Share

4. Tidak Masuk Akal

“Aku bisa menjelaskan semuanya--”

“Saya tidak butuh penjelasan karena saya melihatnya langsung. Jadi, hal tersebut sama sekali tidak menjadi masalah. Kakak tenang saja,” ucap Devanda langsung.

Entah mengapa ini membuat Andriyan semakin kesal pada Devanda.

“Itu saja?”

“Iya--”

“KENAPA?!” Emosi Andriyan berhasil tersulut. “Kenapa tidak menjadi masalah? Kenapa aku harus tenang? Marahlah! Marahlah seperti yang seharusnya, kamu layak akan hal itu. Marahlah sepuasmu!”

Ekspresi Devanda tidak berubah sedikit pun. Semuanya masih sangat datar dan stabil. Tidak ada yang berubah walau nada bicara Andriyan meninggi padanya. “Kakak, saya sama sekali tidak marah.”

Tiba-tiba raut Andriyan berubah. Dia menepuk tangannya satu kali lalu berseru, “Ah, ya! Ini dia! Kamu marah!”

“Seperti yang sudah saya katakan, saya tidak marah, Kak.”

Andriyan menggeleng dengan mantap. “Nggak! Kamu marah, buktinya kamu nggak mau menemuiku selama 15 hari ini!”

“Itu karena saya sakit dan saya tidak ingin Kakak tertular penyakit saya. Saya orang yang tidak suka dikunjungi saat sakit.” Helaan napas berat terdengar dari Devanda. “Kakak, percakapan seperti ini benar-benar membuat saya lelah. Kita biasanya kan tidak pernah membahas hal seperti ini. Toh, perempuan yang menempel di sekitarmu bukan cuma satu atau dua orang saja.”

Kalimat terakhir dari perkataan Devanda membuat Andriyan tercengang. Jadi selama ini … perempuan itu juga tahu tentang permainan gila yang dilakukan Andriyan bersama perempuan-perempuan di luar sana?

“Kakak pikir, saya tidak tahu dengan semua itu, ya?”

Andriyan masih tidak habis pikir. “Walau tahu semua itu, kamu nggak marah? Kamu masih diam saja?”

Devanda menggeleng. “Nggak ada alasan untuk saya marah. Keputusan untuk mengencani siapa pun yang Kakak mau itu ada di tangan Kakak. Itu hak Kakak.”

Andriyan mengusap kasar wajahnya. Entah bagaimana pola pikir Devanda sampai mengeluarkan semua kata-kata itu. “Tapi aku kan tunanganmu dan kita akan segera menikah!”

“Walau begitu, sekarang kan Kakak masih memiliki kebebasan. Kakak belum terikat dengan saya. Jadi untuk seterusnya, lakukan saja apa pun yang Kakak mau. Terserah.”

Wajah Andriyan memerah. Ada amarah, malu, rasa bersalah, gengsi, dan perasaan tidak terima yang bercampur menjadi satu. Selama delapan tahun menjadi tunangan Devanda, tak pernah sekali pun percakapan mereka berakhir damai. Andriyan tidak mengerti mengapa Devanda tidak pernah sejalan dengannya. Sebenarnya apa keinginan asli Devanda mengenai pernikahan ini? Kalau Andriyan hanya akan diperlakukan begini, bagaimana setelah menikah nanti?

“Konyol sekali--”

“Benar,” pungkas Devanda yang tatapannya tiba-tiba kian menajam, ini pertama kalinya perempuan itu menunjukkan perubahan emosi. “Ini semua memang konyol. Selama ini apa kamu pikir aku bersikap begini karena aku sangat baik dan suci? Kalau itu yang ada di kepalamu, kamu salah besar.”

Devanda menegakkan tubuhnya dan menatap lurus Andriyan yang masih duduk di sofa. “Andriyan Prakarsastra, sebenarnya aku sama sekali tidak peduli denganmu. Apa sekarang kamu paham?”

Di usianya yang ke-27 juga, Andriyan menerima fakta dari Devanda bahwa selama ini perempuan itu sama sekali tidak peduli padanya. Lantas … apa artinya? Apa Andriyan hanya mainan atau alat yang dia gunakan untuk mencapai tujuannya?

Delapan tahun yang lalu ….

“Jadi, kamu ingin menikah denganku?”

Devanda memandang Andriyan baik-baik, lalu mengangguk. Andriyan masih tidak mengerti apa alasannya. Sebab biasanya seorang pria lah yang harus melamar. Jadi kejadian ini sedikit mengejutkan dirinya karena dilamar lebih dulu oleh perempuan. “Tapi kenapa?”

“Karena ….” Devanda melirik ke arah lain. Tatapannya seolah dia memiliki insting untuk harus segera menyingkir dari tempat itu sesegera mungkin.

