Share

7. Menganggu Pikiran

Setelah menikah, aku tidak punya pilihan selain Devanda.

Jadi, apakah ini kutukan darinya? Atau mungkin hanya tidak berfungsi sementara?

Ya, pasti begitu. Karena tidak mungkin aku … impoten di usia sekarang!

Tidak, tenang saja. Itu tidak mungkin.

Tapi … sejak hari di mana aku melihat tubuh Devanda yang hanya dililit handuk, setiap kali aku memikirkan perempuan itu, aku jadi … terangsang!

Tidak, tidak, tidak bisa begini. Ini pasti hanya tidak berfungsi sementara. Aku yakin itu.

Rasel, asisten pribadi Andriyan, terus menatap heran atasannya. Apalagi yang sedang terjadi kepada atasan anehnya ini? Beberapa hari sejak pulang dari rumah tunangannya, dia jadi sering bicara sendiri dan melamun begitu. Seolah ada sesuatu yang tidak beres di dalamnya.

“Apa Anda ingin dibawakan minuman atau sesuatu yang menyegarkan, Pak?” tanya Rasel.

Andriyan tidak menjawab apa pun dan hanya mengibaskan tangannya agar Rasel tidak mengganggu konsentrasi yang dibangunnya dari tadi.

Tak lama kemudian, Devanda datang. Acara makan malam bersama ini memang sudah rutin dijadwalkan jauh hari bersama keluarga inti Andriyan dan Devanda. Ia kira, Devanda tidak akan datang dengan alasan sakit seperti biasa. Namun begitu mengejutkan ketika perempuan ini datang dan menyapa keluarga.

“Ka—kamu tumben—”

“Kenapa kamu bilang begitu? Bukankah bagus akhirnya Vanda datang? Berhenti mengatakan sesuatu yang tidak jelas, Iyan,” pungkas Aji yang tidak ingin Devanda dipermalukan oleh anaknya itu. Sakti dan Mutiara, orang tua Devanda hanya meringis saja. Penyebab perempuan itu datang hari ini juga karena teriakan Mutiara untuk yang kesekian kali. Anak keras kepalanya itu tampaknya lelah mendengarkan kebisingan ibunya.

“Maafkan Vanda ya, Ji, Nak Iyan,” ucap Sakti.

Mereka pun memulai acara makan bersama ini setelah Devanda mendudukkan diri di sebelah Andriyan. Sial sekali bagi Andriyan sebab walau tubuh Devanda tertutup, dia terus kepikiran dengan apa yang dia lihat waktu itu. Kehadiran Devanda benar-benar memberikan distraksi pada Andriyan.

“Wajah Kakak terlihat aneh. Apa Kakak sakit?” tanya Devanda sebab raut Andriyan tidak seperti biasanya. Andriyan berusaha mengabaikan Devanda, dia tidak ingin perempuan itu tau kalau dirinya sedang menahan sesuatu.

Apa dia marah? pikir Devanda karena sikap Andriyan tidak seperti biasa.

“Kalau Kakak marah karena saya terlambat, saya minta maaf. Tadi di jalan sangat macet.” Kalau Devanda mendadak formal begini, berarti suasana hatinya sedang membaik.

Andriyan jadi merasa dirinya menjadi terlalu kaku. Mungkin karena dia juga masih berusaha menyesuaikan diri dengan keberadaan Devanda. “Ti-tidak, aku tidak marah.”

Selama makan malam, Aji, Sakti, dan Mutiara sibuk berbincang sendiri. Sebenarnya itu juga cara mereka untuk memberikan ruang kepada Andriyan dan Devanda. Sebab tampaknya keduanya membutuhkan ruang lebih luas agar semakin dekat sebelum pernikahan dilaksanakan.

“Maaf kalau perkataan saya beberapa waktu lalu mungkin sudah menyakiti Kakak.”

“Uhuk-uhuk!”

Sebenarnya, apa Devanda berniat untuk membuat Andriyan tidak dapat menikmati makanannya sendiri? Perempuan itu tiba-tiba membicarakan situasi hari itu. Padahal sejak hari itu, Andriyan tidak bisa lagi tidur dengan nyenyak. Devanda selalu mendatangi mimpinya seperti terror. Bedanya, di dalam mimpi, Devanda membuka tangan lebar untuk menyambut Andriyan dengan senyuman lebar.

“Apa aku sudah pernah bilang kalau aku tidak pernah nyaman dengan caramu bicara padaku?” Itu yang malah Andriyan katakan.

“Cara bicara?” tanya Devanda yang tidak paham.

Andriyan mengambil garpu lalu menusukkan pada potongan buah melon yang tak jauh dari piring mereka. Ia arahkan garpu itu ke depan Devanda. “Berhenti berbicara formal padaku dan panggil aku dengan santai. Kita terlihat seperti rekan kerja, bukan tunangan.”

Devanda memperhatikan baik-baik melon itu. Kalau dipikir-pikir, memang Devanda yang terlihat canggung pada Andriyan. Padahal mereka sudah bertunangan, tapi hubungan mereka tidak begitu akrab. Demi menghindari hal-hal menyebalkan di masa depan, lebih baik Devanda turut bekerja sama agar pernikahan ini segera diadakan dan dia segera bercerai. 

“Baiklah.” Kemudian Devanda menerima suapan dari Andriyan dengan agresif. “Terima kasih, Iyan.”

