Mayja duduk di samping Devanda, sedangkan Daffa di depan sebelah supir. Hari ini katanya Devanda ingin menunjukkan keindahan Bali kepada Daffa sebelum pulang ke ibukota. Tentu tidak mungkin anak itu tinggal lama di sini karena masih harus masuk sekolah.
“Pak, kita ke sana saja,” ucap Devanda setelah melihat pantai di depannya. Sebenarnya di Bali ini banyak pantai dan Devanda tidak tau apa saja. Jadi dia meminta supir untuk jalan lurus sehingga bisa langsung menepi jika menemukan pantai cantik. Toh, sejak menginjakkan kaki di Pulau Bali, Devanda belum pernah berkeliling.
Masing-masing dari mereka pun membuka pintu mobil dan keluar. Betapa segarnya udara yang langsung menyerbak rambut Devanda. Pemandangan yang cantik, tapi terlalu banyak orang. Devanda tidak begitu nyaman.
“Mau langsung ke pantai, Nona?”
Devanda menunjuk cafe kecil di pinggir. “Aku haus, kita beli minum dulu saja.”
“Baik.”
“Ayo, Daffa.” Devanda merangkul bahu anak itu da
“Lepasin aku, Kak! Lepas! Aku malu! Bisa nggak Kakak berhenti ikut campur sama urusanku?!”“Kamu ini adikku! Kamu tinggal di rumahku! Kalau kamu masih mau hidup bersamaku, patuhi perintahku!” hardik Rasel dengan tegas, membuat banyak orang mulai berbisik.“Rasel!” Tidak ingin semakin ricuh, Andriyan berniat menengahi keributan yang dibuat Rasel dengan adiknya. Sudah bukan hal baru bagi Andriyan karena dia paham bagaimana hidup anak itu.“Tu—Tuan?” Rasel segera memperbaiki kacamata dan posisinya. Dia juga melepas cengkramannya pada pergelangan tangan adiknya.“Apa yang kamu lakukan di sini? Banyak mata melihatmu.”Kalau bukan karena ucapan Andriyan, mungkin Rasel belum sadar akan keributan yang dia buat. Pandangan dari sekitar jadi membuatnya tidak nyaman, lalu ia kembali menghadap Andriyan. “Mohon maafkan saya. Ada beberapa masalah yang berkaitan dengan adik saya sehingga harus segera saya selesaikan.”Setelah itu Rasel melirik Senja dengan
Dengan bantuan kenalannya, ini akan mempermudah rencanaku. Jiwa bebas Andriyan yang sudah tertanam sejak muda harus tetap dilepaskan.Sejujurnya pertemuanku dengan Pak Johan tadi juga merupakan kesempatan, namun aku tidak menemukan banyak hal. Jejak Andriyan terlalu bersih meski aku berusaha mengoreknya sampai akar. Apa tidak ada skandal apa pun di kantor mereka?Mungkin masalahnya karena Andriyan belum diberi kesempatan untuk bertemu dengan wanita lain ….Dulu saat tinggal di ibukota, dia selalu aktif mendatangi pesta-pesta sosial konglomerat. Jadi aku tidak mengerti mengapa dia tidak ambil bagian dengan cara yang sama di sini. Aku bahkan jarang melihatnya keluar malam karena setelah pulang kerja dia hanya menemaniku di kamar.Tidak, aku tidak perlu kecewa dulu. Jika itu adalah kesempatan yang kurang darinya, aku akan menciptakan kesempatan itu sendiri.“Kamu terlihat sangat santai ya
Lahir di keluarga konglomerat membuat Devanda terlatih mandiri. Hal-hal yang bersifat pribadi cenderung dilakukan olehnya sendiri meski telah dipekerjakan pelayan maupun asisten. Dalam artian, ia tak pernah bertukar afeksi pada orang lain.Apalagi sosok laki-laki dalam hidupnya. Ayahnya yang selalu sibuk, adiknya yang brengsek, dan suami pertamanya yang merupakan bajingan hingga di dua kehidupannya. Tak ada laki-laki yang bisa dia andalkan, bahkan untuk sekedar tempat berlindung yang nyaman.Meski ayahnya tampak selalu mempedulikan keinginannya, tapi dia tak pernah benar-benar merasa dekat seperti kasih sayang murni seorang ayah, bukan hanya bentuk figur formalitas saja.Hingga dia bertemu Andriyan.“Mau kusuapi?”Bagaimana ya rasanya disuapi? Apakah itu menyenangkan?“Tidak. Aku bisa melakukannya sendiri. Jadi, makan saja makananmu sendiri,” kata Devanda dengan tegas.“Kamu bahkan nggak bisa megang sendok. Aku jadi sadar, kayaknya po
“Kenapa kamu masih di sini dan belum pulang juga?”Andriyan menatap datar Daffa yang sedang bermain PS miliknya. Mendengar itu, Daffa tersenyum lebar. “Saya akan kembali setelah saya ingin kembali. Jadi pinjam rumahnya sebentar ya, Om.”Om?!Andriyan menatap jengkel bocah ingusan itu. Bisa-bisanya dia memanggil Devanda ‘kakak’, tapi menyebut dirinya ‘om’. Padahal Andriyan dan Devanda jelas merupakan suami istri yang hubungannya harus disamakan di mata Daffa.“Kamu hanya merusuh saja di sini. Lebih baik kamu segera pulang.”“Jangan bilang begitu pada adikku!” Devanda datang entah darimana dan langsung menginterupsi mereka. Perkataannya yang tiba-tiba membuat jantung Andriyan seperti hampir berhenti berdetak. Piring di tangan Devanda membuat perhatian Andriyan teralihkan.“Apa yang ada di piring itu?”Devanda mengalihkan pandangannya dari Andriyan lalu duduk di samping Daffa. “Jangan menyentuhnya. Barusan kamu mengusir adikku.”“
