Share

Menikahi Gadis Pilihan Mama
Menikahi Gadis Pilihan Mama
Author: Olivia Yoyet

Bab 01 - Robek

01

"Pokoknya Mama nggak mau tau. Minggu depan kamu harus menikah dengan Raisa. Titik! Nggak pakai koma!" tegas Mama sambil memelototiku. Tangannya ditumpangkan di pinggang. Persis gaya orang mau memulai pemanasan senam.

"Tapi Abang belum mau menikah, Ma. Masih muda. Masih pengen bebas," jawabku sedikit ngotot.

"Umur Abang sudah 27 tahun. Muda dari Hong Kong? Umur segitu dulu, Papa sudah punya anak dua!" sergah Mama tak mau kalah.

"Itu, kan, zaman dulu,Ma. Sekarang umur segini masih pengen eksis. Kongkow, entar umur 30 baru nikah," balasku, sama keras kepalanya.

"Jangan membantah lagi, Bang!" Mama mengancam dengan mengacungkan kepalan tinjunya ke wajahku.

Aku yang masih sayang dengan wajah ganteng, akhirnya memilih untuk diam. Mirip tikus yang sudah masuk perangkap dan tidak bisa keluar.

Papa dan adikku, Neyla.malah menertawakanku dengan semangat. Sepertinya mereka puas melihatku kalah adu argumen melawan Mama.

Tidak peduli aku yang mesem-mesem di sofa paling ujung sembari menahan diri untuk tidak mengeluarkan kata-kata kasar, yang mungkin akan menyebabkan Mama tersinggung. Merasa frustrasi karena tidak bisa melawan, aku akhirnya menenggelamkan wajah ke bantal sofa.

Aku, Freddy tanpa Mercurie, akhirnya harus menerima nasib. Mesti mengalah pada Mama Astri, Queen of the Papa land.

***

Hari yang tidak ditunggu pun tiba. Di sinilah aku, duduk di pelaminan dengan seorang perempuan muda, berumur 22 tahun bernama Raisa Natarina. Anak sahabat karib Mama sejak masih di bangku SMU, yaitu Tante Tina.

Sebetulnya aku dan Raisa sudah dijodohkan sejak dia baru lahir. Jodoh asal-asalan dan sangat dipaksakan. Entah perjanjian apa yang dilakukan mamaku dan Tante Tina, hingga mereka sangat antusias menjodohkan kami.

Waktu aku masih SMA, Mama pernah menyuruhku untuk mengantar dan menjemput Raisa pergi dan pulang sekolah. Bahkan aku sampai dibelikan sebuah motor second.

Yoih, motor bekas. Hal itu dilakukan Mama supaya aku enggak manja dengan barang- barang mewah. Padahal aku tahu, Mama sampai menjual perhiasannys demi membeli motor itu, dengan maksud agar aku lebih akrab dengan Raisa.

Teman-teman sekolah selalu meledekku. Bila mereka membonceng pacar masing-masing yang menggunakan seragam putih abu. Sedangkan aku membonceng perempuan berseragam SD.

Beda usia kami yang mencapai lima tahun memang terlihat enggak seimbang. Terlalu dipaksakan dan membustku sempat malu. Terutama karena aku hanya menganggap Raisa sebagai Adik, sama seperti Neyla.

Acara antar jemput itu berlanjut hingga aku kelas tiga SMU dan Raisa kelas satu SMP. Setelah tamat, aku memilih kuliah keluar dari Kota Bandung. Memang sengaja mencari yang jauh. Biar tidak disuruh jadi ojek antar jemput anak culun.

Ya, dulu Raisa culun banget. Wajah tanpa bedak sama sekali. Rambut diikat ekor kuda terus. Ke mana-mana selalu minta dibeliin es krim. Makannya pun belepotan. Benar-benar jauh dari pacar impianku.

Akan tetapi, sekarang sangat berbeda. Sosoknya yang mungil dengan raut wajah semi oriental karena sang mami keturunan Tionghoa, membuatnya terlihat cantik dan tampak dewasa.

