Sampai beberapa tarikan napas, Sadeng Sabantar dan Silasati berdiri terpaku di tempatnya. Mata mereka sama-sama menatap sosok wanita berpakaian merah gemerlap. Wanita berusia tiga puluh tahun itulah yang tadi mengeluarkan suara bentakan.
"Danyangsuli...," desis Sadeng Sabantar dan Silasati, hampir bersamaan.
Wanita berpakaian merah gemerlap yang memang Dayangsuli terlihat geleng-geleng kepala. Dari jarak sekitar tiga depa, ditatapnya wajah Sadeng Sabantar dan Silasati bergantian. Lalu dengan suara dalam, dia berkata, "Kalian baru saja berbuat apa yang seharusnya tidak boleh kalian perbuat. Kalian baru saja melanggar apa yang sebenarnya tidak boleh kalian langar. Tapi walau telah begitu rendah moral kalian, apakah kalian tetap akan membiarkan anggota tubuh kalian yang terlarang dilihat orang?"
Sekali lagi, Sadeng Sabantar dan Silasati menggerigap kaget. Kata-kata Danyangsuli menyadarkan bila mereka tengah berdiri dengan tubuh nyaris telanjang. Oleh karenanya, tan
Akan tetapi, serangan pemuda itu sama sekali tak membuat repot Danyangsuli. Sengaja Danyangsuli bergerak meliuk-liuk beberapa saat untuk memperlihatkan keindahan tubuhnya. Dan selagi Sadeng Sabantar digeluti rasa kesal bercampur penasaran dan hawa amarah, Danyangsuli melompat tinggi ke udara.Secepat kilat ujung jari telunjuk tangan kanannya meluncur. Tepat menotok ubunubun Sadeng Sabantar!Tuk!"Akkhh...!""Sadeng...!" Jerit Silasati, penuh kekhawatiran. Serta-merta gadis hitam manis itu meloncat seraya memeluk tubuh Sadeng Sabantar. Namun, si pemuda sudah tak dapat bergerak lagi. Dia berdiri kaku-kejang dengan bola mata melotot besar dan mulut terbuka lebar. Totokan Danyangsuli mengandung kekuatan sihir yang mampu mempengaruhi saraf pemuda itu."Sadeng...! Sadeng...! Kau kenapa, Sadeng...!" seru Silasati, semakin khawatir.Seperti telah kehilangan ingatan, Silasati mengguncang-guncangkan tubuh Sadeng Sabantar. Tapi, tubuh si pemuda tetap b
"Malam-malam begini...," menggantung kalimat Bancakluka. “tu....""Boleh aku masuk?""Tentu saja. Silakan. Tampaknya, ada sesuatu”“Ya! Ya," sergah Silasati, cepat."Aku disuruh ayahmu untuk menjemput Baraka .""Apa? Menjemput?" kejut Bancakluka, tak jadi mempersilakan Silasati duduk."Baru saja ayahmu mampir ke rumahku. Setelah berbincang-bincang dengan ayahku, ayahmu memintaku untuk menjemput Baraka . Ayahmu ingin Baraka turut memeriksa pengairan di sawah ladangnya. Bukankah Baraka berasal dari tanah Jawa yang terkenal subur? Barangkali pemuda itu bisa memberikan sumbang saran untuk perbaikan cara-cara bercocok tanam di tanah kelahiran kita ini...," kilah Silasati."Malam-malam begini...," selidik Bancakluka lirih seperti menggumam. "Kenapa Sangkuk tidak langsung saja pulang dan mengatakan keinginannya sendiri kepada Baraka?""Ah! Mana aku tahu jalan pikiran ayahmu. Aku cuma menuruti permintaannya, dan kebet
"Apa sebenarnya yang telah terjadi, Sati? Apa yang telah kau katakan tadi adalah suatu kebohongan belaka, bukan?" selidik Baraka kemudian.Terdiam Silasati. Mendadak, air bening menitik dari kedua sudut mata putri Bancaksika itu. Kening Baraka langsung berkerut rapat. Si pemuda merasa heran melihat perubahan sikap Silasati."Kau menangis? Kalau ada apa-apa, aku bersedia menolongmu...," tawar Baraka kebodoh-bodohan"Te... terima kasih, Tuan Baraka...," sambut Silasati, sesenggukan. Nada bicaranya kembali menjadi hormat. "Kalau Tuan memang ingin menolongku, sudilah Tuan mengikutiku ke Puri Dewa Langit...""Itu akan menyelesaikan persoalanmu?"Mengangguk Silasati."Kalau cuma itu permintaanmu, apa susahnya? Tapi, tidakkah kau ingin berterus terang kepadaku? Apa permasalahanmu sebenarnya? Ada hubungannya dengan Bancakluka?" desak Baraka.Pemuda itu sudah tahu perihal pertunangan Silasati dengan Bancakluka. Silasati diam beberapa lama. Set
"Bancakluka! Bancakluka! Apa yang tengah kau lakukan"!" tegur si kakek.Pemuda bertubuh tinggi tegap tak menghentikan perbuatannya. Dia terus berlari-lari mengitari bangunan rumah panggung yang terbuat dari susunan kayu jati. Apa yang dilakukan si pemuda mirip perbuatan orang yang telah kehilangan akal sehat. Sementara menilik dari keringat yang membanjiri sekujur tubuhnya, dapat dipastikan bila dia telah berlari mengempos tenaga cukup lama. Memang, tak kurang dari lima puluh kali dia berlari mengitari rumah panggung yang cukup besar itu.Ya! Dia memang Bancakluka. Dan, kakek yang tengah menatap penuh kekhawatiran itu adalah ayahnya, Bancakdulina, baulau atau kepala Suku Asantar.Berkali-kali sudah Bancakluka berlari sempoyongan dan hampir terpeleset jatuh. Tenaganya hampir terkuras habis. Namun demikian, tak ada tanda-tanda bila dia akan segera menghentikan perbuatannya."Bancakluka! Hentikan perbuatan gilamu itu!" seru Bancakdulina, lebih keras.
