Setelah selesai bekerja, Naya berjalan bersama ana dan Tari mereka bertiga berjalan ke arah parkir, ternyata disana Pak Edi sudah menungguku.
"Tuh supir jemput kamu, Nay?" tanya Tari. "Hu um." "Wah sejak kapan kamu jadi tajir, Nay?" Sahut Ana. "Gak kebetulan itu sopir saudara aku, Ana." "Oh. Nay, Tar aku duluan, ya. Suamiku sudah jemput." "Iya hati-hati, An." "Siap." Tari dan Naya melambaikan tangan. "Enggak jadi nih main ke rumah aku, Nay. Padahal Mama kangen lo katanya sama kamu." "Titip salam saja dulu ya." "Oke deh. Terus kamu mau ngapain." Naya tersenyum. "Aku mau puas-puasin tidur seharian mumpung libur besok. Capek aku." "Ya deh. Aku duluan ya." Naya mengangguk mengiyakan, dan melangkah menemui Pak Edi. Ia membukakan pintu lalu Naya masuk. Sesaat mobil meninggalkan rumah sakit menuju rumah penjara itu lagi. "Pak, harusnya enggak usah jemput, saya bisa pulang dengan taksi. Kasihan Mama jika mau pergi." "Tapi, Tuan Raja menyuruh saya buat jemput, Non Nay." Naya kehilangan kata untuk menggambarkan sosok Tuan Raja itu. Dia cuek, angkuh, sombong. Tapi setelah di dalami seperti ruang labirin tak berujung penuh misteri. "Tuan Raja?" "Iya, Non. Bahkan Tuan wanti-wanti harus menjemput, Non selamat sampai rumah." Ah jangan gr, mungkin karena ia membutuhkan Naya untuk mengganti infusnya. "Lagian tadi saya sudah antarkan, Nyonya ke Butiknya, Non." Jelasnya. "Baiklah." Sampai di rumah, langkah membawa Naya ke kamar bergegas Naya gosok gigi dan mandi. Saat Naya keluar kamar ada Mbak Nur yang sudah membawakan Naya sarapan. "Pagi, Non, wah cantik sekali kelihatan segar, meskipun wajahnya agak lelah." Naya tersenyum setelah memakai rok juga kaos putih juga pashmina senada dengan rok hijau amri. "Ya, aku capek, Mbak enggak sabar pengen tidur seharian sepuasnya." "Eitt ... tunggu dulu, sarapan dulu, terus periksa kondisi, Tuan Raja baru tidur. Non." "Ya, iya baiklah." Sampai di ambang pintu, Naya mengetuk pintu sesaat aku dan Bibi Darti masuk membawakan sarapan. Naya menghela napas panjang sebelum menghampiri suaminya itu yang berdiri menghadap cendela balkon, dia berbalik tertegun saat mendapati Naya sudah berada di hadapannya saat ini. "Sarapan dulu, Tuan." Pandangan Naya berpaling. Dia menurut dan berjalan mendekati ranjang. "Saya suapi, Tuan." Tawar Naya langsung. Kedua netranya menatap ke arah Bibi Darti, mungkin ia malu. "Ngak mau." Naya mencari alasan menyuruh Bibi membuatkan teh hangat untuknya. Setelah Bibi pergi ia baru mau membuka mulutnya. Mereka terdiam hanya terdengar suara piring yang beradu dengan sendok. Selesai ia sarapan Naya meberikan obat seperti biasa, lalu melepas infusnya, karena kata Dokter Wahyu jika keadaannya sudah membaik. Naya memakai sarung tangan, meraih tangannya yang dingin. Naya kembali menunduk membasahi plester yang menempel pada kulit dengan kapas alkohol. Lalu melepas plester dan kassa dari kulit menekan tempat tusukan jarum dengan kapas alkohol dan menarik jarum pelan-pelan. Terakir menekan kapas alkohol dengan plester. "Sakit, Tuan?" Naya bertanya tepat di depan wajahnya, saat