Senyuman menawan dengan lesung pipi di sebelah kiri. Alis tebal melengkung alami. Iris mata cokelat. Bibir tipis melebar yang dipoles lipstik merah muda. Kulitnya putih bersih khas perempuan keturunan Tionghoa.

Aku tidak bisa menebak warna dan panjang rambutnya karena tertutup sanggul dan hiasan pengantin khas Sunda, sesuai dengan asal usul papinya, Om Deni yang asli dari tanah Pasundan.

Acara foto bersama keluarga telah selesai. Dilanjutkan dengan berfoto bersama tetua kedua keluarga, yang hadir jauh-jauh dari kampung. Kemudian aku dan Raisa diminta sang fotografer untuk melakukan pemotretan di beberapa booth foto yang disediakan pihak wedding organizer.

Ya, Tuhan. Bisa enggak sekarang langsung ke acara inti saja? Aku sudah capai senyum-senyum dari pagi. Sangat ingin melepaskan jas pengantin dan berbaring dengan nyaman.

Akan tetapi, lagi-lagi aku harus mengalah demi kelancaran semua proses pernikahan. Aku juga tidak bisa bersikap semena-mena, demi menjaga perasaan keluargaku dan keluarga Raisa.

Tepat pukul 12 siang acara resepsi pernikahan selesai digelar. Akhirnya aku bisa bernapas lega. Bebas dari berbagai rangkaian acara adat yang rumit dan melelahkan.

Saat hendak melangkah menuju kamar pengantin, tiba-tiba lenganku ditarik oleh ketiga pria bersetelan jas abu-abu. Aku hanya bisa pasrah saat tubuhku diangkat dan diceburkan ke kolam renang hotel ini.

Aku berenang ke tepi kolam dan berusaha keluar dengan badan yang basah kuyup. Gelak tawa bahagia para penjahat tukang makan gratisan benar-benar membuatku kesal.

Mereka tertawa senang telah berhasil menjalankan misi mengerjaiku, karena sudah menghilangkan status jomlo akut, yang sudah setahun terakhir kusandang.

"Benar-benar nggak nyangka, pura-pura jomlo, ehh, tau-tau nikah," ujar Erwin seraya menarik tanganku dan berusaha membantuku keluar dari kolam.

"Dendam kesumat tampaknya kalian ini!" sungutku sembari berdiri di tepi kolam, sambil membuka pakaian pengantin yang telah basah.

"Woiii. Jangan porno di sini, atuh!" seru Seno.

"Enggak mungkin aku jalan ke kamar dengan baju basah. Harus dibuka," balasku.

"Tunggu di sini. Kuambilkan pakaian ganti buatmu," ujar Farraz sambil berlari menjauh.

Sambil menunggu Farraz datang, aku sengaja menyipratkan air ke Seno dan Erwin. Aku puas melihat mereka menjerit-jerit dan berlarian menghindar.

Farraz kembali datang bersama Neyla, yang membawa tas plastik bening yang berisi pakaian ganti dan sandal. Neyla memberikan tas yang segera kuambil. Lalu aku berjalan cepat menuju ruang ganti.

Setelah keluar, aku merangkul Neyla dan mengajaknya menjauh dari mata ketiga pria playboy, yang kompak berteriak meminta kami tetap di sana.

"Abang, kata Mama, ke kamar Mama dulu," tukas Neyla.

"Ngapain?" tanyaku.

"Nggak tau. Nurut aja, deh!"

Aku mengangguk. Enggan berdebat karena pasti tetap kalah. Kami memasuki lift yang segera bergerak menuju lantai tiga hotel. Di mana keluarga besarku menginap sejak kemarin sore.

Setibanya di kamar yang ditempati orang tuaku, ternyata mereka sudah menunggu. Tanpa membuang waktu, keduanya mengajakku bicara serius tentang petatah-petitih untuk malam pertama.

Yaelah, dikata zaman dulu kali, ya. Enggak usah dikasih tahu aku juga sudah paham tentang aktivitas yang lazimnya dilakukan pasangan yang baru menikah.

