Share

5. Wajah Tampan

Andriyan yang babak belur di tangan ajudan Jonathan itu menatap Jonathan dengan darah berlumuran di wajah dan tubuhnya. “Apa kamu begitu menyukainya, Kak?”

Jonathan mengangkat kedua alisnya sembari menyilangkan kakinya. Pria itu memang sedang duduk santai di pinggir karena tidak ingin repot-repot terkena terik matahari. “Aku? Menyukai si kaku itu?”

“Bukankah itu yang membuat Kakak sangat menginginkan Vanda? Hingga merasa sangat kesal karena saya telah merebutnya.”

“Pffft!” Jonathan tak kuasa menahan tawa mendengar perkataan konyol adik sepupunya itu. “Hahahah! Menginginkan dan menyukai itu berbeda, Adikku Iyan. Aku memang ingin menikah dengan Devanda, tapi aku tidak mencintainya. Di antara para wanita yang bisa kita nikahi, tidak ada yang memiliki latar belakang dan garis keturunan sesempurna anak itu.”

***

Andriyan mengepalkan tangannya di tempat. Otomatis tubuhnya ikut berdiri dan menghadap Devanda. “Vanda, dari awal kamu itu aneh.”

“Aku?”

Entah mengapa, Andriyan merasa lebih nyaman berbincang dengan Devanda jika perempuan itu menggunakan kalimat nonformal padanya. Meski bisa diperhitungkan jika Devanda memakai bahasa nonformal, berarti dia sedang marah.

“Orang-orang bilang, kamu menyukaiku. Tapi, kalau kamu menyukaiku, tidak mungkin kamu bersikap seperti ini pada orang yang kamu suka.”

Devanda bersedekap di depan dada. “Memangnya aneh kalau aku menyukai Kakak?”

“Memangnya kamu menyukaiku?”

Devanda mengalihkan pandangannya sebentar. “Kalau aku tidak menyukai Kakak, aku tidak akan bilang ke papa kalau aku ingin menikah dengan Kakak.”

“Apa kamu tidak dengar apa yang dibilang orang-orang? Kamu menolak lamaran Jonathan yang lebih hebat dariku dan memilihku hanya karena wajahku yang tampan. Apa kamu tidak merasa menyesal sekarang? Jonathan bahkan mungkin bisa menjadi gubernur tahun depan.”

“Itu benar. Aku tidak peduli dengan apa pun kecuali wajah. Jadi, aku melihatmu lebih unggul daripada Jonathan karena wajah tampanmu, Kak,” ucap Devanda.

Mendengar Devanda mengatakan itu, membuat seluruh tubuh Andriyan merinding. Pasalnya tidak pernah sekali pun perempuan itu memujinya selama ini. “Jadi, kamu benar-benar menyukai wajahku?”

“Memangnya siapa yang tidak suka dengan wajah sepertimu? Aku tahu perempuan mana pun bisa luluh. Wajahmu itu ada gunanya.”

Devanda bersikap dan berbicara dengan tidak mengenakkan sejak tadi. Perempuan ini tampak masih sangat marah padanya.

 “Katanya kamu menyukaiku, tapi kamu bersikap sok begini. Apakah kamu tidak berniat terlihat menarik di depanku?”

Devanda terkekeh. “Memangnya apa kurangku sampai harus berusaha terlihat baik di depan Kakak?”

Apa? Perempuan ini benar-benar ….

“Kalau kamu berharap agar aku juga menyukaimu, seharusnya kamu begitu!”

“Oh … tidak. Kakak tidak perlu menyukaiku.” Devanda menatap lurus Andriyan yang bingung. “Aku tidak butuh itu.”

Setelah percakapan itu, Devanda tidak ingin lagi melanjutkan pertemuan mereka. Ia meminta agar Andriyan segera pulang karena ada hal lain yang harus Devanda lakukan. 

Andriyan setuju untuk keluar kamar Devanda, tapi dia tidak benar-benar pulang. Dia merasa ada hal lain lagi yang harus diselesaikan. 

Misalnya tentang rencana pernikahan mereka. Kalau memang mereka sudah sepakat untuk menikah, mereka harus menjadi sekutu. 

Bukan malah berdebat dan berbeda visi begini, sebab setelah menikah hanya Devanda lah satu-satunya perempuan di hidup Andriyan sehingga Andriyan tidak boleh lagi sembrono mengenai pernikahan.

Andriyan sudah duduk di sofa ruang tamu Devanda selama dua jam. Akhirnya, dia bangkit dan berjalan kembali ke kamar Devanda. Ternyata kosong. Kemana perempuan itu pergi?