ia sempat meringis. Refleks aku menghentikan kegiatanku. "Saya nggak apa-apa!" Dia menatap ke arah sekeliling. "Tapi masih harus rajin minum obat, Tuan." Lelaki itu hanya diam menatapnya, memperhatikan setiap langkah Naya yang mondar mandir membereskan alat dan merapikan bekas infus. Melepas sarung tangan dan mencuci tangan di wastafel kamar mandinya. "Satu jam lagi, saya akan menyuntikkan obat untuk asam lambung Anda, Tuan. Jadi saya akan tunggu saja di sofa. Takut jika ke kamar saya ketiduran." "Ya, terserah." Naya duduk di sofa memainkan ponsel, terdapat chat dari Tari, Naya tersenyum membuka chat darinya. "Yakin nih ngak mau jalan bareng aku, lihatlah begitu ramainya disini?" Tari mengirimkan sebuah foto dirinya bersama adiknya sedang menonton bioskop di sebuah mall. Naya tersenyum miring serta mengirimkan setiker sedang tertidur, sekilas Naya menatap samar jika lelaki itu sedang memandanginya. Karena semalam tenaga Naya memang terkuras habis. Pantas bila Naya tak terasa tertidur. *** Naya tersentak kaget saat bangun tubuhnya sudah berada di ranjang besar, Naya memegang kepala yang terasa begitu berat. Astaga Naya ingat jika ini ruangan suaminya. Naya melihat sekeliling dan Naya melihat Raja sedang menatap laptop aku bergegas bangkit dan berjalan mendekatinya. "Ah tunggu dulu, apa dia yang mengangkatku ke ranjang," bisik Naya memegangi kepala yang masih sedikit nyeri. "Maaf Tuan. Semalam banyak sekali pasien. Jadi aku sangat mengantuk." Jelas Naya ragu. Dia menatap Naya sekilas. Naya menatap jam di tangan dan sudah lebih dari dua jam. "Astaga, ini kelewat jauh waktunya Anda di suntik, Tuan." "Sebentar lagi." "Tuan." Alih-alih menjawab, Raja justru memalingkan wajahnya. "Just wait five minutes." "Maaf, apa Tuan yang angkat saya ke kasur?" Lelaki itu melihatku sekilas lalu kembali lagi ke arah laptop. "Tuan." "Pak Edi yang angkat." "Apa?" Lelaki itu tertawa kecil. Ah enggak lucu. Naya curiga dan berjalan ke arah sofa. Sesaat ponsel dalam saku rok Naya berbunyi dan ternyata panggilan dari Tiara, Naya begitu senang seraya menerima panggilannya. "Nanti sore bisa ikut ke mall buat beli baju, buat keundangan, Naya." "Enggak ah capek, mau tiduran saja." "Yah gak seru kau. Ah bete." "Yaelah, bukannya tadi sudah healing sama adikmu. Kenapa enggak sekalian sih?" Tanya Naya tak sadar jika diperhatikan oleh suaminya. "Mana mau dia diajak beli kebaya. Ah ga asyik lo." Bergegas Naya membekap mulut, saat sadar ia dika ar laki-laki misterius itu. "Oke nanti kutelopon lagi." Bisiknya. "Tapi kamu setuju, kan? Kita jalan-jalan." "Oke." Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, mata laki-laki itu sudah melotot ke arahnya. Ia berjalan mendekati ranjang itu artinya ia sudah selesai dengan pekerjaannya. Naya salah tingkah, mereka saling melempar pandang dan mulai terlihat tak enak hati. "Eemm maaf." Raja kembali terdiam. "Saya sudah selesai." "Baik Tuan." Naya mengambil alat, dan segera melakukan tugasnya. Selesai Naya mengemasi bekas jarum suntikan dan segera Naya mencuci tangan di wastafel. "Aku benci wanita