"Kita ke rumah Bancaksika saja. Kita cari keterangan di rumah pamanmu itu," ajak Bancakdulina kemudian. Bancakluka tak menjawab. Namun, dia bangkit berdiri pertanda menyetujui ajakan ayahnya.Bancaksika adalah ayah Silasati, dan merupakan adik Bancakdulina. Dalam aturan adat suku yang terletak di ujung selatan Pulau Salyadwipa itu, setiap warga Suku Asantar diperbolehkan melakukan perkawinan sedarah. Oleh karenanya, sah-sah saja kalau Bancakdulina menjodohkan Bancakluka dengan Silasati yang tak lain keponakannya sendiri.Sementara, rumah Bancaksika bersebelahan dengan rumah Bancakdulina. Jadi, Bancakdulina dan putranya tak butuh waktu banyak untuk sampai di tempat yang dituju."Bancaksika! Bancaksika!" seru Bancakdulina sembari mengetuk daun pintu keras-keras.Tak lama Bancakdulina menunggu. Pintu rumah segera terkuak, dan tampaklah seraut wajah kusut milik Bancaksika yang baru bangun tidur."Kau... Ada apa malam-malam begini?" ujar ayah Silasati i
Namun tanpa disadari oleh Baraka..., semakin dia mengempos tenaga, semakin cepat inti kekuatan tubuhnya terhisap. Hingga lama-kelamaan, Baraka merasakan tubuhnya amat lemah. Lalu di lain kejap, dia tak dapat menggerakkan tubuhnya lagi. Dia pun jatuh menggelosoh ke lantai dingin, bagai selembar kain tak berharga!Sementara, Danyangsuli yang masih terbaring di tilam tampak tersenyum puas. Bola matanya berbinar-binar saat bangkit. Tanpa mempedulikan keadaan tubuhnya yang tak tertutup selembar benang, wanita berwajah cantik jelita itu menatap tubuh lemah Pendekar Kera Sakti yang tergolek telentang di lantai. Sinar mata si pemuda telah redup. Inti kekuatan tubuhnya telah terhisap habis oleh Danyangsuli. Itu berarti seluruh ilmu kesaktian Pendekar Kera Sakti turut lenyap!"Ha ha ha...!" tawa gelak Danyangsuli. "Sungguh malang nasibmu, Baraka. Seluruh inti kekuatan tubuhmu telah pindah ke tubuhku. Kini, dirimu tak lebih berharga dari seonggok sampah! Ha ha ha...!""Dan
Setelah menghapus peluh di wajahnya, pemuda lugu itu merapikan pakaiannya yang kedodoran. Namun mendadak, dia terkesiap. "Astaga! Suling Krishna-ku lenyap!" serunya.Walau telah memutar pandangan dan mencaricari di beberapa tempat, Baraka tetap tak dapat menemukan senjata andalannya. Maka, menggeram marahlah dia teringat akan sosok Danyangsuli yang telah memasang perangkap terhadapnya."Pasti wanita itu yang membawa senjataku!" pikir Baraka. "Aku harus cepat keluar dari tempat ini. Aku harus merampas kembali senjataku sebelum dia menggunakannya untuk tujuan tak baik!"Karena desakan rasa khawatir, Baraka meloncat mengikuti jalan di lorong gua. Namun tanpa diketahuinya, ada sebentuk benteng gaib yang menahan luncuran tubuhnya. Hingga....Jder...!"Argh...!"Diiringi suara ledakan seperti genderang dipukul keras, tubuh Baraka terpental balik lalu jatuh bergulingan di lantai gua. Walau tak mendapat cedera berarti, tak urung sekujur tubuhnya ter
"Jahanam! Apa yang kau lakukan di sini, Padempuan"!" tegur Danyangsuli, keras menggelegar."Tahan hawa amarahmu dulu, Suli...," sahut Sasak Padempuan, tenang. "Sengaja aku mendatangimu di tempat ini karena ada sesuatu yang harus kubicarakan denganmu.""Tapi..., sungguh tidak pada tempatnya bila kau menungguku ketika aku dalam keadaan seperti ini, bukan?" tegur Danyangsuli lagi, duduk mendeprok di dalam air. Namun, tubuh bagian atasnya tetap saja terlihat dengan jelas."Jangan berlagak sok alim, Suli...," cibir Sasak Padempuan. "Aku tahu siapa dirimu. Bagaimanapun, kita pernah menjadi sepasang kekasih. Kita pernah menikmati kebahagiaan bersama-sama. Oleh karenanya, tak perlu kau bersikap ketus macam itu. Kau bukan gadis belia yang akan marah ketika tubuh telanjangnya diintip orang. Tubuhmu memang amat menggiurkan, Suli. Tapi, aku datang bukan untuk mengintip ataupun mencoba menikmati keindahan tubuhmu itu. Ada sesuatu yang memang harus kubicarakan denganmu. Seger