Share

Harap-harap Cemas

Seminggu sejak kejadian memalukan itu, Naya siap-siap mau berangkat kerja malam. Hari ini Naya bekerja di jam malam. Bersiap dengan memakai jaket dan mengambil tas juga flatshoes. Naya membuka pintu tinggi dan kokoh itu berjalan dengan pelan menuruni tangga. Terlihat mereka sedang berkumpul dan sedang mengobrol, mungkin saja soal perusahaannya. Tidak seperti Naya harus kedinginan menyongsong pergantian malam gelap bersama rintik-rintik gerimis, bersama udara malam menelisik kulit.

"Nay."

Naya tersenyum dan berhenti dan menatap dua lelaki beda usia itu.

"Mau kemana?" tanya Papa Danuarta menatapnya curiga.

"Emm, saya masuk malam. Pa."

Sekilas Naya menatap suaminya yang tak menghiraukan Naya, ia melihat ke arah lain.

"Oh, masuk malam."

Naya hanya mengangguk.

"Kalau begitu diantar sama, Pak Edi saja."

Naya menggeleng, "tidak, Pa. Biar saya naik motor saja. Permisi."

"Ini sudah malam, Nay. Ngak bagus naik motor sendiri. Biar Raja yang antar."

Raja menegakkan wajah. Bukan membalas perkataan sang Ayah, tapi pandangan Raja langsung mengarah pada Naya.

Naya memalingkan muka. Naya tak sanggup melawan tatapan yang menyorot tajam itu. Kepala Naya mendadak berdenyut. Ada hancur dan sakit yang sulit untuk dijelaskan.

"Ngak usah saya sudah biasa. Pa. Saya pamit. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Hati-hati, Nay."

"Iya, Pa."

Naya berjalan menuju teras depan mengambil motorku, namun Pak Edi mendekatilalu menahannya.

"Non, biar saya yang antar."

"Tak usah, Pak."

"Non. Jika saya tak mengantar Non Naya. Tuan Raja berpesan akan memecat saya."

Naya menggeleng pelan. "Baiklah."

Mobil akhirnya melaju di jalanan dengan kecepatan sedang. Tak ada yang berniat membuka suara sampai akhirnya kami tiba di tempat rumah sakit. Naya segera turun setelah itu mobil kembali melaju meninggalkan Naya. Pandangan Tari terpaku sejenak saat melihat Naya di hadapan. Senyum semringah terus terlukis indah di bibirnya.

"Wah, siapa yang antar? Mobilnya bagus sekelas dengan mobil, Dokter Galih?"

"Tau ah."

"Nay."

"Hm?"

Dia memberi jeda. Dari ujung mata, Naya bisa melihat dia terus memandangnya. Menuntut penjelasan darinya.

"Kenapa, Tari?"

"Apa ada yang kau tutupi dariku?" tanyanya menghalangi langkah Naya.

Spontan Naya menoleh menatap sahabat yang selalu ada untuknya itu sejak bekerja di rumah sakit mereka selalu bersama. Segera Naya berhenti dan duduk di salah satu kursi dekat parkiran mobil.

"Sini duduk dulu."

Naya menggeser posisi duduk setengah menghadapnya. Setelah lama menunggu, kalimat itu terucap juga dari lisan Naya juga. Naya menceritakan semuanya pada sahabatnya itu.

Tari menggeleng samar diiringi air mata yang terus meluncur turun ke pipi. Dia menangis tanpa suara. "Astaghfirullah, ini serius?"

Naya menatapnya dalam. Dia dengan cepat memeluk tubuhku. Aku tak boleh menangis karena kurasa aku harus kuat.

Tari sontak menegakkan wajah. "Itu berarti kamu menderita selama ini?"

Naya mendesis malas lalu menaikkan bahu.

"Kau terlalu baik untuk diperlakukan seperti ini, Nay. Bahkan aku sempat ragu karena kebaikan Dokter Galih, ia tak akan meninggalkanmu. Tapi lepas dari lelaki baik itu malah kau masuk ke kandang srigala."

Rahang Naya mengeras tangannya terkepal erat. "Lebih tepatnya penjara."

Diraihnya tangan Naya lalu digenggam erat. "

"Kenapa begini? Kenapa kau selalu menderita, Nay."

Tari memeluk Naya.

"Sudah ya. Kamu harus semangat."

"Ya."

Suara Tari serak. Wajahnya menyiratkan luka. Luka yang sama juga terpancar dari wajahnya. Kemudian ia menggenggam tangan Naya tanpa mengucap kata. Lalu kami segera beranjak dan melangkah ke dalam karena jam kerja telah mulai.

***

Selesai pulang kerja aku di antar Pak Edi ke rumah Naya, membawakan dua kantong plastik besar, berbagai makanan juga buah. Udara dingin pagipun menghangat, Naya mengira inilah awal matahari kehidupannya bersinar terang benderang. Daren menyambut Naya dwngan senyuman.

"Banyak banget, Mbak. Ini bisa buat makanan kita satu bulan lo."

Naya tersenyum, "tak apa, hari ini aku gajian, kok."

"Masuk yuk."

Mak Tini membawakan Naya secangkir teh manis, juga nasi pecel buatannya yang selalu enak menurut Naya.

"Makanlah, Nak."

"Makasih, Mak."

"Bagaimana, kamu sudah sehat."

"Alhamdulillah, kata Dokter Angga saat aku cek kemarin. Katanya sudah sehat."

"Syukurlah, tapi jangan kecapekan."

"Tapi aku bosen. Pingin jualan lagi."

"Enggak boleh. Tunggu beberapa bulan lagi baru boleh."