yang menghalalkan cara untuk uang." Naya gemetar ia tahu jika laki-laki itu menyidirnya. "Berapa banyak uang yang diberikan Hani padamu? Sampai kamu rela menikahi suami orang." Netra Naya mengembun dan siap tumpah. Bahkan apa yang dikatakan laki-laki itu nenar jika dia menikahimya karena uang. "Tak bisa jawab?" "Aku memang suka uang, Tuan. Dengan uang aku bisa melakukan apapun. Termasuk bekerja siang dan malam menjadi seorang perawat." Jelas Naya kesal. "Termasuk harga diri?" Pipi Naya memerah ia menahan amarah. "Ya." Raja mendekat membuat Naya mundur beberapa langkah hingga tubuhnya terbentur di tembok. Raja makin mendekat membuat Naya gemetar. "Gadis murahan." Pandangan mereka akhirnya saling bertemu. Raja makin liar ia mencium kasar bibir Naya. "Lepaskan." "Kenapa bukanlah kamu sudah kami beli." Ada rasa sakit mengalir di dalam dada saat menyadari pandangannya terus tertuju pada Naya. Dengan keras Naya menghantam bagian bawah Raja dengan keras hingga dia meringis kesakitan. "Auhhhww." "Maaf Tuan. Tapi aku tak sudi punya suami kasar." Naya mendorong tubuh laki-laki itu dwngan kuat lalu ia berlari pergi meninggalkan laki-laki itu yang masih kesakitan seraya memegangi bagian bawahnya yang masih sakit. "Sial, awas kau." Teriak Raja kesal.Naya berlari ke kamar lalu dengan cepat ia menutup pintu. Tubuhnya gemetar ia kesal dengan ulah laki-laki itu. Namun suara ponsel berdering membuat Naya tersentak kaget. Sepertinya nomor baru Naya enggan menjawabnya. Namun beberapa saat suara getaran itu kembali terdengar dari ponselnya lagi. "Nay, kumohon izinkan aku menemuimu sekali saja. Aku mau menyampaikan sesuatu. Aku ingin menjelaskan semuanya sama kamu. Bisa kita ketemu?" tulisnya dalam sebuah chat. Menjelaskan apa? Menjelaskan bahwa dia akan menikah? Semuanya sudah selesai. Naya tak akan bermain api jika tidak pekerjaan yang sangat Naya sukai akan dipertatuhkan, jika sampai dokter Seruni melihat pertemuan kami nanti. Setelahnya Naya memilih meletakkan ponsel ke atas nakas dan berbaring.Naya masih takut ia berharap sore hari nanti semua kesakitan itu akan menghilang. Entah apa rencana Tuhan, tapi begitulah hidup yang bisa terjadi kapan pun Tuhan mau. Meski jujur hatinya masih belum bisa melupa saat-saat bersama Galih kekas
Naya berjalan tergesa. Ketika ia mau masuk melihat seseorang yang tengah berdiri di beranda rumah. Ternyata Satpam. "Baru pulang, Non?" tanyanya seraya membukanya pintu gerbang. "Iya, Pak."Naya berjalan masuk, membuka pintu rumah terlihat sepi. Tanpa sadar Naya menggeleng membayangkan reaksi Raja tadi pagi. "Non.""Mbak Nur, ngapain sih disitu kaget tahu." Jelas Naya kaget saat melihatnya tiba-tiba mendekati. "Eh itu, Tuan Raja gak mau makan juga minum obat, Non.""Mirip anak kecil saja, sih. Dimana Non Hani?" tanya Naya. "Pergi sama, Nyonya. Non."Naya menyuruhnya membawakan belanjaannya. Naya langsung berjalan ke arah kamar Raja ditemani Darti. Saat mereka masuk laki-laki itu duduk di depan leptopnya. "Permisi, Tuan."Laki-laki itu tak menghiraukan. "Tuan." Panggil Naya lagi. "Aku ngak mau makan!" Naya memalingkan wajah. "Tapi, Tuan harus minum obat.""Ngak mau."Naya dan Bibi saling tatap. "Gini deh kita makan martabak ini ya sama-sama, Tuan? Biasanya sih saya habiskan s
