Share

Bab 6 - Karyawan yang Berdedikasi

Setelah insiden itu, Awan membuat Giskana bekerja berkali-kali lipat. Jika karyawan lainnya masuk pukul delapan pagi, dirinya harus sudah berada di kantor pukul enam pagi. Apabila yang lainnya bisa pulang pukul lima sore, dirinya tidak boleh pulang sebelum pukul delapan malam. Tiga minggu sudah berlalu. Giskana mulai memiliki kantung mata.

“Lo kurang tidur ya Gis?”

Maya bertanya padanya. Mereka sudah menjalin hubungan yang lebih akrab sehingga wanita itu memintanya untuk berbicara santai saat hanya berdua.

“Bos lo di otaknya itu 90 persen kerja ya Non? Di rumah pun gue masih disuruh lembur,” keluhnya.

“Ha ha ha. Udah nikmatin aja. Lembur juga dibayar lebih, kan?”

Memang benar. Meskipun Giskana tahu jika bosnya hanya ingin mengerjainya, akan tetapi bosnya itu tidak serta merta memeras keringat karyawannya. Selain itu, si work holic ini memiliki jam kerja yang sama dengannya. Bahkan di hari libur pun Giskana pernah disuruh mengantarkan dokumen ke rumahnya. Padahal dokumen itu tidak mendesak sama sekali.

Sayangnya Awan tidak tahu jika bertemu dan menghabiskan waktu lebih lama bersama dirinya adalah salah satu tujuan dalam hidup Giskana. Maka ketika ia disuruh mengantarkan berkas pukul sembilan siang, ia akan datang pukul tujuh. Kesempatan ini pun tidak ia sia-siakan. Giskana bahkan dengan tidak tahu dirinya menumpang sarapan dan ikut nge-gym di rumah bosnya.

Tentu saja hal ini ia lakukan bukan sebagai asisten pribadi, melainkan teman kecil Awan. Saat ia akan diusir, dengan wajah konyol dan menyedihkan ia akan mengadu kepada Fero. Lelaki itu memang tak pernah bisa menolak keinginan ayahnya karena sebelum ibunya meninggal, wanita itu berpesan agar dirinya selalu mendengarkan apa yang dikatakan oleh ayahnya. Pesan ini pun menancap di pikiran anak berumur sepuluh tahun itu hingga sekarang.

“Giskan kamu harus istirahat yang cukup, kelihatannya kamu kurang tidur,” ucap Fero saat mereka sarapan bersama.

“Siap, Om! Tapi sebagai asisten pribadi Kak Awan, aku harus selalu siap sedia dan memperlajari banyak hal dari Kak Awan.”

“Hmm bagus, bagus. Om suka semangat kamu. Raymond pasti suka dengan semangat kerja kamu.”

Mendengar hal ini, Awan berdecih. Ia tak habis pikir mengapa gadis itu harus merepotkan dirinya untuk membuktikan diri pada papanya. Padahal akan lebih mudah baginya jika bekerja di perusahaan papanya saja.

“Awan kamu ajari Giskan seperti kamu mengajari adik sendiri. Meskipun Om Raymond sudah sepenuhnya menyerahkan Giskan di bawah pengawasanmu, tapi jangan terlalu ketat sama dia.”

“Tenang aja Yah, Awan bakal mengerahkan segalanya buat ‘mendidik’ adik ini.”

Awan berkata demikian dengan mengeluarkan smirk-nya. Ia menatap Giskana dengan tatapan elangnya. Rasanya Giskana kecanduan tatapan ini. Menurutnya Awan versi ini terlihat lebih seksi dibandingkan saat lelaki itu tersenyum ramah. Jika Awan adalah serigala, Giskana memilih menjadi kelinci yang lemah tak berdaya. Giskana akan membiarkan Awan mencabik-cabiknya dengan kejam.

Tiga orang itu akhirnya selesai sarapan roti dan minum susu. Fero hendak bermain golf bersama koleganya. Sementara Awan tidak ikut dan memilih nge-gym di rumah saja. Ia mempunyai tempat gym di rumah itu. Seperti biasa, Giskana seperti lalat yang terus mengelilinginya, sulit diusir.