“Apa?” tanya Andriyan karena Devanda menghentikan ucapannya.

“Ayo pergi dari sini dulu,” kata Devanda seraya menarik tangan Andriyan.

“Mau ke mana kalian?”

Baru saja berbalik untuk pergi, bibir Devanda berdecak kesal karena pria itu sudah sampai duluan.

“Sepertinya kalian menghindari seseorang. Orang yang dimaksud bukan aku, kan?”

Andriyan menoleh. “Jonathan?”

Jonathan tersenyum sombong. Tatapannya sangat meremehkan Andriyan yang tak memiliki prestasi apa pun. Saat itu Jonathan sudah berusia 23, yang paling tua dari mereka bertiga. Tatapan yang sebelumnya lurus pada Devanda, kini berubah ke arah tangan Devanda yang menggandeng Andriyan.

“Dia tidak akan hilang diculik, jadi kamu bisa melepaskannya,” ucap Jonathan.

Devanda menatap tajam ke arah Jonathan. “Itu bukan urusan Kakak.”

Jonathan terkekeh. “Aku dengar, kamu sudah memutuskan untuk menikahi Iyan, sepupuku. Seorang Vanda yang aku kenal sebagai perempuan cerdas, ternyata tidak selalu mengambil keputusan dengan benar, ya.”

Devanda tidak menjawabnya. Dia tidak peduli apa yang dikatakan Jonathan karena salah satu alasan dia memilih Andriyan juga karena pria itu.

“Dan kamu.” Jonathan menarik kerah kemeja Andriyan dengan kasar. Andriyan tampak tidak melawan dan hanya menatap Jonathan tanpa bersuara. “Aku masih tidak paham kenapa dia memilihmu.”

“Sa—saya tidak tahu. Ini kan sudah menjadi keputusan Devanda, Kak,” ucap Andriyan. Perilaku kasar dari Jonathan yang selalu ia tunjukkan dari kecil karena merasa memiliki kekuasaan di bawah kakinya membuat semua sepupunya merasa takut padanya. Salah satunya adalah Andriyan yang sering pasrah.

“Kamu harus berusaha cari tahu kalau tidak tahu! Apakah otakmu itu hanya menjadi hiasan saja, huh? Aku yakin kamu pasti melakukan sesuatu terhadap Devanda. Oh, atau ini semua merupakan pengaruh dari wajah sialanmu ini?”

Jonathan benar-benar memperlakukan Andriyan dengan remeh seolah tidak ada Devanda di sana. “Cukup, Kak Jonathan.”

“Tidak perlu ikut campur, Van. Ini adalah urusan antar laki-laki,” kata Jonathan dengan angkuh, lalu kembali memperkuat cengkramannya pada kerah Andriyan. “Apa kamu tidak tahu kalau anak ini milikku?”

Andriyan mengerutkan keningnya saat Jonathan mengaku-ngaku bahwa Devanda miliknya. Entah kenapa ada gejolak tidak terima. “Devanda tidak pernah menjadi milik--”

“Berani-beraninya kamu merebut pasangan kakakmu sendiri!” Setelah berusaha mengelola emosinya lagi, Jonathan pun bisa sedikit lebih tenang. “Baiklah, aku tidak akan mempermasalahkan ini karena kamu adalah saudaraku. Tapi pernikahan yang sudah ayahku dan ayah Devanda rencanakan itu akan menjadi bisnis menguntungkan dua keluarga besar. Tidak seperti keluargamu yang hanya memalukan nama Keluarga Prakarsastra.”

Jonathan mengusap wajahnya sendiri. “Aku tidak menyangka jika setelah menolakku, dia hanya memilih bocah bodoh sepertimu.”

Percakapan hari itu akan terus diingat oleh Andriyan. Untuk kali pertama, dia mendapatkan hak yang sangat diinginkan Jonathan. Bukankah Devanda seolah berhasil menghancurkan harga diri Jonathan seperti yang sangat ingin Andriyan lakukan selama ini?

Mungkin itu penyebab pertunangan mereka masih bertahan sampai sekarang. Karena Andriyan merasa Devanda sangat berhasil membantunya mengalahkan Jonathan, walau secara tidak langsung.

Namun, hari ini, Andriyan mendengar hal yang sangat tidak masuk akal. Devanda sama sekali tidak peduli dengannya? Tapi kenapa? Dari segi fisik, kemampuan, kekayaan, kini Andriyan sudah memiliki segalanya. Meski jika harus dibandingkan dengan Devanda, tidak bisa karena Devanda sudah kaya dari lahir.

Tapi perkataan Devanda hari ini sangat menyinggungnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status