Share

Mendadak Menikah
Mendadak Menikah
Penulis: Fischa Rina Susanti

Pertemuan Tak Terduga

"Apa? Dijodohkan? Bunda, sebentar lagi Qila 25 tahun. Apa tidak bisa menunggu sampai Qila benar-benar siap. Lagian, jaman sekarang mana ada jodoh-jodohan." 

"Memangnya kenapa? Kamu itu mau dijodohkan Ayah sama anak sahabatnya dulu. Anak itu juga kelihatannya baik." Bunda menerawang langit-langit kamar sambil tersenyum. 

"Eh ... tahu dari mana Bunda?" tanyaku dengan bibir tetap mengerucut. 

"Bunda pernah ketemu, waktu jenguk ayahnya di rumah sakit. Anaknya ganteng, baik, sopan dan ramah. Kamu kalau ketemu, pasti juga langsung suka."

"Idih ... Bunda apa'an, sih! Main suka-suka aja. Emangnya Qila cewek yang gampang suka apa sama cowok," sungutku. Lalu, berbaring memunggui Bunda. 

"Makanya sampai sekarang kamu nggak punya pacar."

Mendengar Bunda menyebut kata pacar, aku kembali duduk dan menatap dengan memasang mimik wajah penuh tanda tanya. 

"Kamu kenapa begitu?" tanya Bunda. 

"Pacar? Ayah sama Bunda ngelarang Qila pacaran. Sekarang, malah nanyain pacar ke Qila," ujarku.

"Haha ... iya-ya. Makanya, Bunda sama Ayah cari'in jodoh buat kamu. Ta'aruf."

"Qila nggak mau! Qila mau nikah sama cowok pilihan Qila sendiri, Bun," rengekku bak anak kecil. 

"Sudah ada?" tanya Bunda. 

"Ya ... belum, sih. Cuma, 'kan--"

"Nah, jadi tidak usah banyak mengelak lagi. Nurut aja sama Bunda." Bunda langsung berdiri dan ke luar dari kamarku. 

Kenapa bisa bunda berpikiran ingin menikahkan aku secepat ini? Ah ... yang benar saja. Jadi, ini alasan Bunda dan Ayah tidak memperbolehkan aku pacaran. 

Kututup wajah dengan bantal. Pasti orang yang mau dijodohkan denganku itu usianya jauh lebih tua dariku. Mungkin karena dia terlihat dewasa, makanya Bunda suka. 

***

Senin pagi, aku sudah bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Kusapa Ayah dan Bunda sekedarnya, tidak berniat untuk ikut sarapan bersama. Pasti nanti yang dibahas masalah perjodohan lagi. Aku benar-benar tidak ingin membahasnya. 

"Ayah-Bunda. Qila berangkat, ya. Assalammualaikum." Kuciumi punggung tangan keduanya dengan cepat dan langsung berlari ke luar rumah. 

Tidak kuhiraukan panggilan Bunda yang mengajak duduk untuk sarapan terlebih dahulu. 

Kupacu motor scoopy kesayangan dengan kecepatan sedang. Pikiran ini masih memikirkan soal perjodohan. Mereka masih saja menganggapku anak kecil, padahal usiaku sebentar lagi akan masuk 25 tahun. 

Sesampainya di kantor, aku bersiul-siul kecil dengan riang. Kebiasaanku setiap pagi, membuat penjaga selalu tersenyum saat melihatku datang. 

"Non Ceria pagi sekali datangnya," sapa Pak Rahmat. 

"Hehe ... lagi semangat pagi ini, Pak," jawabku.

"Kalau begitu selamat bekerja, Non Ceria."

"Sama-sama, Pak Rahmat." 

Aku berlalu masuk, Pak Rahmat selalu memanggilku dengan nama 'ceria'. Itu karena aku selalu datang dengan wajah yang ceria dan penuh semangat. Pekerjaan ini adalah segalanya bagiku, karena dulu sangat sulit sekali melamar pekerjaan di sini. 

"Uhuy ... ada yang tumben datang pagi-pagi." Seseorang menyenggol lenganku.

Naya, teman di kantor. Ia sama cerianya denganku, tapi dia terlalu bucin. Setiap bertemu, selalu saja menceritakan tentang kekasihnya yang entah siapa. 

"Qil, kamu tahu nggak--"

"Nggak," jawabku cepat memotong kalimatnya. 

"Belum selesai tahu!" sungutnya dengan mencubit pelan tanganku. 

"Hehe ... apa'an?"

"Kita bakal kedatangan bos baru di kantor."

"Loh, kenapa? Pak Cakra?" Kuputar kursi menghadap Naya. 

"Pak Cakra udah sakit-sakitan, jadi dia menyerahkan sepenuhnya perusahaan ini pada anak satu-satunya."

"Oh, ya? Hmm ...." 

"Penasaran sama bos yang baru."

