Share

3. Hanya Alasan

“Apa?” Sakti merasa tidak percaya dengan permintaan anaknya. Pasti bukan itu yang Devanda maksud, kan?

“Vanda ingin menikah dengannya,” ucap Devanda sambil menunjuk ke arah Andriyan.

“Dia siapa?” Sakti menoleh ke arah Aji. “Om Aji?”

Devanda melotot dan segera menggeleng. “Iyan. Andriyan Prakarsastra.”

Andriyan yang sibuk mengedarkan pandang akhirnya kembali menatap Sakti, Aji, dan Devanda dengan tatapan bingung karena mereka memperhatikan dirinya bersamaan. “Saya?”

Devanda mengangguk mantap. “Keputusan Vanda sudah bulat, Pa. Vanda harus menikah dengan Iyan.”

Sakti masih bingung karena anak perempuannya yang masih bau kencur ini bahkan baru memperoleh KTP tahun ini. Kenapa jadi tiba-tiba sekali ingin menikah dengan laki-laki yang belum mapan maupun jelas masa depannya? Namun, sejak kecil sampai sekarang, Devanda bukan anak yang rewel. Bahkan belum pernah meminta apa pun padanya. Sehingga Sakti sangat terharu karena akhirnya anaknya mengajukan permintaan.

“Boleh Papa tahu kenapa Vanda ingin menikah dengan Iyan? Vanda kan baru pertama kali bertemu dengan Iyan,” ucap Sakti. Aji jadi ikut menyimak dengan saksama.

“Karena … dia ganteng?” Vanda mengatakannya dengan serius. Bahkan raut wajahnya menunjukkan kejujuran, tidak ada indikasi bahwa dia bercanda atau bohong. Devanda sangat serius dan sadar dengan apa yang diucapkannya.

“Tapi ini terlalu tiba-tiba, Nak. Selama ini Papa saja tidak tahu kalau selera pria Devanda adalah yang tampan.”

Andriyan tidak memiliki prestasi yang begitu luar biasa selain wajah tampannya, sehingga Sakti masih sulit percaya dengan penilaian Devanda. Sebagai ayah, Sakti sangat tahu bagaimana Devanda memiliki pemikiran yang lebih dewasa daripada anak seusianya. Devanda juga lebih cerdas dalam menilai sesuatu hal sehingga Sakti jarang merasa cemas dengan keputusan yang perempuan itu ambil, tapi sekarang tiba-tiba sekali dia ingin menikah? Dengan laki-laki yang baru pertama kali dia temui? Hanya karena … tampan?

“Kalau permintaan Vanda terlalu sulit untuk dilaksanakan sekarang, kami bisa bertunangan dulu. Lagi pula masih sama-sama sekolah,” ucap Devanda.

Semuanya masih tercengang. Aji dan Sakti seperti kehabisan kata-kata. Aura yang Devanda bawa itu seperti aura dominan yang mana permintaannya bisa langsung dipenuhi saat itu juga.

“Apa maksudnya, Ayah?” tanya Andriyan yang tidak paham.

“Apa kamu … mencintainya?” tanya Aji pada Devanda. Setidaknya sebagai calon mertua, dia harus tahu isi kepala menantunya.

Devanda melirik Andriyan yang masih seperti orang bodoh karena tidak bisa memahami percakapan di depannya. “Saya ingin menikahi orang paling tampan di dunia! Andriyan lah solusinya.”

Alasan pernikahan yang tidak masuk akal bagi Andriyan kala itu. Tapi menarik.

Awalnya Andriyan ingin membiarkan pertunangan itu berjalan tanpa arah sembari memahami isi kepala Devanda yang sebenarnya. Namun berbeda dengan apa yang wanita itu katakan, perilakunya terhadap Andriyan sama sekali tidak menunjukkan rasa ketertarikan. Ia bahkan tumbuh dengan menutup mata dan telinga atas segala perselingkuhan atau pengkhianatan yang Andriyan lakukan. Padahal kalau memang Devanda tertarik pada wajah tampan Andriyan, akan muncul rasa kepemilikan yang mengharuskan Andriyan untuk hanya menjadi milik Devanda seorang.

Tapi kenapa Devanda diam saja membiarkan Andriyan berbuat nakal dan berkeliaran? Apa karena mereka belum menikah? Atau … Devanda sengaja diam saja untuk menarik perhatian Andriyan?

Memang tidak masuk akal jika Andriyan masih menjadi tunangannya selama delapan tahun, batin Andriyan.

“Andriyan.”

Sontak Andriyan mendongak ketika sadar dirinya masih berada di ruangan ayahnya. Tanpa sengaja pikirannya tadi melayang jauh akan hari pertemuan pertamanya dengan Devanda.