Pagi selesai Naya mandi, ia tak tahu apa yang harus Naya lakukan. Semua dikerjakan sang asisten rimah tangga. Bahkan semua baju Naya sudah rapi dalam almari plus dengan setrikaan licin. Naya bangkit akan ke luar kamar. Namun keduluan Mbak Nur yang datang. "Pagi, Non." Naya tersentak. "Eh, Mbak Nur.""Malah melamun. Ini sarapan paginya, Non." Naya tersenyum. Mendekati Mbak Nur dan memeriksa sarapan Naya cepat-cepat menyelesaikan makan, setelah itu Naya ikut ke dapur membantu Mbak Nur membereskan piring kotor. "Mbak berapa lama kerja disini?" tanya Naya. "Sudah lama, Non. Sejak lima tahun terakhir."Naya mengangguk tanpa menjawab apa pun."Kenapa, Non?""Memangnya, Non Hani sama Tuan Raja tidurnya pisahan?" tanya Naya canggung, tapi Naya penasaran sekali. Terlihat Mbak Nur menghela napas. "Em, tidak kok Non.""Mbak Nur.""Iya, Non.""Bisa-bisanya aku tanya malah mengalihkan pertanyaan, gimana sih.""Itu, Non. Aduh gimana jelasinnya, ya."Naya menggeleng pelan. "Ya tinggal jawab sa
Naya kembali melangkah, masuk ke dalam kamar lalu mengambil tas juga flatshoes dan akan menemui Daren. Karena hanya dia yang bisa menenangkan hatinya saat ini. Sungguh banyak permasalahan hidup yang menghadirkan kesedihan. Namun iman mengajarkan bahwa perjalanan hidup tak akan sepi dari ujian dan cobaan. Naya kadang hanya bisa melihat orang terlihat bahagia padahal dalam jiwanya menyimpan duka derita. Bayangkan saja rumah sebesar itu tak bisa mendapatkan kebahagiaan, di rumah besar itu tak ada suara tangis bayi, juga tawa anak kecil. Miris sekali. Naya juga melihat seseorang penuh tawa bahagia tak pernah tahu bahwa hatinya menyimpan gurat luka. Semoga Naya bisa kuat berada disini. Naya berjalan ke arah luar saat Naya mau mengambil motornya namun tak ada. Kemana perginya motor Naya."Apa sepeda motorku kesayanganku itu hilang? Atau kemana ya.""Non, cari apa?""Mang, sepeda motorku ke mana ya? Kok ngak ada sih?"Mamang tersenyum seraya megaruk rambutnya yang tidak gatal. "Emm itu, Non
Naya mengguyur tubuh rasanya sangat segar apalagi setelah aktivitas seharian yang melelahkan. Selesai ia mengikat rambut dengan handuk, keramas membuat lelahnya hilang. Saat Naya keluar kamar mandi, Mbak Nur sudah menungguku di sofa dan membawakan makanan. "Makan Non.""Ngak mau.""Non.""Ngak lapar.""Terus ini gimana makanannya?""Makan saja sendiri.""Non.""Aku capek mau tidur, Mbak Nur.""Terus ini kalau aku dimarahin Tuan bagaimana. Mbokya kalau pergi bilang to, Non. Kami semua dimarahi sama, Tuan Raja kemarin lo.""Dan aku tak peduli.""Non Naya.""Iya, Mbak Nur."Lama mereka dilingkupi sunyi, hanya suara sendok dan piring terdengar. Terpaksa Naya makan karena dipaksa, selesai makan Mbak Nur pun pergi, Naya merasa sangat capek sekali ia membaringkan tubuhdi atas ranjang.***Ketukan pintu membuat Naya terbangun, kepala masih terasa nyeri Naya mengusap mata yang masih lengket, kemudian berusaha bangkit dan berjalan mendekati pintu lalu membukanya. Ternyata Hani, sudah telihat s
