Share

BAB 6

Eshan mendekatkan telinganya ke arah hidung wanita itu untuk mengecek napasnya. ‘Syukurlah… wanita ini masih bernapas.’

Entahlah, mungkin Eshan panik karena tidak mau melihat ada orang mati di rumah ini. Eshan benci orang lemah, dan wanita ini selalu menunjukkan hal itu di depannya.

‘Sial! Kenapa wanita ini terlihat begitu rapuh?’

Dzurriya tampak pucat, dengan bulir keringat yang tersisa di dahinya. Eshan juga melihat ruam-ruam muncul di permukaan kulit Dzurriya. 

“Apa ini….”

Eshan bolak-balik tangan mungil itu, kemudian menyisingkan lengan bajunya untuk melihat keadaan kulitnya yang lain. Ia juga melihat ke arah sisi-sisi pipi wanita itu, kemudian menyentuhkan punggung tangannya ke leher wanita itu. Ia tersentak kaget, badan Dzurriya begitu panas. 

Eshan dengan cepat memencet tombol di atas meja kecil di samping tempat tidurnya untuk memanggil Tikno. Ia juga mengambil ponselnya dan menghubungi Ryan berkali-kali. Sebagai sepupu dan dokter pribadi keluarganya, harusnya lelaki itu merespons dengan cepat.

“Ayo angkat! Dokter sialan! Untuk apa kau punya telepon kalau tak berfungsi?!” gerutu Eshan sambil terus berusaha menghubungi Ryan, tapi tidak diangkat sama sekali.

Matanya terus mengawasi Dzurriya yang terus menggigil. Niat awalnya, Eshan hanya ingin membahagiakan Alexa dengan menikahi Dzurriya. Wanita itu jadi mudah emosi sejak kecelakaan waktu itu.

Alexa akan bahagia jika balas dendamnya terpenuhi, makanya Eshan menyanggupi rencana itu. Ia berusaha sekuat mungkin untuk membenci Dzurriya. Namun anehnya, wanita yang terlihat lemah dan pasrah itu, selalu berhasil menarik perhatiannya.

Bagaimana ia pasrah saja memakai baju bekas, bagaimana ia diam-diam kelaparan, bagaimana ia yang mengendap mencari makanan tengah malam, sampai saat ini… ketika dirinya demam dengan kulit penuh ruam begini.

‘Wanita merepotkan! Kenapa kau selalu mengganggu kehidupan damaiku?!’

“Kau ini bodoh atau apa? Kenapa mau saja diminta ini dan itu?” gerutu Eshan sambil mengusap keringat yang terus mengalir di dahi wanita itu.

***

Dzurriya merasakan tubuhnya yang menggigil itu perlahan terasa ringan. Ia sudah bisa merasakan kehangatan menyentuh pipinya. Ia tersenyum, masih dengan mata terpejam.

Perasaan ini sangat nyaman.

Dzurriya merasakan sesuatu menyentuh dahinya, bersamaan dengan sayup-sayup suara dua orang lelaki yang berbincang di dekatnya. Ia mencoba untuk membuka mata, tapi rasanya masih terlalu berat.

“Jaga dia baik-baik, bukannya kau ingin menggunakan rahimnya?” ucap seorang lelaki yang terdengar familiar. 

Kemudian, lelaki yang satunya mendengus. “Dia saja yang lemah.”

Dzurriya membuka matanya pelan-pelan. Langit-langit kamar itu tak asing, sepertinya ini masih di kamar Alexa, tapi… kenapa ia bisa rebahan di kasur besar ini? 

Dzurriya refleks duduk dengan cepat. Namun, seorang lelaki langsung memperingatkannya. “Kau tidak boleh bangun dulu, Nona.”

Dzurriya menoleh. “D-dokter Ryan?”

Ryan tersenyum. Di sebelah dokter itu, berdiri Eshan. Ia memandang lelaki itu dalam-dalam, dan tatapan mereka pun bertemu selama beberapa detik. Sebelum akhirnya Eshan yang lebih dulu memutuskan kontak itu.

‘Seingatku, tadi aku masih memandikan Snow di kamar mandi? Kenapa aku bisa di kasur? ‘Apa dia yang menggendongku?’ gumam Dzurriya dalam hati.

“Apa kau baik-baik saja?” tanya Dokter Ryan mengalihkan perhatiannya. 

Dzurriya hanya mengejapkan matanya sebentar, mulutnya masih terasa begitu kering. “I-itu….”

“Apa kau mau minum?” Ryan menyodorkan segelas air kepada Dzurriya.

Dzurriya mengulurkan tangannya untuk mengambil. Pada saat itulah ia melihat punggung tangannya yang kemerahan. Lantas, ia pun memeriksa tangannya yang lain, juga wajah dan lehernya yang tertutup kerudung.

Pantas saja dia merasa gatal dan panas sedari tadi.

Dzurriya akhirnya minum segelas air yang diserahkan Ryan, sambil melirik dua lelaki di depannya. Lalu, saat matanya kembali bertemu dengan Eshan, ia buru-buru mengalihkan pandangan. Ia takut kena marah lagi.

‘Apa Eshan akan mengancamku lagi karena pingsan?’

“Awasi dia, jangan sampai dia melakukan hal bodoh lagi,” ujar Eshan sambil beranjak dari tempatnya.

Dzurriya menegang. Benar kan dugaannya. Eshan pasti marah.

Berbeda dengan Dzurriya, Ryan malah terkekeh. “Kau tenang saja. Istrimu ada di bawah pengawasanku.”

Bisa Dzurriya dengar dengusan keras dari Eshan, sebelum lelaki itu menutup pintu.

“Hachi! Hachi!” Dzurriya tiba-tiba bersin-bersin kembali, dan Ryan dengan sigap segera mengambilkannya tissue. 

“Sudah kubilang, jangan dekat-dekat kucing, kamu tuh alergi kucing,” ucap Ryan sambil menyerahkan nampan berisi semangkuk bubur, dan dua butir obat. “Nah, minum obat ini agar ruamnya cepat hilang.”

Bukannya mengambil obat itu, Dzurriya malah menatap Ryan dengan dahi berkerut. “Kapan kamu bilang aku alergi kucing, Dok? Bukannya ini pertama kalinya….”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status