Share

Tak Diinginkan

Tak seorang pun wanita di dunia ini menginginkan status menjadi istri kedua ataupun wanita kedua dalam hidupnya. Sayang, Naya tak diberi pilihan. Entah karena alasan ingin terlihat seperti lelaki tangguh, atau hanya menginginkan si wanita kedua menjadi simpanannya saja bahkan hanya karena nafsu semata. Namun berbeda dengan poligami yang Naya alami. Semua itu karena permintaan sang istri agar bisa istri kedua mengandung seorang bayi yang tak mereka dapatkan selama bertahun-tahun di pernikahan.

Tak pernah mereka pikirkan soal hati Naya yang hancur, entah karena alasan apa. Dari situlah awal mula Naya hidup terlunta-lunta diantara pernikahan mereka. Jujur, ada rasa rindu pulang ke rumah. Harapan Naya saat itu suatu hari ingin mendapatkan seorang suami yang hanya miliknya seutuhnya, lalu mereka tinggal di rumah dan mempunyai banyak anak. Dalam hati Naya sempat berjanji akan setia. Juga tak akan menjadi perusak hubungan suami orang.

Naya ingin marah, tapi tak tahu pada siapa. Jadi saat Naya sedih ia hanya diam kemudian menangis sejadi-jadinya dalam kamar besar yang kedap suara itu.

"Nay ...."

Wanita itu bahagia sekali berlari memeluk Naya, dengan banyak belanjaan ditangan.

Kali ini Naya menarik napas panjang, lalu menepuk bahunya. "Suamimu sakit, Hani. Sempat-sempatnya belanja?" tanya Naya.

Wanita itu tak nampak terkejut. "Iya kah? Sakit apa?"

Naya menaikkan bahu.

"Nay, dia juga suamimu kan?"

Rasanya seperti ditimpa beban berat di hati, mendengar ucapan Hani. Pertanyaan ity yang terus menyiksa jiwa. Yang akhirnya justru semakin mengikis rasa sakit ini sendirian.

"Hani." Tekan Naya.

"Iya ... iya. Nih buat kamu. Aku ke kamar, Mas Raja dulu ya." Dia mencium pipi Naya yang selalu ia lakukan padanya selama ini.

Ada ya begitu. Sebenarnya apa yang terjadi di rumah besar ini. Bahkan Naya tak tahu apa-apa. Naya menghela napas. Lalu mendengkus pendek, dada Naya sudah memanas karena emosi. Biasanya saat suaminya sakit sikap Hani biasa, saja aneh. Naya kembali membersihkan diri dan istirahat sejenak, lalu bangkit menganti pakaian dan tak lupa mengecek kondisi lelaki yang sakit itu.

Di sore menjelang malam hari, saat semua telah tertidur lelap, Naya bersiap-siap untuk bekerja dan berjalan mendekati pintu kamar milik suaminya itu. Bibi Darti sudah menunggu di ruanga depan kamar Nayam

"Non, mau memeriksa, Tuan Raja."

"Iya, Bi. Saatnya ia minum obat."

"Pastikan obatnya diminum, Non. Sejak kecil Tuan sulit sekali minum obat." Jelas Bi Darti.

"Masa sih, Bi."

"Iya, bahkan waktu disekolah. Saya selalu menemani, Tuan waktu imunisasi."

Naya tertawa kecil. "Ohya ada ya begitu, Bi."

"Iya. Jadi, Bibi suka sedih kalau, Tuan sakit, Non."

"Ya tenang saja, Bi. Akan saya urus."

"Siap, Non."

"Bi, temani aku masuk ke dalam ya."

"Yowes, Bibi temani."

Mereka berjalan mendekati kamar. Setelah sempat membuka pintu aku begitu terkejut, saat melihat Hani telah berbaring disamping suaminya itu.

"Permisi."

Hening, hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar. Satu detik, dua detik hingga beberapa detik.

"Eh ya, masuklah. Nay."

Naya beranjak masuk, dan Hani bangkit dari tidurnya.

"Periksalah suamimu, aku permisi dulu."

Naya hanya menggulingkan kepala.

Hani mengangguk dan ia berjalan menjauh meninggalkan kamar suaminya. Naya tersadar dan mengambilkan beberapa pil dan kapsul untuk diberikan kepadanya. Ia pun menurut meminumnya sekali teguk.

"Kapan infusnya dilepas, ini sangat menganggu."

Naya mengembalikan minuman dan menatapnya. "Setelah infusnya habis. Sepertinya Anda juga sudah segeran."

Lelaki itu menandang Naya tanpa bicara. Dan berusaha untuk bangkit.

