Share

BAB 8

Eshan terus berjalan masuk ke rumah dengan perasaan tak karuan yang berusaha dia abaikan. Aura dinginnya menyebar ke seluruh rumah. Para pelayan pun telah mengerti, mereka hanya harus menunduk sebentar di depannya kemudian berlalu setelah dia melewati mereka. 

Dia memasuki ruang kerjanya yang berada di lantai dua, memandang dari sebuah jendela klasik menghadap kebun. Untuk beberapa saat, ia hanya berdiri di sana, menatap Dzurriya yang sedang memakai jaket hitam miliknya. 

Mata sayu wanita itu tampak memandang ke langit, dan kadang-kadang tangannya mengusap bagian bawah matanya. Mungkin air mata baru saja menetes ke pipinya. 

‘Bodoh!’

*****

Tiga minggu berlalu. Perlakuan yang didapat Dzurriya perlahan berbeda dari sebelumnya. Tikno menyiapkan segalanya untuknya, dari mulai makanan, pakaian sampai menjadi teman bicara. 

Namun, perubahan yang paling besar justru ketidakhadiran Eshan. Aroma musk yang biasa membuatnya kaget dan terkesiap, tak lagi diciumnya, meski hanya sekilas lalu. Juga langkah beratnya seakan hilang ditelan bumi. 

Sedikit demi sedikit, rasa butuh itu menumpuk tanpa bisa ia ekspresikan. Tanpa sadar, ia malah merindukan kecaman dan umpatan pria itu.

Ketika Alexa dan Eshan naik ke kamarnya, Dzurriya malah berbelok menuju taman belakang. Akhir-akhir ini, tempat itu seperti persinggahan saat hatinya gundah. 

Walaupun sedang tidak memakai jaket Eshan kemarin, hidung Dzurriya seolah masih bisa merasakan aromanya di kursi taman itu. 

Ia merasakan aroma bunga bercampur dengan aroma musk yang diterbangkan oleh angin sore ini. Seakan membawanya ke dalam kenangan di mana ia bisa duduk berdampingan dengan suaminya.

Hah!

Ia menghembus napas panjang, lalu mendongak, melihat ke arah jendela-jendela kaca jauh di depannya. Entah apakah suaminya ada di balik salah satu jendela tersebut dengan kesibukannya, atau ia sedang berada di lantai atas bersama istri pertamanya.

“Hidup benar-benar tak mudah, benar kan?” tiba-tiba suara berat seorang lelaki menyapanya dari arah belakang.

Dzurriya mendongakkan wajahnya dan menoleh. Tepat di belakang kursinya, sedang berdiri seorang lelaki paruh baya yang belum pernah dilihatnya. Dia menyodorkan sapu tangan untuk Dzurriya.

Dzurriya yang merasa tak mengenalnya, segera mengusap air matanya dan bangkit tanpa berkata apa pun, apalagi menerima sapu tangan itu. Namun, baru saja melewati bahu si lelaki, tangan kirinya malah dicekal. 

Dzurriya menoleh ke arahnya dengan tatapan yang sangat tajam. “Apa–”

“Maaf!” ujar lelaki itu sebelum Dzurriya menyelesaikan kalimatnya. Ia pun melepas pegangannya dan mengangkat tangannya tadi ke atas.

Dahi Dzurriya mengernyit. Walaupun lelaki itu jelas berkata maaf, tapi tidak ada ekspresi menyesal darinya. Ia malah tersenyum tipis, dengan tatapan yang membuat Dzurriya tidak nyaman.

“Kenalkan—”

Brugh!

Dzurriya lantas menutup mulutnya kala Eshan tiba-tiba datang dan langsung menendang lelaki itu sampai tersungkur di tanah. Napasnya terdengar memburu, entah karena apa Eshan terlihat sangat emosi saat ini.

“Hehehe….” Lelaki yang baru ditendang Eshan itu terkekeh sinis. Tepi bibirnya mengeluarkan darah segar, karena wajahnya terbentur tanah begitu kuat. 

Lelaki itu masih menyengir sambil mengusap darah tersebut dari dagunya.

“K-Kau… k-kenapa—”

“DIAM!” bentak Eshan saat Dzurriya kebingungan dengan kejadian cepat itu.

Tanpa berkata, Eshan menarik tangan Dzurriya dan membawanya pergi. Dzurriya menatap suaminya heran, Ia lihat leher dan bagian bawah jambangnya mengucur keringat-keringat, kemeja birunya juga nampak menempel di badannya karena basah.

Tangan besar dan kekar itu masih menggandeng tangan Dzurriya. Di luar dugaan Dzurriya, tangan Eshan terasa sangat hangat dan nyaman untuk digenggam.

Dzurriya mendongak, berusaha melihat wajah suaminya. Rahang lelaki itu terlihat menegang, dengan urat-urat yang tampak agak menonjol. Melihat itu, Dzurriya tidak berani untuk bertanya soal lelaki tadi dan kenapa Eshan memukulnya.

Dzurriyal setengah berlari mengikuti langkah lebar Eshan. Sampai akhirnya, lelaki itu berhenti melangkah tiba-tiba dan membuat Dzurriya membentur punggung lebarnya.

“Kau ini bodoh ya?!” bentak Eshan tiba-tiba.

Dzurriya tersentak, matanya langsung berkaca-kaca tanpa bisa ia tahan. Sedetik lalu, mereka masih bergandengan, tiba-tiba sekarang dia hempas tangannya dan menoleh kepadanya dengan wajah merah padam.

‘Apakah aku melakukan sesuatu? Aku hanya mengikutinya masuk karena dia yang menyeretku, kenapa dia sangat marah?’

“Apa kau tak bisa memilih dengan siapa kau harus berbicara?” lanjut Eshan sinis. “Apa yang kau bicarakan dengan pria itu?!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status