Share

Bab 3 – Masuk Kamar Tanpa Izin

“Ngapain lo di sini?!”

Giskana menatapnya tajam. Suaranya rendah tapi kata demi kata memiliki tekanan yang kuat. Tubuh Giskana secara alami beringsut. Ia tak bisa melangkah lebih dari ini. Dulu Giskana memang hanya berani menggertak orang itu saat ada papanya atau Fero saja. Namun kali ini ia tak bisa mundur.

Saat ini Awan tengah membaca buku sambil duduk bersandar di dashboard kasur. Sejurus kemudian ia kaget karena ia pikir lelaki akan membaca buku ekonomi atau manajemen. Akan tetapi lelaki bermata hijau zamrut itu kini tengah memegang sebuah novel. Melihat hal ini membuat Giskana sangat bersemangat.

Bukankah ini berarti dirinya selangkah lebih dekat dengan Awan? Untuk itu ia harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk mendekat ke arah lelaki itu. Tak tanggung-tanggung, saat berhasil melangkah, ia langsung mengambil gerakan cepat dan banyak. Hingga dalam hitungan detik, anak itu sudah duduk di pinggiran kasur, menghadap Awan.

Ketika Giskana dengan lancang memegang novel itu sambil curi-curi kesempatan menyentuh telapak tangannya yang lebar dan kokoh, Awan memelintir tangannya. Membuatnya berteriak kecil kesakitan.

“Aduh! Aaah! Sakit! Ampun Kak! Ampun!”

Meski sudah heboh sedemikian rupa, Awan tak melepaskan tangannya. Kemurahan hatinya hanya sebatas mengendurkan sedikit cengkeraman tangannya. Selanjutnya, Giskana hanya bisa mendesis dengan tatapan mata anak anjing.

“Mau apa lo ke sini?!”

Giskana dapat bernapas lega. Akhirnya tangannya dilepaskan. Ia pun mengusap-usap lengannya yang berharga itu.

“Gue cuma mau minta izin buat masuk kerja di perusahaan lo Kak.”

Oh ini sangat mengejutkan. Awan akan lebih percaya jika ayam bisa melahirkan daripada mendengar orang di depannya ini ingin bekerja dan menjadi bawahannya. Ia pun mengerutkan keningnya. Selain itu, bukankah anak manja ini bisa bekerja di perusahaan papanya?

“Gue nggak izinin,” ucapnya datar.

Awan kemudian lanjut membalik halaman novelnya. Atensi Giskana pun tertuju pada novel berbahasa Inggris itu. Diam-diam dirinya menghapal judulnya agar setelah pulang dari sini ia bisa membeli dan membacanya. Ia ingin memahami Awan bahkan dari hal terkecil sekalipun.

“Terserah. Intinya gue bakal tetep kerja di sana. Magang dulu juga nggak apa-apa.”

Mendengar hal ini, Awan tetap cuek bebek. Ia bahkan tak perduli sedikit pun. Giskana harus sadar jika dirinya saat ini hanya angin lalu belaka. Gadis itu pun kesal tapi ia masih punya banyak trik untuk menarik atensi sang dominan.

“Lo mungkin bisa nolak gue, Kak. Tapi apa lo bisa nolak permintaan bokap lo? Lo pikir bokap gue ke sini buat apa?”

Pernyataan ini sukses membuat lelaki itu menutup novelnya dan meletakkannya di kasur. Kesal, secepat kilat ia mencekik leher Giskana. Cengkeramannya cukup kencang sehingga membuat mata biru lautnya menitikkan air mata. Kedua tangannya menggenggam tangan Awan yang mencengkeramnya tapi hanya itu saja. Ia tak berusaha untuk melepaskannya dari lehernya.

Awan untuk sesaat terpesona dengan mata biru laut sialan itu. Diam-diam ia mengakui jika Giskana cukup mempesona. Namun karena kesal dengan kelakuannya selama ini, ia mempererat cekikannya. Membuat Giskana terbatuk dan kesulitan bernapas. Baru setelah itu ia melepaskannya. Giskana masih terbatuk-batuk dan memegangi lehernya yang memerah.

Sejurus kemudian, anak berusia 23 tahun itu bangkit dari sana dan berkaca. Sial! Di lehernya tercetak jelas bekas cengkeraman tangan Awan. Anehnya Giskana merasa hal ini membuat lehernya bertambah cantik. Tanpa sadar ia tersenyum. Ia menyukai apapun yang diberikan Awan padanya. Ia memuja tanda apapun yang dicetak Awan di tubuhnya.

Setelah puas mengagumi karya Awan pada lehernya, Giskana mengambil syal yang terletak di pinggir kaca itu kemudian mengikatnya di lehernya. Ia harus menutupinya jika tidak ingin menimbulkan masalah. Selanjutnya ia menoleh ke arah Awan dengan tatapan seperti anak kecil yang diberi cokelat.

