suara teriakan Bunda pagi ini sontak membuat mimpi indahku buyar seketika. 

Entah sudah keberapa kalinya Bunda berteriak dan menggedor pintu kamar, aku malah semakin membenamkan wajah ke bantal dan menarik selimut menutupi seluruh tubuh hingga kepala. 

"Qila! Ayo, cepat bangun. Om Cakra akan datang jam sepuluh pagi ini, kamu nggak mau 'kan pas mereka datang, kamunya masih tidur!" pekik Bunda dengan intonasi lebih tinggi dari yang tadi. 

"Lima menit, Bundaa ...!" sahutku dengan menyingkap selimut sebentar, meski mata tetap saja terpejam. 

"Kalau dalam waktu lima menit kamu belum juga ke luar--"

"Iya-iya ...! Ini juga udah mau mandi, nggak usah lebay, deh. Kayak yang mau datang presiden aja!" teriakku kesal.

"Anaknya Om Cakra juga nanti bakal jadi presidenmu!" 

"Udah, ah. Basi! Bunda kelewatan!" jawabku sambil menyentakkan selimut dari tubuh. Meraih handuk dan masuk ke kamar mandi. 

Selesai mandi dan berpakaian, aku melangkah malas ke luar kamar. Bunda tersenyum penuh arti, sedang aku hanya mencebik tak suka. Senyuman Bunda itu tercipta karena kedatangan orang yang akan dijodohkan denganku. 

"Kenapa Bunda senyum-senyum begitu? Terpesona sama kecantikan anak Bunda ini?" ledekku dengan bibir tetap mengerucut. 

"Kamu ini kenapa, sih? Pagi-pagi udah wangi, rapi, cantik, tapi masih ngomel-ngomel? Hilang nanti cantiknya," goda Bunda sambil menyendokkan nasi goreng ke piring di atas meja. 

"Aku ini gimana-gimana juga cantik kali, Bun," jawabku. 

"Semangat, dong. Anak Ayah sebentar lagi 'kan mau ketemu jodohnya," timpal Ayah mulai ikut-ikutan. 

"Bukan ketemu jodoh, Yah. Ketemu orang yang akan dijodohkan, lagian 'kan belum tentu jodoh juga. Mana tahu ada yang nikung di sepertiga malam," jawabku enteng. 

"Ciiee ... emang ada yang mau nikung?" ledek Bunda. 

"Ya ... ya, mana tahu ada. 'Kan, nggak ada yang tahu. Mana tahu selama ini ada yang diam-diam suka sama Qila, tapi belum berani ngungkapin," belaku. 

"Halah ... nembak aja nggak berani, apa lagi ngelamar. Ayah itu maunya, kamu langsung nikah, nggak ada pacar-pacaran. Dosanya juga Ayah ikutan nanggung. Pacaran setelah menikah itu jauh lebih indah rasanya."

"Ayah kayak nggak pernah muda aja," kataku lagi, menyendokkan nasi goreng yang tinggal separo ke mulut. 

"Pernah, dong. Kamu kira, Ayah sama bundamu ini dulu pacaran? Enggak. Cuma ketemu sekali, karena ada acara ceramah. Bener 'kan, Bun?" Ayah menoleh pada Bunda yang senyum-senyum sendiri mendengar cerita Ayah. 

"Iya. Ayah nekat nanyain Bunda ke ustazah yang ngajar di pesantren dan--"

"Dan Bunda malu-malu. Lalu, Ayah nekat lagi buat ta'aruf sama Bunda. Kemudian, nikah, pacaran, punya anak dan akhirnya anaknya sekarang jadi harus ngikutin mode pernikahan Bunda dan Ayah dulu. Gitu, 'kan?" tekanku. 

"Nah, betul sekali anak Bunda yang cantik dan pintar," ucap Bunda dengan mencubit gemas hidungku. 

"Terserahlah. Nolak juga percuma," lirihku pasrah. 