"Penasaran kenapa? Yang ganti cuma bosnya, 'kan? Peraturan kantor tetap sama, dilarang ngobrol pas lagi kerja!" ucapku dengan penekanan. 

"Yee ... dasar! Padahal tadi kamunya juga mau diajak ngobrol."

Aku hanya terkekeh geli melihat Naya yang bersungut-sungut. Tidak lama, aku berdiri lagi untuk ke kamar mandi. Hajat yang satu ini memang susah untuk ditahan. 

Aku berlari ke kamar mandi kantor. Setelah selesai dan kembali duduk di kursi kerja. Naya duduk menyamping menghadapku. 

"Kasihan, kamu nggak dapet acara perkenalan sama bos ganteng tadi," katanya dengan penuh semangat. 

"Bosnya sudah datang? Ah ... pasti waktu aku ke kamar mandi tadi."

"Waaah ... kamu rugi nggak ketemu, orangnya ganteng. Senyumnya juga menawan. Andai aku belum punya pacar--"

"Heh ... ngayal jangan ketinggian jatohnya sakit." 

"Aku bilang seandainya. Gimana, sih. Susah kalau ngomongin cowok sama kamu, Qila. Nggak pernah nyambung. Atau jangan-jangan--"

"Jangan-jangan apa?!" sentakku dengan mata melotot padanya. Naya bergidik menatapku. 

"Heh! Aku ini masih normal, tahu!" Kugeser kursi lebih masuk ke bawah meja. Enak saja dia berpikir aku tidak normal. 

***

Pulang bekerja, saat akan memutar balik motor ke luar parkiran kantor, secara tidak sengaja motorku menyenggol betis seseorang. Spontan ku parkirkan lagi motor dan meminta maaf. 

"Maaf, aku tidak sengaja. Maaf, ya. Kamu tidak apa-apa, 'kan?" ucapku dengann kedua tangan menangkup. 

"Tidak apa-apa," jawabnya datar sambil membersihkan celananya yang sedikit kotor. 

"Bener? Aku nggak sengaja tadi." Aku masih merasa tidak enak, karena sudah membuat celananya kotor. 

"Kalau begitu, kenapa tidak kamu bersihkan sekalian?" ucapnya menatapku.

"A-apa? M-maksudnya, aku bersihkan--"

"Cepat, bersihkan." Laki-laki itu meletakkan satu kakinya di pijakan motorku. 

"T-tapi--"

"Katanya mau minta maaf."

"I-iya. T-tapi, eh ... tapi nggak gini juga kali! 'Kan, kotornya juga nggak seberapa," protesku. 

"Ya, sudah. Maaf tidak bisa diterima," ucapnya. 

"Eh ... eh ... sini!" Kuangkat satu kakinya dengan sengaja, hingga membuatnya jatuh terduduk. Untung aku pakai sarung tangan, jadi kulit tanganku tidak langsung menyentuh celananya. 

Melihat itu, sontak saja aku tertawa. Meski merasa bersalah, tapi ekspresinya benar-benar membuatku tidak bisa menahan tawa. 

"Qila!" teriak Naya, aku menoleh. 

Naya berlari mendekat, wajahnya terlihat pucat saat melihat seorang laki-laki yang berdiri dengan raut wajah kesal di depanku. 

"K-kamu ngapain, Qil?" bisik Naya gugup di telingaku. 

"Nih, mau ngerjain aku. Ya, aku kerjain balik," jawabku santai. 

"Qila! Jangan bercanda, deh. Kamu nggak tahu dia siapa," lirih Naya dengan tetap memandang takut sosok di depanku. 

"Siapa?" tanyaku dengan melipat kedua tangan di dada. 

"D-dia, bos kita yang baru. Anaknya Pak Cakra." Bisikan pelan dari Naya sukses membuat seluruh tubuhku lemas. 

"B-bos?" Mataku melotot tak percaya. 

"Hmm ...." Laki-laki itu menggumam. 

"Pak, s-saya m-minta maaf. Tadi--"

"Siapa nama kamu?" tanyanya.

"Nama saya Qila, Pak." Aku menunduk lesu. Pasrah masuk daftar karyawan berkelakuan buruk. 

"Qila? Hmm ... kita akan bertemu lagi nanti."

"Ha?" Aku terkejut. 

"Simpan keterkejutanmu untuk nanti, Qila," bisiknya ditelingaku. 

Ia berlalu meninggalkanku dan Naya yang masih terpana akan kejadian barusan. Ya, Tuhan! Apa yang sudah kulakukan. 

"Sekarang apa?" bisik Naya.

"Entah, Nay. A-aku ... tidak tahu kalau--"

"Kamu, sih! Asal marahin orang nggaj jelas. Nggak tahu orangnya siapa, main seruduk aja." Naya meninggalkanku yang berdiri mematung memperhatikan langkahnya yang semakin menjauh.

'Ah ... dasar aku! Bisa-bisanya memarahi seorang bos di depan perusahaannya sendiri'

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status