"Mau dibantu?"

"Tidak usah."

"Baiklah."

Sorot mata itu menatap Naya penuh tanya. "Kamu mau masuk kerja?"

"Iya, saya permisi, Tuan."

Naya berbalik berjalan keluar kamar dan menutup pintu, ditemani Bibi. Bibi Darti ke dapur sedangkan Naya berjalan menuju depan rumah besar ini. Sementara Pak Edi sudah siap di depan rumah.

"Non, Biar saya yang mengantar."

"Tak usah, Pak merepotkan. Anda istirahat saja biar saya naik motor."

"Aduh jangan, Non. Takut dimarahi, Tuan Raja berpesan harus mengantarkan, Non sampai rumah sakit."

Naya menggeleng pelan. "Oh, baiklah kalau begitu, Pak."

Naya melirik kamar atas itu. Kamar suaminya yang gelap itu dengan kesal.

***

Naya melangkah menuju ruangan tempat

kerjaan, langkahnya terhenti saat ada seorang wanita berdiri di depannya. Naya terkejut, sesaat aku membeku saat wanita itu menatap ke arahnya. Tangan Naya memegang erat tas yang aku pakai, berharap gugup yang aku Naya rasakan mencair. Naya kembali berjalan, kemudian berlalu dari hadapan wanita itu. Masih sempat kutangkap binar tanya dari sorot matanya. Seperti hendak menanyakan sesuatu.

"Naya Maharani."

Naya menghentikan langkah dan terdiam. Menunggu apa ia Naya tak salah dengar? Hentakan sepasang kaki bersepatu hak tinggi bewarna hitam mengkilap berjalan mendekati Naya dan berada tepat dihadapkannya.

"Kau yang bernama, Naya?"

Naya tahu siapa wanita ini. Dia adalah Dokter Seruni. Calon istri Galih. Tapi Naya yakin tak ada satupun yang tahu hubungannya dengan Galih kecuali Tari dan keluarganya bahkan Naya belum pernah bertemu dengan keluarga Galih. Karena mereka bukan tipe pasangan kekasih yang suka mengumbar hubungan di luar. Mamanya memutuskan sepihak hubungan mereka karena tak menyetujui asal-usul Naya tanpa mengenal lebih dulu. Itupun melalui via telepon di Wa.

"Ya, Saya."

"Apa hubunganmu dengan, Mas Galih?" tanyanya membuat Naya tersentak keget.

Naya menatap wajah wanita itu, seperti ada amarah yang siap meledak kapan saja. Jika Naya bicara keras ia pasti emosinya akan naik satu tingkat. Itu juga akan dilihat banyak orang dirumah sakit.

"Tidak, Dok."

Wanita itu tersenyum sinis ke arahku. "Apa perkataanmu bisa dipercaya?"

Naya menghela napas berat. "Saya hanya seorang perawat, Dok. Apa Anda percaya jika Dokter Galih menyukaiku."

Wanita itu menatap tajam. "Aku ingatkan, jika kau bertingkah pekerjaanmu taruhannya."

Naya menggelengkan kepala. "Apa saya mengganggu Dokter Galih. Silahkan cek apakah ada nomer beliau." Naya menyodorkan ponsel, Namun wanita itu menepisnya, untung Naya pegang ponselnya agak kuat, hingga masih aman dalam tangannya.

"Jangan karena Mas Galih anak dari pemilik rumah sakit ini, kamu makin nggak tahu diri, ya."

Ada yang teriris di dalam sini. Seolah air mata Naya siap meluncur bebas namun aku masih menahan. Naya memejamkan mata sejenak, lalu memutuskan untuk menjawab. "Saya sudah menikah, Dok. Jangan khawatir, saya bukan wanita penggoda."

Astaga Naya kali ini seperti wanita yang kehilangan arah. Berjalan meninggalkan wanita itu yang masih mematung dengan segudang kekecewaan. Entah ia tahu dari mana jika aku pernah menjalin kasih dengan Galih. Di titik ini kemudian Naya benar-benar sadar menjadi orang miskin memang selalu tak dihargai, bahkan orang tua Galih pun tanpa mengetahui Naya terlebih dulu mereka sudah menentang keras hubungan mereka.

Apa Naya harus kecewa, tapi kecewa pada siapa? Melanjutkan hidup adalah kewajiban Naya sebagai seorang hamba bukan. Kenapa Naya harus mengalami takdir seperti ini? Kenapa ia tidak seberuntung wanita lainnya yang bahagia memiliki keluarga kecil? Kenapa Naya tak diinginkan oleh siapa pun?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status