Andriyan mati-matian menahan ekspresinya. Ia menelan salivanya sendiri kala melihat bagaimana Devanda menerima suapannya. Ini … tidak seperti biasanya dan entah mengapa tubuh Andriyan jadi panas. Devanda benar-benar seksi saat menerima suapannya.

Apalagi saat memanggil namanya begitu saja. Andriyan tidak menyangka bahwa namanya bisa terdengar semanis itu.

Tu—tunggu! Apa maksud pikiran Andriyan? Devanda manis? Omong kosong!

“Kenapa ….”

Andriyan hendak melirik Devanda yang bicara, tapi tubuhnya tertahan ketika wajah dan tubuh Devanda mendekat begitu intens padanya. Tangan wanita itu bahkan terulur hingga meraba pipi Andriyan. “… pipimu sangat merah hari ini? Apa kamu sakit?”

“Hah?”

“Ada apa, Vanda?” tanya Sakti ketika melihat Devanda yang mendekatkan tubuhnya pada Andriyan.

“Iyan sepertinya sakit, Pa.”

“Apa itu benar, Iyan?” tanya Aji yang baru tau kalau kondisi anaknya sedang tidak enak badan.

“Tidak, Iyan baik-baik saja kok.” Andriyan menjauhkan tangan Devanda darinya. “Aku baik-baik saja, Vanda. Tenanglah dan habiskan makananmu.”

Andriyan dan Devanda tampak masih berdebat perkara kondisi Andriyan. Orang tua mereka jadi mengulum senyum melihat kedekatan mereka. Tampaknya ada yang hubungannya menjadi lebih akrab. Ini adalah hal yang bagus, mengingat mereka sudah 8 tahun bertunangan. Mungkin tahun ini akan menjadi waktu yang tepat untuk mereka melangsungkan pernikahan. Toh, umur keduanya sudah matang. Andriyan yang berusia 27 tahun dan Devanda yang 2 bulan lagi berusia 25 tahun.

“Vanda, sebenarnya apa yang sudah terjadi denganmu? Hari ini kamu lebih cerewet dari biasanya,” ucap Andriyan.

Devanda mengangkat kedua alisnya. Ia bahkan tidak menyadari hal tersebut.

Benarkah? Apakah aku terlalu banyak bicara? Tapi kenapa? Biasanya aku tidak begini. Apa karena aku merasa menjadi lebih santai dengan Iyan? pikir Devanda.

Devanda menarik napas dalam-dalam. Dia sudah memikirkan hal ini sejak beberapa hari berada di rumah saja. “Iyan, sepertinya kita perlu membicarakan sesuatu.”

“Apa?”

“Tentang rencana pernikahan kita.” Devanda mendongak untuk menatap Aji, Sakti, dan Mutiara. “Boleh kan Om, Papa, Mama?”

“Silakan. Kami akan menunggu kalian di sini.”

Devanda pun beranjak lebih dulu dari kursinya dan keluar dari ruang makan. Saat ini mereka memang sedang berada di rumah Aji, rumah yang juga ditinggali Andriyan dari kecil sampai sekarang. Tapi kalau rumah pribadi Andriyan di masa depan, itu bukan di sini melainkan di Bali.

“Mau bicara di mana?” tanya Andriyan, karena dia juga tidak tau apa yang ingin dibahas Devanda. “Mau ke taman?”

Devanda mengalihkan pandangannya sebentar. “Sepertinya itu terlalu terbuka. Aku membutuhkan privasi untuk kita.”

Andriyan mengangguk patuh. “Kalau begitu ayo ke kamarku.”

Ini akan menjadi kali pertama Devanda mendatangi kamar laki-laki asing dalam hidupnya. Dua kali kehidupannya yang dulu, hanya kamar Jonathan yang pernah ia datangi. Cukup menakjubkan kali ini, sebab setelah ia memasukkan Andriyan ke dalam hidupnya, takdirnya bersama Jonathan seolah terputus begitu saja. Padahal dulu, mau dia kabur sampai ke ujung dunia, ia pasti akan dipersatukan dengan Jonathan.

Dari balik punggung Andriyan yang besar, Devanda menatapnya penuh tanya. Sebenarnya ada apa dengan Andriyan? Apa istimewanya laki-laki ini sampai semesta seperti menuntunnya dengan baik untuk bersama pria ini.

“Selamat datang di kamarku,” ucap Andriyan, mempersilakan Devanda.

Pandangan Devanda mengedar. Kamar ini memiliki sirkulasi udara yang baik. Devanda merasa segar dan nyaman di sini. “Kamarmu bagus,” ucap Devanda.

Seperti kamar anak laki-laki pada umumnya. Dindingnya berwarna abu-abu dipadu putih dan dipenuhi beberapa hal. Salah satu yang membuat Devanda salah fokus ialah keberadaan gitar. Apa Andriyan bisa memainkannya? Devanda baru tau. Sepertinya banyak hal yang memang Devanda tidak tau soal Andriyan.

“Aku tidak punya sofa kamar seperti yang ada di kamarmu. Jadi, kamu bisa duduk di pinggir kasurku.”

Devanda menurut dan duduk di pinggir kasur Andriyan, sementara Andriyan menggunakan kursi belajarnya untuk dudu menghadap Devanda. “Baiklah, apa yang ingin kamu bicarakan?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status