'Hai, Tari, sedang apa?'Balasan pesan Adrian masuk ke ponsel Mentari. Mentari membacanya dengan jengkel, lalu mengabaikannya. Dia memasukkan ponselnya ke dalam tas. Dalam hati dia mengeluh, sebab pesan Mentari dikirimkannya sejak sabtu lalu, tapi baru saja dibalas Adrian hari ini, senin.Suasana di kantor pun membuat paginya semakin suram. Dua karyawan wanita yang sejak hari pertama Mentari magang sudah menunjukkan rasa tidak suka, hari ini semakin menjadi-jadi."Laporan apa ini? Kenapa bahasanya seperti ini? Tabel-tabel ini juga berantakan," keluh yang berambut pendek.Yang berambut panjang menimpali dengan nada judes sambil melirik Mentari, "Maklum, masih kuliah, masih belajar. Setelah lulus pasti bisa buat laporan yang wow. Itupun kalau lulus, ya."Duo itu tertawa membuat Mentari kesal."Aku aja waktu semester awal sudah bisa buat laporan bahasa inggris. Dipuji oleh dosen-dosen.""Aku juga waktu kuliah jadi kesayangan dosen. Kata mereka, aku orang yang kreatif dan rajin, pasti gam
"Itu temanku," ucap Mentari dengan suara bergetar."Teman," ujar Argan sinis, "Teman seperti apa yang semesra ini?"Argan yang telah duduk tegak, mengulang video itu. Volumenya dikencangkan. Mentari dapat melihat aliran darah mengalir ke wajah Adrian. Pria itu pun bangun."Pantas saja akhir-akhir ini kamu semakin berani padaku, gara-gara pria ini 'kan? Atau jangan-jangan sudah lama kamu pacaran dengannya?" Dada Argan naik turun tidak karuan. Banyak yang ingin dikatakannya.Mentari segera menyahut, "Ga, Argan. Aku ga pacaran dengan Adrian.""Ooh, jadi namanya Adrian."Mentari menyesali ucapannya barusan yang tanpa sengaja memberitahu nama pria di video itu."Jadi setelah pulang magang, kamu bersenang-senang dengan si Adrian ini? Makan es buah sore-sore di pinggir jalan. Berani sekali kamu, ya, ga ada takut-takutnya kalau ketahuan. Kamu sengaja, ya?" Pesan Whatsapp yang baru masuk menjelaskan waktu video itu diambil, membuat amarah Argan semakin menjadi."Buat si pria ini, si Adrian," A
Keesokan harinya, Mentari tidak ke kantor. Dia menelepon mentornya dengan alasan tidak enak badan. Matanya bengkak, suaranya serak dan tubuhnya terasa lelah."Tari, sudah jam delapan, makan dulu," ajak ibu menyibak tirai pintu. Mentari masih ingin tidur, tapi matanya tidak bisa tertutup lagi. Dia hanya ingin berbaring saja, namun dia harus menuruti kata ibunya. Kalau tidak, ibunya akan membawakan makanan ke dalam kamar, bahkan menyuapinya dia tidak ingin makan. Padahal dia sedang tidak ingin makan.Namun, di dapurlah dia kini berada, dengan sepiring sup di depannya, beserta sedikit nasi di samping mangkuk sup. Dan segelas jus buah campur dari beberapa sisa buah rujak Cahya kemarin. Ibunya mengerti di saat-saat seperti ini Mentari tidak memiliki nafsu makan."Feliz mana, Bu?" tanya Mentari mengaduk-aduk sup tanpa selera."Sedang bersama Cahya. Ayo, dimakan."Mentari mengambil sedikit kuah sup dan memasukkannya ke dalam mulut. Hambar, itulah rasanya bagi Mentari. Begitu juga jus buah ya
Pesan masuk dari Adrian telah diabaikan Mentari selama beberapa hari, mematuhi nasehat ibu dan kakaknya. Jari-jari kadang begitu gatal ingin membalas pesan itu, namun dia tidak ingin mengecewakan keluarganya yang telah memberikannya kepercayaan.Suatu sore, saat Mentari sedang menyusui Feliz di ruang tamu, terdengar notifikasi pesan masuk di ponselnya yang diletakkannya di sofa. Dia mengambilnya dan melihat pesan masuk dari Adrian. Dia menatapnya lama."Jangan dibalas!" perintah Cahya yang ikut membaca pesan itu. Cahya sedang menjahit celana seragam Winar yang robek di samping Mentari.Melihat Mentari yang ragu, tatapannya terus pada pesan itu, Cahya menambahkan, "Jangan dibaca juga! Blokir saja sekalian!"Tatapan Mentari tampak tidak percaya mendengar ucapan kakaknya, namun kakaknya menyergah, "Kenapa tidak mau? Kamu benar selingkuh dengannya?""Kakak!" Kata-kata Cahya menyakiti hati Mentari. Cahya menyadarinya."Kalau tidak suka dituduh selingkuh, lakukan kata Kakak!" seru Cahya teg
