Perjalanan terus berlanjut. Tetapi, Zsalsya hanya bisa mengecap lidah tanpa berani mengambil atau bahkan membuka makanan tersebut."Bagaimana aku mengatakannya sebelum mengambil itu?" gumam Zsalsya. "Ah, kenapa aku tidak berani, sih? Padahal sudah jelas dan pasti diberikan," batin Zsalsya.Zsalsya merasa gengsi karena sebelumnya ia sempat mengatakan bahwa dirinya tidak lapar, sehingga ia harus terus berpura-pura tidak lapar demi menahan malunya."Jangan malu-malu! Makan saja! Malah saya senang kalau makanan itu kamu habiskan~!" kata Endrick dengan santainya. Pandangannya terus mengarah ke depan -- tepatnya ke jalan."Bukan begitu, Mas! Saya tidak malu-malu, kok!" jawab Zsalsya dengan nada agak tinggi. "Lagi pula .... Aduuhh!" Zsalsya agak menekan perutnya yang terasa sakit. Ia membungkukkan badannya ke depan ketika rasa sakit yang tak tertahankan itu kian terasa semakin kuat.Endrick tersenyum mendengarnya. Tetapi, begitu menoleh ke arah Zsalsya yang tampak kesakitan, Endrick langsung
Endrick melihat ke arah Zsalsya. Ia yang tidak tega dengan kondisi calon istrinya langsung putar balik. "Kita pulang saja, ya! Besok saja kita fitting baju pengantinnya.""Iya, Mas," sahut Zsalsya. Kali ini, dirinya benar-benar tidak nyaman dengan kondisi tersebut. "Tapi tidak apa-apa, 'kan, Mas, kalau kita tidak jadi sskarang ke sananya?""Iya .... Perut kamu 'kan lagi sakit, kalau terlalu dipaksakan Pasti tidak akan nyaman juga. Tapi, kamu mau pulang ke rumah Papamu atau rumah saya?" tanya Endrick.Zsalsya pun merasa bingung, tetapi karena tidak mungkin ke rumah Endrick ketika media tahunya mereka bertunangan, sehingga dirinya merasa tidak mungkin jika tinggal bersama dengan calon suaminya. Karena, itu pasti akan mengundang masalah yang bisa berbahaya bagi perusahaan Endrick. "Ke rumah Papa saja!""Ya sudah. Tapi kamu yakin mau tinggal di sana?" "Iya, Mas. Pokoknya saya mau pulang saja daripada mendapatkan masalah baru.""Maksudnya masalah baru bagaimana?" Endrick mulai tidak men
"Tunggu sebentar! Siapa yang nyuruh kamu masuk kamar itu begitu saja! Bukannya kalian belum ... sah ...?" sindir Mariana sekaligus menghalangi Endrick untuk menghampiri Zsalsya yang memang sudah ada di kamar. Dengan menahan rasa kesal dalam dada, Endrick pun menghentikan langkah kakinya. Ia menoleh ke arah Mariana sembari menyeringai samar. "Zsalsya sendiri yang sudah memberi izin! Apa saya masih perlu meminta izin darimu?" balas Endrick. "Ingat, ya, saya ini Ibunya, kamu harus tunduk juga sama saya!" Endrick kembali menyeringai. Tampaknya ia sedang menertawakan sikap Mariana yang bersikap seolah Tuan ruamh dan memiliki hak atas semuanya, termasuk Zsalsya. Padahal, ia juga sudah tahu sendiri apa yang memang sebenarnya. "Maksudnya Ibu tiri?" Endrick menatap wajah Mariana. "Sudah, Tante. Saya tidak punya banyak waktu lagi, saya harus mengantarkan ini masuk ke kamarnya!" Tanpa berlama-lama lagi. Sontak saja Endrick memutar tubuhnya, lalu melangkah pergi dari sana menuju kam
"Mbok...?" tanya Endrick kepada Mbok Minah. Saat itu, ia tidak tahu siapa namanya. Sehingga, dirinya seolah bertanya sekaligus memberi kode agar Mbok Minah mau menyebutkan namanya.Namun, Mbok Minah bertanya-tanya. Ia hanya diam dengan segala kebingungan dalam kepala."Itu Mbok Minah. Panggil saja begitu. Ya 'kan, Mbok?" Minah pun mengangguk. "Betul, Non. Panggil saja saya Mbok Minah.""Oh ya, Mbok, saya titip Zsalsya, ya! Kalau ada apa-apa, Mbok bisa hubungi ke nomor saya saja!"Endrick mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana. "Mbok punya ponsel, 'kan?" tanya Endrick.Minah pun mengangguk. "Ada." Ia pun mengambil ponselnya dari dalam rok yang dipakainya saat itu. "Tuan mau nomor saya?""Bukan!" sergah Endrick. "Saya pinjam ponsel Mbok Minah, biar nomor saya yang dimasukkan ke sana!"Minah melihat ke arah ponselnya. Sembari tersenyum, ia pun menyerahkan ponsel itu kepada Endrick. "Oh ya, silakan!"Endrick mengambil sodoran itu, kemudian memasukkan nomor ponselnya itu.Karena t