"Ah bercanda kamu kelewatan Jeng, masa iya begitu.""Benar lo Jeng kayak yang lagi viral itu.""Mikirmu kejauhan Jeng Santi."Raja hanya diam. Sepertinya ia tak peduli dengan ucapan Tante Santi. Naya memaksakan senyum karena ucapan perempuan paruh baya itu begitu menusuk. "Nay, sini aku kenalkan dengan saudara, Papa yang punya acara ini."Naya menatap ke arah Raja, ia mengangguk. "Iya, Ma."Mereka berdua berjalan mendekati wanita cantik yang masih menjamu tamunya. Langkah semakin mendekat, tapi saat Naya berjalan ia melihat Ana namun sepertinya ia tak mengenali Naya, karena make up juga baju senada dengan keluarga yang punya pesta itu. Mungkin saja Ana tak ngeh jika Naya ada diantara mereka. Sesaat wanita itu menatap ke arah Naya dan Bu Diah dan tersenyum. "Diah apa kabar, makin cantik ya kamu.""Masa sih. Selamat ya atas pernikahan putramu. Akhirnya menikah juga."Wanita itu tersenyum. "Iya, terima kasih, wah cantik sekali ini siapa?" tanya wanita itu tersenyum ke arah . "Oya, k
Naya mencoba mengartikan perkataan suaminya. Ah, mungkinkah ia sedang sakit? Tapi tidak mendadak Naya bergidik ngeri. Naya menggigit bibir bawah. Bingung harus menjawab apa. "Aku suamimu, bukan?" Naya menatapnya. Bibir Naya mendadak kaku untuk berkata-kata."Aku berhak mendapatkan hakku sebagai seorang suami bukan?""Apa, Tuan?" tanyanya kaget. Ia masuk ke kamar dan melewati Naya hingga badan besarnya membuat tubuh Naya akan terjatuh saat ia menabraknya. Untung Naya bisa menjaga keseimbangan tubuh. Naya mengekori di belakangnya sesaat ia berhenti dan berdiri di depan jendela. "Bisa jelaskan, apa hubunganmu dengan, Mas Galih?" tanyanya. Naya tak sanggup menatap lelaki yang berada di depannya ini. Dengan wajah yang begitu garang sedari pulang di pesta pernikahan tadi, Raja hanya diam, sepertinya ia marah pada Naya. Apa mungkin tadi Raja mengetahui percakapan Naya dengan Dokter Seruni? "Maksud, Tuan?" Naya menjawab pelan. "Jujurlah ... aku tahu kau punya hubungan special dengan K
Raja membawa Naya terbang ke langit, sakit Naya merasakan sakit yang luar biasa di bagian sensitivenya. Naya pun sudah iklas karena itu tujuannya ia dinikahi pun sudah berusaha dengan keras sejak kesepakatan meminjam rahim itu terjadi, memenuhi apa yang seharusnya Raja lakukan sebagai seorang suami. Memberikan benih di rahimnya. Naya meremas sprei dengan sekuat tenaga dengan segala rasa sakit pada tubuh. Namun sekarang aku berada di titik pasrah, setelah tak ada sehelai benangpun menghalangi mereka berdua. "Terima kasih." Raja bicara setelah dahaganya terpenuhi. Naya miring membelakangi tubuh suaminya memilih tak menjawab badannya gemetar, mugkin kelak Naya akan menyandag gelar sebagai janda setelah melahirkan anak darinya. Naya menarik selimut menutupi tubuh yang tak terlindung sehelai benang. Malam semakin larut. Detak jarum jam menjadi satu-satunya alunan merdu yang mengiringi malamku. Sesekali kutatap wajah sendu yang tak tertutup selimut itu, lalu kembali beralih pada langit-l