Hari-hari magang terasa membosankan setelah tidak ada lagi 'waktu makan es buah'. Seolah seperti robot dia menjalani rutinitasnya. Namun, Feliz yang semakin lucu dapat menghiburnya.Feliz mulai belajar berbicara. Dia senang bersuara tidak karuan. Tanpa lelah, Mentari mengajarkannya mengucapkan kata 'Mama'. Kata ibunya, kata 'Mama' lebih mudah diucapkan bayi daripada 'Ibu', maka Mentari gigih mengulang-ulang kata itu pada Feliz. Dia tidak ingin anaknya lebih bisa berucap 'Papa' seperti di video-video Tiktok yang ditontonnya."Tari, kenapa dipaksakan?" tegur Cahya mendengar Mentari yang telah lebih dari sepuluh kali menyuruh Feliz memanggilnya 'Mama'.Mentari pun menyerah. Dia membiarkan Feliz yang sudah bisa duduk, bermain dengan bola kecil. Feliz menyukai bola pemberian Winar itu."Argan tidak pulang lagi?" tanya Cahya."Ga tahu," jawab Mentari tak peduli."Bicaralah dengannya, jangan didiamkan.""Untuk apa bicara jika dia tidak ingin mendengarkan?""Kamu harus minta maaf."Mentari te
"Kamu sudah tidak berhubungan lagi dengan si pria itu?" tanya Argan saat Mentari akan beranjak tidur. Berputar kembali video Mentari dan Adrian dalam benaknya."Kami hanya teman, bukan seperti yang kamu pikirkan," jawab Mentari ketus masih sakit hati. Karena ulah Argan, kini dia tidak memiliki teman bicara lagi. Dia berbaring menghadap dinding, membelakangi Argan."Bukan itu pertanyaanku. Kalian masih bertemu?" suara Argan terdengar kesal."Tidak," jawab Mentari datar. Matanya masih terbuka memandangi lubang di dinding. Dia ingin segera tidur."Baguslah." Argan menurunkan punggungnya yang bersandar di dinding hendak berbaring dan tidur."Bagus untukmu, tidak untukku." Mentari membalikkan badannya menatap suaminya yang balas menatapnya. Punggung Argan berada pada posisi canggung, antara bersandar di dinding dan ranjang.Mendengar jawaban Mentari, pikiran-pikiran curiga mulai merasuki benak Argan, "Apa maksudmu?""Apa pernah terpikir olehmu kalau aku tidak lagi memiliki teman sejak meni
Argan sesekali pulang dan tidur di rumah, namun tak sekalipun Mentari mengajaknya bicara. Jika Argan bertanya, Mentari hanya menjawab sekedarnya, lalu meninggalkannya. Dia tidak ingin diperlakukan seperti orang bodoh yang bisa diperdayai lagi.Meskipun diperlakukan seperti itu, Argan tidak merasa canggung. Dia malah akan mengajak ibu, Cahya atau Winar bercakap-cakap. Terkadang dia akan melirik Feliz dan mengajaknya bicara sebentar. Saat melihat itu, Mentari hanya menahan emosinya, padahal dalam hati dia ingin meneriaki Argan yang tidak bersikap layaknya seorang bapak."Papa dan Mama ingin bertemu Feliz," ucap Argan saat mereka sedang makan malam suatu hari."Silakan. Mereka bisa mengunjungi Feliz," ucap Mentari datar. Mentari semakin pintar menyembunyikan perasaannya di depan Argan. Kata Cahya, Mentari menjadi semakin dewasa dan sabar. Itu sebuah pujian yang disukai Mentari, karena dia tahu, usahanya sedang membuahkan hasil.Argan meletakkan sendok dan garpu di piring, lalu menatap Me
Keluarga kecil itu tiba di rumah orang tua Argan hampir jam dua belas siang. Argan sengaja mengendarai mobilnya lebih cepat dari biasanya untuk mengejar waktu makan siang."Keluargaku tepat waktu. Makan siang selalu jam dua belas pas," pamer Argan dalam perjalanan."Kalau demi mengejar itu dan kita kecelakaan, tidak ada artinya!" seru Mentari yang tidak menyukai cara mengemudi Argan yang asal-asalan melambung kendaraan lainnya.Telah beberapa kali Mentari menegur Argan setelah dia dan Feliz hampir terjungkal ke kaca mobil depan, karena Argan melakukan rem mendadak. Tapi, seolah tidak menganggap Mentari, dia terus melaju dengan kecepatan semaksimal yang dia bisa.Kekesalan membuncah dalam dada Mentari ketika mobil telah tiba, namun dia harus bersikap baik pada keluarga Argan. Bagaimanapun mereka telah menjadi keluarganya juga.Ayah Argan menyambut kedatangan mereka dengan hangat. Dia memeluk Mentari."Bagaimana kabarmu, Tari? Sehat?""Iya, Pak. Tari sehat."Argan menatap Mentari tajam