Share

8. Pernikahan Macam Apa ini?

“Aku merasa … kita belum menyelesaikan percakapan kita mengenai pernikahan,” ucap Devanda.

“Apa yang belum selesai?” Andriyan masih ingin tau arah pembicaraan Devanda agar dia tidak salah paham.

Tumben Andriyan berhati-hati dalam bicara? Dia seperti memastikan lebih dulu tentang apa yang ingin Devanda bahas. Tidak seperti biasanya. Devanda jadi bingung untuk memulainya. Apalagi tatapan pria itu terlalu intens padanya. “Aku menghargai upaya Kakak untuk menyembunyikan kebenaran. Mungkin Kakak tidak ingin aku sakit hati. Khususnya tentang hal-hal yang Kakak sukai di belakangku.  Aku tau Kakak melakukannya demi menjagaku.”

Apakah yang saat ini sedang dibicarakan Devanda itu mengenai perselingkuhanku dengan wanita-wanita itu? batin Andriyan.

Andriyan menghela napas panjang. “Aku paham yang kamu maksud. Sebagai orang yang memang bersalah di sini, aku memang lebih baik tutup mulut. Tapi sepertinya aku bisa menyebutmu gila atau aneh, kalau kamu benar-benar menoleransi semua kelakuan bodohku.”

“Biarkan aku menyelesaikan ucapanku dulu, Kak.”

Baiklah, Andriyan tidak akan memotongnya lagi. Mari kita dengarkan, hal lebih gila apa yang ingin disampaikan Devanda.

“Aku sangat serius ketika aku bilang kalau Kakak nggak perlu khawatir sama perasaanku mengenai siapa pun yang ingin Kakak temui. Baik itu di belakangku atau di depanku. Mari kita bersikap lebih realistis, aku memang tidak tertarik pada Kakak dan aku juga tau kalau Kakak nggak tertarik sama aku. Selama sisa pertunangan kita, aku harap kita cukup melanjutkan hubungan kita seperti yang biasa kita lakukan. Tidak ada satu pun dari kita yang perlu mengganggu kehidupan pribadi satu sama lain,” ucap Devanda yang menjelaskan panjang lebar, sementara Andriyan diam menyimaknya. Meski semakin ia mendengarkan, semakin ia berpikir kalau Devanda tidak waras. “Ini juga berlaku setelah pernikahan.”

Devanda menunduk untuk memainkan jari tangannya. “Selama tidak ada dari kita yang bersikap kasar atau melakukan hal-hal tidak sopan di depan publik, kita bisa melakukan apa pun sesuka hati dan menjauh dari urusan satu sama lain.”

Entah mengapa, Andriyan mulai paham dengan poin Devanda. Apa sebenarnya perempuan ini hanya ingin menikah secara formalitas dengannya? Jadi, ini hanya semacam kawin kontrak? Tapi Devanda pun tidak pernah membahas bahwa pernikahan mereka memiliki durasi terbatas. Ini hanya seperti perjodohan tanpa menaruh perasaan. Meski aneh jika disebut begitu karena tidak ada dari orang tua masing-masing yang memaksa pernikahan ini terjadi. Semuanya murni keinginan Devanda.

“Vanda, sebenarnya kenapa kamu ingin menikah denganku?”

Devanda tidak mungkin menyampaikan niatnya. Ini juga pertanyaan yang terlalu tiba-tiba karena ia belum sempat menyiapkan jawaban yang pas. 

“Karena Kakak ganteng.” Jawaban yang konsisten disampaikan sejak berusia 17 tahun ini memang terdengar konyol, tapi Devanda tidak punya pilihan lain. Satu-satunya yang paling unggul dari semua kelebihan Andriyan adalah wajahnya. Sehingga itu merupakan jawaban paling rasional.

“Kalau itu alasanmu, kamu tetap ingin memiliki pernikahan dengan konsep seperti itu bersamaku?” Bukannya menjawab, Devanda malah mengalihkan pandang. Tampaknya dia masih memikirkan jawabannya. Andriyan pun bangkit dari kursinya lalu duduk lebih dekat dengan Devanda. Mereka berada di atas kasur Andriyan, itu membuat Devanda sedikit tidak nyaman.

“Kita masih belum menikah. Akan lebih baik kalau Kakak tidak menciptakan kesalah pahaman dengan duduk di atas kasur yang sama,” ucap Devanda.

“Ini kasurku dan kamu tunanganku. Kita bisa melakukan apa saja. Toh, tidak ada yang melihat dan kita akan segera menikah.” Andriyan mengucapkannya dengan tegas tanpa malu. “Itulah yang disebut kepemilikan, Vanda.”

Cara Andriyan yang sarkastik memang sengaja agar Devanda paham bahwa setelah menikah mereka adalah milik satu sama lain. Lantas mengapa perlu menjauh dari urusan pribadi masing-masing? Itu yang masih tidak Andriyan mengerti dari keputusan Devanda. Kecuali, memang ada yang ingin disembunyikan dari Devanda.

“Apa Kakak anak kecil? Kenapa pemikiranmu sangat kekanak-kanakan? Aku kira seorang Andriyan Prakarsastra itu bijaksana,” ucap Devanda yang sengaja memancing harga diri Andriyan.

“Sebelum kamu mengataiku anak kecil, coba kamu pikirkan omong kosong yang dari tadi kamu sampaikan? Apa sebenarnya kamu ini sudah punya kekasih gelap yang kamu sembunyikan dari keluargamu sehingga butuh aku sebagai tameng agar kamu tetap bisa bersamanya?”