Daren tertawa gembira. "Oya? Bagaimana kabar, Dokter Galih?"

Naya menunduk lalu kembali mendongak, tak mungkin Naya menutupinya. "Ya seperti dugaan kamu dulu. Bahwa kita beda kasta."

Daren mendekar mengelus kepalanya lembut. Dia lantas mengecup puncak kepala pelan. "Sabar, Mbak."

"Iya."

Hari itu berjalan sempurna. Akhirnya Naya pamit pulang, dengan alasan bekerja. Dan memberikan Daren uang untuk pegangan. Juga Mak Tini untuk kebutuhan sehari-hari.

***

Naya terkejut baru saja dua langkah, Naya melihat dokter Wahyu berada di rumah itu ada apa? Siapa yang sakit?

"Nay kamu disini?"

"Eh, iya Dokter. Mau bertemu dengan Hani." Bohong ku.

"Oh."

"Siapa yang sakit, Dok?"

"Rio, dia lambungnya kambuh, sepertinya akhir-akhir ini dia jarang tidur dan lupa makan."

Oh bisa juga lelaki dingin itu sakit. "Bahaya enggak, Dok?"

"Sudah agak parah sih. Saranku sih harus tidur yang cukup. Dan Tuan Danu berpesan agar kamu yang akan merawatnya, obat juga impusnya jangan lupa ya."

Naya mengangguk mengiyakan.

"Baiklah aku pulang ya, Naya." Sementara sebelah tangan lelaki itu menepuk pundak Naya. Kemudian dokter Wahyu berjalan keluar.

"Baik, dok. Hati-hati."

"Ya."

Naya menggeleng pelan. Dan berjalan kembali menaiki tangga, sesaat ada seseorang yang menaggilku.

"Nay."

Naya mengernyit samar. Ada yang aneh dengan perubahan mimik wajah Mama meetuanya. Wanita itu mendadak terdiam dengan tatap entah ke arah Naya. Dari sini, bisa terlihat tangannya tiba-tiba bergetar.

"Mama, kenapa?" Naya bertanya cemas.

"Kondisi Raja sangat lemah, Nay."

Naya memeluk Mamanya.

"Istirahat lah dulu, nanti siang tolong jaga Raja ya, Nak."

Naya mengangguk. "Baiklah, Ma."

Rasanya nyaman setelah istirahat tertidur beberapa jam. Setelah Naya mandi ada suara masuk dari balik pintu. "Makan siang, Non."

"Iya, Mbak."

"Non, tadi pagi, Tuan Raja pingsan, lo."

"Kenapa, Mbak?" tanyaku balik.

"Entahlah, Non. Kulihat setiap malam, Tuan tak pernah tidur. Saat malam sekitar jam setengah tiga aku bangun mengantar Bibi Darti ke ruangan belakang. Saya melihat, Beliau ada di balkon kamarnya, Non."

"Maksudnya kamar, Tuan dan Nyonya Hani?"

"Em sepertinya kamar, Tuan sendiri, Non."

Astaga ada apa ini? Apa hubungan Hani dan Raha baik-baik saja?"

"Baiklah, siapkan makanan untuk, Tuan biar aku yang bawakan, Mbak."

"Baik, Non. Saya permisi."

Selesai makan Naya dan Bi Darti masuk ke ruangan kamar besar milik Raja. Sampai di sana terlihat pucat. Sementara lelaki itu terdiam di tempatnya menatap Naya sekilas. Dia masih tampak syok atas apa yang terlihat dan terjadi di hadapannya mungkin karena melihat Naya kemudian dia perlahan memalingkan wajahnya.

Ruangan bersuhu dingin itu tiba-tiba berubah memanas.

"Ikuti apa kata, Nay. Agar kau cepat pulih." Suara Mamanya dari belakang.

Raja terdiam.

"Mama harus pergi, tolong jaga, Raja ya. Pastikan ia minum obatnya."

"Iya, Ma."

Sekali lagi lelaki itu terdiam menatap Mamanya pergi, beberapa saat kami saling beradu tatap nyaris ia tak berkedip menatapku. Hingga akhirnya ia mulai bertanya.

"Minumlah obatnya, Tuan." Naya mengambilkan beberapa butir pil ke atas telapak tangannya dan mengambilkan air mineral dalam gelas.

"Kenapa harus minum obat?"

"Biar Anda cepat pulih, Tuan."

Raja hanya diam, mungkin mengiyakan. Ia lalu meminum obatnya lalu kembali berbaring. Matanya terpejam entah mungkin karena obat sudah beraksi. Naya menatap wajah polosnya perasaan aneh apa ini, kutekan dalam-dalam dadaku hingga terasa sesak. Naya menutupi tubuhnya dengan selimut sampai ke dada. Dan membersihkan bekas makanan juga bekas sampah obat tadi. Bibi masuk dan mengambil makanan yang hanya berkurang separuh saja.

"Jangan pergi," cegahnya, dengan mata terpejam

Naya duduk canggung di sofa. Ternyata semua tak sesulit yang Naya bayangkan, mengingat ini untuk kali pertama ia berbicara baik pada Naya. Naya bangkit memeriksa suhu badannya yang sudah tak demam lagi, dan menganti infus yang telah habis. Ia hanya diam dan sesekali menatap Naya penuh tanya.

"Sampai kapan impusnya dilepas?"

Lelaki itu memandang saat Naya terdiam. "Sampai Anda benar-benar sehat, Tuan."

Lelaki itu mengangguk. Tanpa ada pertanyaan lagi.

"Saya permisi, Tuan."

Raja terdiam hanya menatap punggung Naya yang makin menghilang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status