Hal yang perlu dilakukan oleh Awan adalah mengabaikannya dan fokus pada apa yang harus ia lakukan. Akhirnya ia membiarkan saja saat Giskana hanya melihat-lihat dan bermain-main di sana. Ia sebenarnya tahu pada saat-saat tertentu Giskana menatapnya secara intens. Bagaimana tidak, Awan saat ini memakai pakaian olahraga yang ketat dan pendek. Awan yang berkeringat karena berolahraga memiliki damage yang berkali-kali lipat.

Giskana pun mulai berpikir apakah Rosa sudah pernah menyentuh Awan? Sudahlah, memikirkan hal ini malah membuatnya bad mood. Tanpa sadar saat ini ia menatap Awan dengan mata penuh kebencian. Orang yang ditatap pun salah paham.

“Pergi aja lo dari sini. Ganggu pemandangan aja,” ucap Awan sambil mengangkat barbel.

Lelaki itu bahkan tak menoleh ke arah Giskana. Sejurus kemudian, Giskana mengubah ekspresinya menjadi tersenyum. Akhirnya ia mendekat untuk menjawab rasa penasarannya kali ini. Orang yang didekati tetap fokus menatap ke bisepnya. Peluh menetes dari dahinya.

“Kak gue tahu lo benci sama gue.”

“Kalau tahu, pergi sekarang.”

“Gue bakal pergi kalau lo jawab satu pertanyaa dari gue.”

Hal ini akhirnya berhasil menarik atensi dari Awan. Orang itu meletakkan barbelnya dan menatap Giskana.

“Kenapa waktu itu lo selametin gue? Kalau lo nggak nolong gue mungkin sekarang gue nggak akan gangguin lo. Gue bahkan nggak akan ada di sini. Lo nggak bakal ngelihat gue lagi.”

Perkacapan ini membuat Awan mengingat kejadian itu. Suatu ketika di malam hari ia sedang berkendara sendiri. Jalanan sepi karena hari itu sudah tengah malam. Di tengah perjalanan ia melihat seseorang yang mirip dengan Giskana dikejar oleh lima orang berpakaian hitam. Salah satu dari mereka bahkan menembakkan pistol beberapa kali.

Ia melihat Giskana memegangi lengan kirinya yang berdarah. Giskana berlari masuk ke daerah kumuh yang isinya pencuri dan pengemis. Melihat hal ini, insting Awan membuatnya turun dari mobil setelah mengambil pistol yang ia simpan di dalam mobil. Setelah menunggu momen yang pas, Awan dengan kemampuan beladiri yang baik pun berhasil melumpuhkan lima orang itu.

Saat itu kondisi Giskana sudah pingsan. Sementara salah satu penjahat mengarahkan moncong pistol ke arah kepalanya. Jika tidak ada yang menolongnya, memang bisa dipastikan Giskana akan meninggal. Tidak, bahkan Awan mengira jika Giskana sudah meninggal karena meski badannya masih hangat, ketika itu ia sudah tidak bernapas.

Sesungguhnya Awan sudah sedikit panik melihat orang yang dia kenal terkapar tapi dirinya sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Untuk itu ia melakukan pertolongan pertama dengan membalut lengan kirinya yang tertembak dengan syal yang ia pakai untuk menghentikan pendarahan. Setelah itu ia membopongnya menuju mobil dan ngebut agar bisa segera sampai di kediaman Cakrawala.

Entah itu Giskana atau bukan, jelas dirinya tak bisa membiarkan ada orang dibunuh di depan matanya begitu saja. Sayangnya Awan terlalu malas untuk menjelaskan semua ini. Maka ia pun memilih menjawab seadanya. Lagipula anak itu cuma minta jawaban bukan?

“Gue cuma kebetulan lewat,” ujarnya singkat.

Setelah menjawab demikian, ia bangkit dan meraih handuk kecil putih yang tersampir di atas treadmill. Pergi menjauh karena dari dulu ia tak suka mengobrol dengan Giskana.

“Lo emang jawab pertanyaan gue Kak, tapi jawaban itu nggak ngejawab sama sekali,” tukasnya pelan.

“Karena lo jawabnya malas-malasan dan nggak niat gitu, gue tarik omongan gue yang bilang kalau gue bakal pergi setelah ini.”

Namanya juga Giskana. Ia punya seribu trik untuk selalu menempel kepada Awan seperti ngengat yang gigih.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status