Langkahnya semakin cepat dari biasanya. Dia tidak ingin menimbulkan masalah karena alkohol yang membuat kesadarannya menurun. Dia khawatir namanya dan nama keluarganya akan tercemar. Sehingga, dia memutuskan untuk menghindar dari keramaian dan mencari tempat sepi untuk menghirup udara segar."Tunggu! Tolong, tunggu sebentar, Pak! Tunggu!"Dia mendengar suara itu, tapi sengaja mengabaikannya dan terus berjalan."Andriyan Prakarsastra!"Dia terpaksa berhenti. Perempuan itu pasti sangat nekat sampai berani memanggil namanya."Maaf, bukannya saya bermaksud lancang, Pak Andriyan, tapi bisakah Anda membantu kami? Kami sudah mencari-cari orang yang lewat di lorong ini, tapi hanya menemukan Pak Andriyan," ucapnya.Dia menoleh dan melihat perempuan itu dengan wajah panik. Dia tidak menjawab apa-apa, hanya menatapnya dingin."Emm, nyonya saya mengeluh pusing dan tubuhnya lemas. Saya tidak tahu harus berbuat apa karena saya tidak kuat membopongnya sendirian. Saya sangat khawatir dengan keadaan b
“Panggil dia 'ayah' karena dia calon mertuamu,” ujar Andriyan, mengoreksi ucapan Devanda di lorong tadi. Devanda tampak tak peduli. “Kita belum menikah secara resmi. Dia juga belum resmi menjadi ayah mertuaku,” sahutnya dengan nada acuh tak acuh dan kaku. Andriyan pun menahan kekesalannya. Dia teringat dengan perkataan Agnes. Apakah benar Andriyan tidak akan tahan hidup selamanya bersama Devanda yang kaku dan membosankan itu jika menjadi istrinya? Bukankah kehidupan pernikahan mereka akan menjadi sangat membosankan?“Lihatlah penampilan tunangan Anda yang kaku dan membosankan itu.”“Dia juga anti sosial. Angkuh dan tidak bisa bergaul dengan orang lain.”“Lebih baik Anda cari perempuan lain sebelum terlambat dan menyesal, Pak.”Kalau bicara fakta, semua orang yang melihat Andriyan bersanding dengan Devanda pasti akan berkata bahwa Andriyan lebih pantas mendapatkan perempuan yang lebih baik. Bahkan tanpa usaha, Andriyan pun bisa dengan mudah menaklukkan perempuan mana saja yang dia ma
“Apa?” Sakti merasa tidak percaya dengan permintaan anaknya. Pasti bukan itu yang Devanda maksud, kan?“Vanda ingin menikah dengannya,” ucap Devanda sambil menunjuk ke arah Andriyan.“Dia siapa?” Sakti menoleh ke arah Aji. “Om Aji?”Devanda melotot dan segera menggeleng. “Iyan. Andriyan Prakarsastra.”Andriyan yang sibuk mengedarkan pandang akhirnya kembali menatap Sakti, Aji, dan Devanda dengan tatapan bingung karena mereka memperhatikan dirinya bersamaan. “Saya?”Devanda mengangguk mantap. “Keputusan Vanda sudah bulat, Pa. Vanda harus menikah dengan Iyan.”Sakti masih bingung karena anak perempuannya yang masih bau kencur ini bahkan baru memperoleh KTP tahun ini. Kenapa jadi tiba-tiba sekali ingin menikah dengan laki-laki yang belum mapan maupun jelas masa depannya? Namun, sejak kecil sampai sekarang, Devanda bukan anak yang rewel. Bahkan belum pernah meminta apa pun padanya. Sehingga Sakti sangat terharu karena akhirnya anaknya mengajukan permintaan.“Boleh Papa tahu kenapa Vanda i
“Aku bisa menjelaskan semuanya--”“Saya tidak butuh penjelasan karena saya melihatnya langsung. Jadi, hal tersebut sama sekali tidak menjadi masalah. Kakak tenang saja,” ucap Devanda langsung.Entah mengapa ini membuat Andriyan semakin kesal pada Devanda.“Itu saja?”“Iya--”“KENAPA?!” Emosi Andriyan berhasil tersulut. “Kenapa tidak menjadi masalah? Kenapa aku harus tenang? Marahlah! Marahlah seperti yang seharusnya, kamu layak akan hal itu. Marahlah sepuasmu!”Ekspresi Devanda tidak berubah sedikit pun. Semuanya masih sangat datar dan stabil. Tidak ada yang berubah walau nada bicara Andriyan meninggi padanya. “Kakak, saya sama sekali tidak marah.”Tiba-tiba raut Andriyan berubah. Dia menepuk tangannya satu kali lalu berseru, “Ah, ya! Ini dia! Kamu marah!”“Seperti yang sudah saya katakan, saya tidak marah, Kak.”Andriyan menggeleng dengan mantap. “Nggak! Kamu marah, buktinya kamu nggak mau menemuiku selama 15 hari ini!”“Itu karena saya sakit dan saya tidak ingin Kakak tertular penya