Share

BAB 7

Ryan tampak mengerjapkan mata dengan wajah sedikit tegang. Hanya beberapa detik, karena lelaki itu kembali mengulaskan senyum manisnya dan meletakkan obat itu ke tangan Dzurriya langsung.

“Maksudku, aku seorang dokter, gejala yang kau tampakkan itu biasa aku lihat,” jawabnya dengan tenang. “Lihat, ada ruam di wajahmu, kan? Jadi itu pasti karena kamu alergi kucing.”

“Memang gejala alergi lain berbeda?” tanya Dzurriya lagi.

“Y-ya iya, beda-beda. Sudah, mending sekarang kamu minum obat gatalnya, makan bubur,, habis itu minum vitaminnya.”

‘Kenapa sikapnya aneh? Apa ini hanya firasatku saja.. atau sebenarnya dia sudah mengenalku?’

****

Setelah keadaan Dzurriya membaik, ia pun kembali ke kamarnya di lantai bawah. Bisa gawat kalau Alexa tahu kasurnya telah ditiduri Dzurriya. 

Setelah kejadian hari itu, tidak ada lagi panggilan dari Alexa atau bahkan Tikno. Dzurriya seolah diizinkan untuk beristirahat, meskipun ia tidak yakin begitu. Alexa atau Eshan pasti hanya sedang sibuk, dan tidak mau peduli padanya.

Dzurriya menghela napas, lalu melirik ke arah jendela. ‘Apakah di luar aman? Di dalam sini sangat membosankan.’

Meskipun ragu, akhirnya ia putuskan keluar dari kamar. Badannya memang masih ringkih, tapi akan lebih ringkih jika harus terpenjara di kamar itu karena traumanya akan kejadian-kejadian yang baru-baru ini menimpanya.

Ia berjalan keluar tanpa memahami seluk-beluk rumah tersebut. Ia hanya berjalan, sesekali diiringi sayup-sayup suara para pelayan yang menggunjing kesialannya. 

Namun, tak ada satupun yang berani mendekatinya. Padahal ia sudah berusaha ramah dengan menyapa mereka melalui senyumannya ketika bertemu.

Akhirnya, ia sampai di depan jendela kaca belakang yang menghadap langsung ke arah taman belakang. Ia berdiri dan menatap keluar di mana tumbuhan-tumbuhan terlihat begitu segar.

“Kalau ingin keluar, keluar saja.” Suara berat hadir bersamaan dengan aroma musk dan langkah mendekat. 

Akhir-Akhir, ini dadanya berdegup kencang ketika suaminya berada di dekatnya.

Dzurriya menoleh, melihat Eshan yang sudah membuka pintu di sebelah kanan jendela, tempat Dzurriya berdiri. Dia berjalan keluar tanpa menoleh ke arah Dzurriya lagi. 

Dzurriya memang ragu, tapi hasratnya seperti mendorongnya untuk mengikuti suaminya itu. Ia menatap Eshan yang kemudian duduk di bangku panjang, di pojok taman sambil membuka ponselnya.

Kali ini, ia ragu. ‘Haruskah aku duduk di situ juga? Atau berdiri saja di sini?’

“Duduklah, kau butuh istirahat dan udara segar untuk segera sehat,” ucap suaminya tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.

Dzurriya menurut dan duduk agak jauh. Tak ada satu patah kata pun keluar dari mulutnya. Terakhir dia bicara, pistol taruhannya.

“Jangan salah paham, aku tidak sedang baik denganmu. Aku hanya sedang melakukan saran Ryan supaya kami bisa segera mengecek kondisi rahimmu. Ini semua kulakukan untuk Alexa.”

Dzurriya diam-diam menatap suaminya yang tak berpaling dari layar ponsel sedikit pun. Dia merasakan aura dinginnya yang menyakitkan disertai perkataannya yang begitu pedas.

“Jadi sebaiknya kau segera sehat dan berguna.” Kemudian, tiba-tiba Eshan menoleh, menatapnya dengan tajam.

Bukannya takut, Dzurriya malah berdebar. Karena khawatir Eshan bisa mendengar suara jantungnya, wanita itu pun mengalihkan pandangannya terlebih dulu. Pada saat itulah, ia merasakan sebuah benda tersampir di bahunya.

“Pakailah jaket ini dan segera masuk kalau terasa dingin.” 

Jaket hitam itu terasa seperti sedang memeluk Dzurriya. Hangatnya menyebar ke seluruh tubuhnya. Dzurriya memegangi ujung jaket itu, merasakan aroma khas Eshan yang perlahan memenuhi hatinya.

Lelaki itu pun pergi, meninggalkannya sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status