Tiba-tiba Andriyan membahas tentang kekasih gelap. Devanda otomatis mengerutkan keningnya. “Sebenarnya sinetron apa yang sudah Kakak tonton? Tidak ada kekasih gelap atau cerita dramatis seperti itu.”

Devanda menghela napas berat. “Memangnya salah kalau aku cuma ingin memudahkan kehidupan Kakak? Itu adalah alasanku membuat perjanjian seperti ini di awal pernikahan kita. Aku berharap pernikahan kita bukanlah tali rantai untuk leher Kakak. Aku mau Kakak merasa bebas. Lagipula hidup Kakak jadi berubah karena kehadiranku. Kakak jadi berakhir bertunangan denganku yang tidak secantik perempuan-perempuan seksi di luar sana. Kita seharusnya sudah menikah beberapa tahun lalu, tapi Kakak mendaftar beasiswa magister di luar negeri sehingga Kakak harus menyelesaikan studi lebih dulu. Semua itu karena Kakak belum siap menikah denganku, bahkan berusaha mencari perkara agar pertunangan ini berakhir. Aku paham itu semua.”

Devanda merasa dia sudah bicara terlalu banyak, ketika melihat Andriyan yang diam saja seperti sangat terkejut dengan ucapannya. Apa terlalu mengejutkan kalau motifnya melanjutkan magister kemarin ketahuan Devanda kalau dia ingin menunda pernikahan?

“Aku cuma ingin menebusnya, Kak. Aku ingin memastikan Kakak memiliki lebih banyak kebebasan setelah kita menikah. Aku hanya akan menjadi istri sebagai status dan aku akan menjalani kehidupan yang terpisah dari Kakak--”

“Kamu ingin hidup terpisah dari suamimu?” Tiba-tiba saja wajah Andriyan sudah mendekat. Sangat dekat sampai hidung keduanya bersentuhan. Karena tidak ada aba-aba, Devanda yang terkejut hanya bisa diam. “Apa kamu pikir itu mungkin, huh?”

Apa yang dikatakan Devanda memang benar, tapi alasan Andriyan menunda pernikahan juga tidak sepenuhnya semenyedihkan yang dikatakan Devanda. Pada kala itu, selain belum siap mental menjadi kepala keluarga, dia juga ingin … menyiapkan dirinya. Mendengar Devanda yang sudah bergelar magister sejak berusia 22 tahun membuat Andriyan merasa malu jika tidak setara dengan Devanda. Saat kuliah dulu, wanita itu memang mengambil pendidikan fasttrack sehingga bisa lulus dengan dua gelar sekaligus. Kecerdasan Devanda itu membuat Andriyan berambisi untuk menyeimbanginya.

“Kakak, aku--”

Andriyan mendekatkan bibirnya ke Devanda, lalu melumatnya. Agar tubuh wanita itu tidak semakin menjauh, Andriyan menarik pinggang Devanda dan menahannya. Untuk kali pertama, Devanda berciuman dengan pria selain Jonathan dan bagi Andriyan ini adalah ciuman pertamanya yang menggairahkan. Segala kenangannya yang sudah pernah berciuman dengan wanita-wanita lain di luar sana sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan bibir Devanda. Bibir perempuan ini semanis madu dan Andriyan jadi serakah untuk terus memilikinya.

“Mmmh! Iyan!” Devanda berusaha menahan dada Andriyan agar tidak semakin maju dan menjauh darinya. Dia sudah kuwalahan dengan ciuman yang terlalu tiba-tiba dan menggebu-gebu ini.

“Kalau kamu memang ingin menjadi istriku, bukankah ada kewajiban dan hak yang harus dipenuhi antara suami istri? Salah satunya adalah membuat bayi bersama. Apa kamu juga tidak berencana melakukan itu denganku setelah pernikahan?” tanya Andriyan dengan tatapan tak suka jika Devanda akan menjawab iya.

Belum sempat menjawab, Andriyan sudah menyela lebih dulu. “Maaf kalau kamu tidak suka, tapi aku tidak setuju dengan rencana gilamu. Kamu dan aku tidak akan hidup terpisah. Kalau kamu mau menikah denganku, kamu harus menciumku ratusan kali dan tubuh kita akan bersatu ribuan kali. Aku tidak akan menyentuh wanita lain selain kamu dan kita akan terus bersama. Aku akan berada di sisimu ketika kamu melahirkan anak pertama dan ketika kamu melahirkan anak kita yang selanjutnya. Dan bahkan kalau kamu tidak ingin memiliki anak atau tidak bisa memiliki anak, aku akan tetap memuaskanmu dan aku akan membuatmu memuaskanku.”

Devanda masih terdiam, berusaha mencerna segala hal yang disampaikan Andriyan.

“Aku … tidak membutuhkan apa pun yang kamu sebut kebebasan atau kehidupan pribadi. Definisiku tentang pernikahan tidak seremeh itu. Mungkin sulit dipercaya kalau aku yang merupakan bajingan mengerikan dan dikenal sering meniduri banyak wanita mengatakan ini semua. Namun faktanya, sampai sekarang aku masih perjaka dan menjaga diriku dengan baik untuk istriku satu-satunya.” Andriyan mengangkat dagu Devanda agar menatapnya dengan sempurna. “Sayangnya, aku jauh lebih setia daripada yang kamu pikirkan, Devanda.”

Apakah keputusanku salah lagi untuk memilih Andriyan Prakarsastra di kehidupan kali ini? batin Devanda yang tidak menyangka Andriyan memiliki pemikiran yang serius terhadap pernikahan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status