Jam sepuluh, tepat di mana waktu yang ditentukan Ayah dan Om Cakra untuk bertemu di rumah. Meski hati sangat menolak keras, tetap saja rasanya deg-degan ingin tahu siapa gerangan anak Om Cakra yang akan dijodohkan denganku. 

"Uluh ... uluh ... cantik nian anak Bunda ini," puji Bunda saat aku ke luar dari kamar. Menggunakan jilbab panjang menutupi hampir setengah tubuhku. 

Dengan riasan tipis seadanya, aku duduk di ruang keluarga. Sedangkan Ayah dan bunda menemui Om Cakra di ruang tamu. Sungguh, kali ini jantungku seakan ingin ke luar dari tempatnya. 

"Kenapa anaknya Om Cakra mau saja dijodohkan? Jangan-jangan, karena nggak ada yang mau sama anaknya, dan-dan--"

Astagfirullah! Istigfar-istigfar. Nggak boleh su'udzon. Aku terus membatin, membayangkan mengapa anak dari Om Cakra juga setuju dengan perjodohan ini. 

"Qila. Buatkan minuman, ya. Terus kamu antar ke depan, nanti Bunda dan Ayah akan kenalkan sama Om Cakra dan anaknya itu." 

Suara Bunda sontak membuatku kaget, dengan bergegas kubuatkan teh dan menghidangkannya. Kemudian, aku duduk di samping Bunda. Menunduk menatap lantai keramik rumahku. 

"Ini teman Ayah, panggil Om Cakra, ya," jelas Ayah padaku. 

Aku menoleh dengan tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut, tersenyum dan menangkupkan ke dua tangan. 

"Pak Cakra?" ucapku spontan. 

"Jadi, ini Qila? Qila yang dulu masih segini, nih," ucap Om Cakra dengan mengangkat tangannya sedikit di udara, memberi tanda bahwa ia sudah mengenalku dari kecil. 

"Iya. Sekarang sudah segini," tambah Ayah dengan mengelus jilbab belakangku. 

"Kamu kenal?" tanya Bunda. 

"Pak Cakra ini 'kan bosnya Qila di kantor, Bun," jawabku. 

"Oh, ya? Ya, ampun. Saking seringnya tidak di kantor, Om jadi tidak mengenali kamu, loh," ucap Om Cakra sambil tertawa. Aku hanya bisa tertunduk malu dan tersenyum.

"Oh, ya. Ini anak Om Cakra, Dimas."

Ha? Astagfirullah! Apa Ayah dan Bunda tidak salah menjodohkan aku dengan laki-laki yang bahkan lebih cocok kupanggil adik kecil yang imut. Kutafsir ia masih SMP! 

"Hallo, Kak," sapanya dengan melambaikan satu tangannya padaku. 

"H-hallo, D-Dimas ...," jawabku dengan sedikit terbata. 

"Bunda sama Ayah tidak salah pilih jodoh, 'kan?" bisikku di telinga Bunda. 

"Sstt ... nggak sopan bisik-bisik depan tamu." Bunda mencubit pelan tanganku dari balik jilbab panjang yang kukenakan. 

"Assalammualaikum."

"Waalaikumsalam." Kami menjawab serempak dan menoleh bersamaan ke asal suara. 

"Maaf, saya terlambat," ujarnya tampak merasa bersalah dan duduk di samping Om Cakra. 

"Oh ... tidak apa-apa. Qila, kenalkan ini Azka," ucap Ayah.

"P-Pak Azka?" 

"Sstt ... kok, manggil pak? Masih muda begitu," bisik Bunda kembali menyenggol lenganku.

"Hai ... aku Azka," ucapnya dengan menangkupkan kedua tangannya. 

Aku hanya bisa melongo dan membalas dengan menangkupkan kedua tangan. Kemudian, kembali menunduk tanpa menyebutkan nama. 

'Ya, Allah! Jodohku ternyata bosku sendiri di kantor!'  

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status