Ketika jadwal fitting baju tidak jadi hari ini, Endrick pun akhirnya memilih pergi ke kantor. Ada hal lain yang menurutnya perlu ia urus dengan baik.Di tempat parkir, ia menepikan mobil. Lalu, secara perlahan ia menurunkan kakinya. Tampak sekali kurangnya semangat dari cara ia berjalan. ZsalsyaBahkan, ketika ada orang yang menyapa, dirinya yang terlaku fokus pada Zsalsya membuatnya tidak mendengar sapaan itu."Pak Endrick kenapa, ya? Aku sapa, biasanya nyahut, sekarang malah nggak?" gumam salah seorang karyawan kantor yang merasa terabaikan."Tidak tahu," sahut karyawan lain yang merupakan rekan kerjanya.Endrick terus berjalan menuju lift eksekutif yang biasa ia gunakan. Sekretaris kantor yang sedang sibuk bekerja dan menunggu Endrick datang pun sesekali melihat ke arah pintu.Sebab, sebelumnya Endrick memang sempat menghubungi sekretarisnya bahwa ia akan ke kantor dan tidak jadi menyerahkan tugas memimpin rapat kepada sekretarisnya.Ting! Pintu lift terbuka. Dengan tegap, Endri
Suara telepon berbunyi ke telepon sekretaris. Ia langsung berjalan ke tempat itu dan langsung menjawabnya."Halo?""Baik!"Selepas menjawab telepon, sekretaris itu langsung kembali menghadap Endrick yang merupakan atasannya tersebut."Pak, katanya klien kita sudah menuju ruang rapat. Kita temui mereka sekarang atau tunggu sebentar lagi?"Endrick beranjak dari duduknya. "Kita ke ruang rapat sekarang saja! Siapkan semua dokumen penting yang akan dibahas itu!" perintahnya.Sekretaris itu mengangguk dengan tubuh agak membungkuk paham terhadap apa yang dikatakan oleh atasannya tersebut.Sementara di tempat lain, Zsalsya kembali bimbang dengan dengan segala sifat de m an kedua orang tuanya. Ketika mamngk"Kenapa aku terus berada di sini?" Zsalsya swgwrs beranjak dsri duduknya ia melihat ke arah wadah belanja yang kemudian ia pindahkan ke tempat yang seharusnya. Endrick segera menaruhnya pada sebuah meja kecil di kamar itu.Ketika Zsalsya tidak bisa melakukan banyak pekerjaan di rumah i
Dengan lesu, Endrick berjalan memasuki rumah. Ia membuka satu kancing kemeja, lalu melonggarkan dasinya. Suara langkah kaki yang sangat dikenal, membuat Rosmala segera berjalan ke arahnya. Terlebih lagi ia melihat Endrick yang tampak sangat berbeda dibanding biasanya, seolah kekurangan semangat dalam dirinya. "Kamu kenapa, Nak, tampak tidak bersemangat begitu?" tanya Rosmala dengan nada lembut sembari menghampiri ke arah Anaknya itu.Endrick terduduk di sofa sejenak, Rosmala pun ikut duduk. Ia merasa bahwa Endrick saat itu tampak sangat lelah. Rosmala mendekatkan dirinya pada Endrick, tangannya memeluk punggung Endrick."Kamu kenapa? Sini cerita sama Mama ...."Rosmala mulai semakin membuka diri, agar Anaknya menjadi lebih terbuka. Perssaan seorang Ibu tidak pernah salah. Sekali ia merasa ada sesuatu hal yang aneh pada Anaknya, tentu dugaannya tidak pernah meleset.Endrick menghadapkan tubuhnya pada Rosmala, sampai kaki itu mengarah pada Ibunya tersebut. "Ma, mau tanya.""Tanya apa,
Kenal cukup banyak dengan Arzov membuat Nana khawatir, entah kesepakatan seperti apa yang dibuat oleh pria licik itu. Tentu, pasti sesuatu telah terjadi dan ia tidak tahu apa sebabnya itu.[Kamu berani buat kesepakatan sama aku?]Arzov yang mendengar hal itu langsung tersenyum licik, ketika sadar bahwa mungkin saja Nana telah menyadari sesuatu. Namun, tetap saja, ia akan terus menyembunyikan hal itu.[Berani. Itu 'kan juga maumu. Kamu yang mengontak aku duluan!] Karena ambisinya dan kini mulai snagat terfokus pada Zsalsya, sehingga dirinya tidak mempedulikan cintanya kepada Nana. Ia melihat bahwa Zsalsya pun sudah cukup sangat cantik. Perubahan baik yang terjadi pada mantan kekasihnya, membuatnya berpikir bahwa tidak perlu lagi Nana untuk jadi pendamping hidupnya."Kalau aku bisa dapatkan Zsalsya, aku akan mendapatkan dua hal. Yaitu dendamku terbalas dan aku bisa kembali kepadanya. Walaupun dulu sempat aku duakan. Wajar saja, dulu dia tidak cantik dan kurang modis. Sekarang, aku piki