“Jadi, apa kamu ingin membatalkan pertunangan ini?”

Pertanyaan ini terlalu tiba-tiba. Andriyan bingung harus menjawab apa. Sudah dari lama dia memang tidak memiliki keinginan untuk menjadi bagian hidup Devanda dan tidak ingin perempuan aneh itu menjadi istrinya. Tapi sejak berusia 19 tahun, benak Andriyan seolah sudah tertancap pernyataan bahwa dia merupakan calon suami Devanda. Sehingga jika tiba-tiba dia sudah bukan lagi calon suami Devanda, dia merasa aneh.

“Iyan tidak tahu, Ayah.”

“Memangnya kamu sudah mencintainya? Sebenarnya ayah tidak ingin kalau kamu sampai menyakiti anaknya dan membuat Keluarga Kusumawirya merasa dendam pada keluarga kita, tapi selama ini Ayah menerima pertunangan yang diinginkan Vanda karena dia tertarik padamu.”

Tapi dia sama sekali tidak tertarik padaku!

Itulah yang membuat Andriyan kesal. Dia dan ayahnya seperti dipermainkan. Itu sebabnya Andriyan merasa dia tidak bisa membatalkannya begitu saja.

“Ayah tidak perlu khawatir lagi. Biarkan hal ini menjadi urusan Iyan dan Vanda.”

Aji tampak menghela napas berat lalu mengurut keningnya. “Baiklah, selesaikan semuanya dengan cara yang benar. Jangan mengecewakan ayah, Iyan.”

“Baik, Ayah.”

***

Andriyan sudah mendapatkan informasi bahwa Devanda berada di kamarnya. Saat ini di dalam rumah Keluarga Kusumawirya, hanya ada Devanda, asisten, dan para pembantu hingga ajudan. Katanya adiknya ikut perjalanan bisnis orang tua mereka. Untuk menyambut Andriyan, Devanda sudah menunggu dan duduk rapi di sofa tamu yang memang sudah tersedia di dalam kamarnya yang luas. Ini akan menjadi kali kedua Andriyan melihat kamar Devanda.

“Selamat datang, Kak Iyan,” ucap Devanda dengan ekspresinya yang serius, seperti biasa.

Andriyan juga seperti biasa, bersikap tak sopan dan semena-mena. Ia memberikan kode pada para asisten untuk menunggu di luar. Setelah pintu tertutup, Andriyan langsung mendudukkan diri di hadapan Devanda. Tatapannya sangat merendahkan, tapi tak berhasil membuat Devanda menciut sama sekali.

“Sepertinya ada yang sangat ingin Kakak bicarakan.”

“Sudah 15 hari aku terus mengajukan permintaan untuk bertemu, tapi kamu terus menolak kedatanganku,” kata Andriyan dengan kening berkerut. Harga dirinya sangat tercoreng akan hal itu.

“Saya sedang tidak enak badan, semoga Kakak bisa memakluminya,” dalih Devanda.

Ini respon yang wajar kalau memang dia sakit hati setelah melihatku yang berciuman dengan perempuan lain saat itu, tapi ini adalah pertama kalinya dia mengabaikan permintaanku untuk bertemu, batin Andriyan yang terus menatap lurus Devanda.

“Tentang hari itu, aku tahu apa yang kamu pikirkan sampai kamu memperlakukanku begini,” kata Andriyan. Nadanya penuh emosi dan penekanan.

“Saya kurang paham dengan apa yang Kakak maksud,” ucap Devanda.

“Aku tahu kamu paham apa yang kumaksud.”

“Tidak sama sekali,” jawab Devanda langsung, tidak mau kalah.

Devanda, perempuan ini memang terlihat tidak peduli dan mengacuhkanku. Tapi sebenarnya, dia menyukaiku. Dia pasti sangat menyukaiku sampai gila dan menjadi bersikap begini. Dari awal sebenarnya dia sadar bahwa dia berpotensi untuk dijodohkan dengan Jonathan Prakarsastra, putra sulung dari anak paman tertuaku. Bisa dibilang sepupuku. Daripada aku, Jonathan memiliki pengaruh lebih besar melalui kemampuan dan prestasi yang berhasil dia capai. Dia sangat membanggakan nama besar Prakarsastra dan ada kemungkinan untuk menjadi gubernur dalam pemilihan tahun depan.

Tapi kenapa dia malah memilihku? Tentu karena aku tampan dan dia menyukaiku.

Mau dipikirkan dari sudut pandang apa pun, status yang dimiliki Jonathan itu lebih baik daripada aku. Ini semua pasti karena Devanda menyukaiku dan dia rela mengabaikan ambisinya demi bersamaku.

Masalahnya hanya … aku tidak menyukainya.

Itu yang Andriyan pikirkan tentang Devanda.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status