Setelah diceramahi, aku bergegas keluar kamar sambil membawa tas travel merah. Menyusuri lorong panjang yang lengang, mungkin karena semua orang tengah beristirahat.

Langkahku terhenti di depan pintu kamar ujung kanan. Aku mengatur napas sembari menahan degup jantung yang mendadak menggila.

Setelah lebih tenang, aku mengetuk pintu. Tidak berselang lama pintu pun terbuka. Anita, sepupu Raisa yang membukakan pintu, berbalik dan menjauh. Aku melangkah masuk sembari mengamati sekeliling dengan seksama.

Raisa, istri yang baru kunikahi selang beberapa jam yang lalu, terlihat sedang duduk di depan meja rias. Di sebelah kanan dan kiri ada Anita dan Pingkan bukan es mambo, yang juga merupakan sepupu Raisa.

"Ehem ... ehem. Suami sudah datang, tuh, Sa," goda Anita. Tangannya menyolek bahu Raisa yang terlihat gugup.

"Cieeee ... pengantin wanitanya tersipu-sipu melihat pangerannya datang," canda Pingkan yang dibalas cubitan di lengannya oleh Raisa.

Wajah istriku berubah-ubah. Dari merona merah jambu, menjadi merah cabai, dan terakhir menjadi ungu. Mungkin dia sangat terpesona oleh ketampananku.

Sejenak tatapan kami bertemu, sebelum akhirnya Raisa berpaling ke cermin, dan pura-pura sibuk melanjutkan pembersihan wajahnya dari riasan tebal.

Seulas senyuman tersungging di wajahku saat Pingkan melangkah mendekat sambil mengulurkan tangan. Dia menyentuh lenganku lembut sembari mengusapnya beberapa kali. Lalu dia menatapku dengan sorot mata berkilat jahil.

"Bang," ucap Pingkan.

"Ya?" tanyaku.

"Kalau Raisa menolak, kamarku nomor tiga di sebelah kiri, ya," terangnya sembari mengedip-ngedipkan mata kirinya.

"Pingkan!" hardik Raisa sambil mendelik tajam.

Anita dan Pingkan beranjak keluar kamar sambil tersenyum jahil. Keduanya melambaikan tangan dengan gaya centil untuk menggodaku. Saat menutup pintu pun mereka masih cekikikan.

Sekarang, di dalam kamar hanya tinggal kami berdua. Sepasang pengantin baru yang mendadak menikah demi kebahagiaan orang tua kami.

Aku melangkah pelan dan duduk di ujung tempat tidur. Curi-curi pandang ke Raisa yang masih sibuk membersihkan riasannya. Tiba-tiba aku merasa gugup, padahal awalnya aku sangat percaya diri.

Aku kaget kala Raisa bangkit berdiri jalan menuju kamar mandi. Aku menarik napas lega saat dia menghilang di balik pintu yang ditutup cukup keras.

Aku membuka sandal, lalu meletakkan tas travel ke lantai. Baru saja aku hendak berbaring, panggilan Raisa membuatku harus membatalkan niat buat merebahkan diri.

"Abang!"

"Ya."

"Bisa tolong aku nggak?"

"Apaan?"

"Tolong bukain risleting gaunku. Macet, nih!"

Aku mengenakan sandal kembali, lalu berdiri. Dengan langkah ragu aku mendekati perempuan muda yang tengah menungguku di depan pintu kamar mandi yang terbuka lebar. Raisa terlihat malu saat berbalik dan menunjukkan belakang tubuhnya yang sedikit terbuka.

Punggungnya mulus banget. Tanganku gemetar saat menyentuh kulitnya secara tidak sengaja. Ritsleting gaun ini ternyata memang sulit dibuka. Hingga aku terpaksa mengeluarkan seluruh tenaga dalam.

Akibatnya, gaun pengantin putih tulang itu robek. Raisa menjerit. Sementara aku hanya bisa melongo, sambil terus memandangi kulit mulusnya yang kian terekspos hingga ke dekat pinggangnya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
annisa syifa
.........saking bersemangatnya Buk gaun yah bang
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status