Andriyan mengedarkan pandangannya. Kamar ini memang benar-benar luas, apalagi kalau ditempati sendiri. Suara air dari kamar mandi menjawab pertanyaan Andriyan tentang keberadaan Devanda. Mungkin saja perempuan itu saat ini sedang mandi. Andriyan pun memilih menunggu di tempat dia duduk tadi.

Suara air itu berhenti, dan pintu kamar mandi terbuka. Muncul Devanda yang tidak berbusana dan hanya menyisakan handuk untuk melilit tubuhnya. Mata Andriyan otomatis terbelalak. Ini adalah kali pertama dia melihat tubuh Devanda yang selalu memakai pakaian panjang.

Di—dia secantik ini?

Andriyan terpikat dengan kecantikan Devanda. Dia segera menggeleng agar tidak memikirkan hal-hal yang kotor. Devanda belum sadar bahwa Andriyan sedang mengamatinya. Perempuan itu sangat menawan dan seksi. Tubuhnya indah, meski Andriyan tidak pernah melihatnya secara langsung. Tapi handuk yang melilit itu sudah cukup membuat Andriyan membayangkan rupa indah di dalamnya.

“Lho, Kakak? Kenapa kamu masih di sini?” Devanda menoleh dan menatap Andriyan dengan datar. Dia tidak merasa marah atau malu dirinya dipandang dalam posisi hanya tertutupi handuk begini oleh Andriyan.

Andriyan merasa lega bahwa Devanda tidak marah padanya. Setidaknya setelah pertemuan tadi, cara bicara Devanda sedikit berubah padanya.

Devanda berjalan mendekati Andriyan dengan penampilan yang masih seperti itu. Entah apa yang dipikirkannya karena wajah Andriyan jadi memerah melihat Devanda santai memamerkan tubuhnya.

Sepertinya, tubuh sexy dan indah Vanda akan menjadi satu-satunya kegembiraanku di dalam pernikahan kami …

Itu yang Andriyan pikirkan.

“Aku masih ingin tahu kenapa sekarang kamu tiba-tiba tidak tertarik padaku dan tidak membutuhkan perasaanku,” ucap Andriyan.

Lagi-lagi topik ini. Entah harus dijelaskan dengan cara bagaimana lagi agar Andriyan paham dan menghentikan mulutnya yang banyak tanya itu. “Aku cuma ingin Kakak hidup dengan nyaman sesuai yang Kakak mau walau setelah kita menikah. Aku tidak ingin pernikahan kita jadi mengekang Kakak. Sudah itu saja. Aku benci drama.”

“Iya, tapi kenapa? Semua itu kan bagian dari pernikahan memang.”

“Huft, intinya, aku tidak memiliki keluhan apa pun dengan rencana pernikahan kita atau pun denganmu, Kak. Tidak ada alasan untuk merusak hubungan kita ini dengan masalah kecil. Kamu itu pria yang baik dan tepat untuk dinikahi.”

Entah mengapa, Andriyan selalu merasa dirinya adalah objek atau alat yang digunakan Devanda untuk suatu hal. Tapi sampai sekarang dia tidak bisa memahami maksud dan tujuannya dengan rasional. Sebenarnya apa rencana perempuan itu?

“Dengarkan aku, Kak.” Devanda mendekatkan dirinya ke Andriyan. Andriyan merasa semakin sulit berkonsentrasi karena aroma tubuh dan belahan dada Devanda yang sangat menggoda. “Aku tidak ada masalah dengan otakku. Aku juga tahu rasanya cemburu. Aku bisa marah dan aku bisa memiliki obsesi. Jadi … jika kamu berkhianat padaku, aku tidak akan segan membunuhmu.”

Andriyan terkejut mendengar ancaman Devanda yang tiba-tiba.

“Aku biasanya bersikap seperti itu pada orang yang kusukai, tapi kali ini aku tidak mau. Aku tidak mau menyia-nyiakan tenagaku.” Setelah berkata begitu, Devanda berbalik hendak pergi. Namun Andriyan segera menarik tangannya.

“Aku … tidak punya perasaan apa-apa terhadap wanita-wanita itu,” kata Andriyan.

Devanda tampak acuh tak acuh seperti biasa. “Oh, begitu? Aku tidak melihatnya saat itu terjadi.”

“Itu … itu hanya reaksi tubuh saja, tapi sebenarnya mereka bahkan sama sekali tidak membuatku bergairah.” Andriyan bingung mengapa ia harus menjelaskan hal ini pada Devanda, apa yang sebenarnya ia inginkan? Ia merasa ada pertentangan di dalam dirinya.

“Yang aneh … hanya kamu.”

“Apa maksudmu?”

“Yang sepertinya bisa membuatku … sangat bergairah,” bisik Andriyan sambil menutupi sesuatu di bawahnya agar Devanda tidak melihat bahwa ia sudah berdiri tegak karena tubuh Devanda.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status