“Yah pokoknya sampai jumpa di kantor besok.”

Usai mengucapkan salam perpisahan, Giskana keluar dari kamarnya. Bisa berbahaya jika ia tetap bersikeras berada di dalam meski sesungguhnya ia ingin di sini selamanya. Tapi bisa-bisa kepalanya dilubangi oleh peluru.

Giskana dan papanya pun pamit. Raymond menolak ajakan untuk makan malam bersama karena Giskana merengek meminta pulang. Bertingkah manja dan kekanakan bukanlah style-nya. Namun jika tidak ingin dicurigai, ia tak bisa serta merta mengubah image-nya di depan orang-orang. Satu-satunya orang yang harus melihat perubahan yang terjadi pada dirinya dan melihat kesungguhannya adalah Awan.

Waktu berjalan lambat karena Giskana tidak sabar ingin bertemu Awan di kantor. Sehingga di pagi hari pukul lima ia sudah bangun, mandi, dan bersiap. Ia sarapan dengan tergesa-gesa padahal belum ada pukul enam. Papanya yang terbiasa berangkat kerja pukul delapan pun sampai geleng-geleng kepala. Tapi ia tersenyum puas.

Mungkin amnesia membuat anaknya berubah drastis menjadi disiplin, pikirnya. Setelah pamit, Giskana ditemani tiga bodyguard-nya pun berangkat.

“Menurutmu gimana Dy?” Raymond bertanya kepada kepala pelayan Brody.

“Seharusnya tidak ada masalah, Tuan. Bagus juga kalau Nona Muda mau mulai belajar mengurus perusahaan. Apalagi kemampuan Tuan Muda Awan tidak bisa diragukan lagi.”

“Hmm begitu. Kira-kira butuh berapa lama bagi anak itu untuk tumbuh dan berkembang di sana?”

“Kalau menurut saya, sekitar sepuluh—oh tidak. Mungkin lima tahun sudah cukup bagi Nona Muda untuk bisa meneruskan bisnis Tuan.”

Raymond puas dengan jawaban itu. Ia pun mengelus-elus dagunya dan mengangguk pelan.

Di sisi lain, kehadiran Giskana dan tiga bodyguard-nya menarik perhatian seisi kantor. Mereka sebenarnya sampai di sini pukul setengah tujuh. Namun ia menunggu terlebih dahulu di tempat parkir karena Awan akan tiba tepat pukul tujuh. Tidak kurang tidak lebih. Orang itu memang sangat ketat dan disiplin terhadap waktu.

Usai melihat Awan masuk gedung kantor, ia keluar dari mobil dan menyuruh dua bodyguard-nya untuk mengawasi saja dari luar gedung. Lagipula jika mereka masuk berempat pasti akan menghebohkan seisi kantor. Ia tak ingin dimarahi bosnya di hari pertama kerja.

Setelah masuk, ia langsung menuju ke lift. Kantor Giskana ada di lantai empat. Kemudian ia mengeluarkan name tag dari saku jasnya. Sebagai bukti bahwa dirinya diterima magang. Saat tiba di lokasi, ia melihat seorang wanita duduk di meja. Di mejanya terdapat tulisan berisi informasi jika dirinya adalah sekretaris Awan.

“Halo nama saya Giskana, saya pekerja magang di sini,” ucapnya sambil menyerahkan name tag­-nya.

“Oh jadi kamu yang namanya Giskana. Saya adalah Maya, sekretaris Pak Awan. Baru saja bagian personalia mengabari saya. Apa kamu sudah tahu terkait tugas kamu sebagai asisten pribadi?”

Maya menyerahkan kembali name tag-nya dan Giskana pun mengalungkannya di lehernya. “Tentu saja. Bukankah tugas saya itu untuk m-e-l-a-y-a-n-i Pak Awan?”

Maya tersenyum mendengarnya. Seharusnya kata “melayani” di sini terdengar aneh tapi untuk sejenak, Maya terpesona. Ada aura unik yang membuat siapapun akan tertarik terhadap Giskana. Namun kemudian Maya fokus kembali untuk menjelaskan seluruh tugas asisten pribadi. Dari sekian banyak tugas yang dijelaskan, hanya ada satu kalimat yang ia ingat.

“Sama satu lagi, ini di luar jobdesk asisten pribadi. Kita dilarang mengganggu Pak Awan saat Nona Rosa datang ke kantor. Catat ini baik-baik karena asisten sebelumnya dipecat karena itu.”

Giskana mengepalkan tangannya kuat. Tentu saja ia sudah menyelidiki siapa itu Rosaline. Wanita itu adalah kekasih Giskana sekaligus saingan cintanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status