Share

Seperti Dongeng

Semua yang berada di dalam terlihat kebingungan, terdiam masih menatapa Naya.

Raja bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati Naya, Raja menatap Naya tanpa kedip, demi mengalihkan debaran hati karena tatapannya Naya menunduk.

"Kau Naya?"

Naya mengangguk dan menyodorkan file titipan dari Mama mertuanya. "File Anda ketinggalan. Mama menyuruhku mengantarkan." Jelasnya singkat.

Raja mengambilnya dan Naya tak suka dengan tatapannya. Sekejap kemudian Naya teringat akan tujuannya kemari dan harus segera berangkat bekerja.

"Saya permisi, Tuan."

"Terima kasih."

Naya mengangguk. "Sama-sama, Tuan."

Raja terus menatap Naya sampai tubuhnya menghilang dari pandangannya. Raja tersadar lalu berbalik berjalan dan memulai meeting.

***

Sampai di Rumah Sakit buru-buru Naya sedikit berlari menuju tempatnya bekerja.

"Maaf telat ya." Naya duduk seraya melepaskannya tas dan menaruhnya di atas meja.

"Lima menit."

Naya tersenyum. "Bagaimana keadaan, Daren?"

"Alhamdulillah sudah membaik, hari ini pulang."

"Alhamdulillah syukurlah ikut senang, Nay."

Naya tersenyum.

Matahari terik teriknya kini saatnya Naya pulang. Dan kini saatnya Naya membawa adiknya pulang. Naya begitu bahagia karena melihat adiknya bisa seperti dulu lagi.

"Sudah sampai, Mbak."

"Eh, Iya."

Terlalu berpikir, Naya tak sadar mobil yang disewa telah berhenti di halaman rumahnya. Mak Tini membantu membawakan barang sedangkan Naya menuntun Daren masuk le dalam rumah.

"Aku tidak tahu harus bicara apa, Mbak. Terima kasih Mbak dan Mak Tini telah merawatku, Mbak juga membiayai semua operasiku."

Naya mengangguk. "Iya."

"Dari mana Mbak dapat uang sebanyak itu?"

"Tak usah dipikirkan, yang penting kamu sehat ya." Naya mengalihkan pertanyaan itu.

Daren memeluk Naya erat. "Makasih buat semuanya, Mbak."

"Ya sama-sama. Kita berjuang ya berjuang agar kita diberi kemudahan. Dan kamu sehat seperti dulu."

"Aamiin ya Mbak."

Langkah Mak Tini menuju dapur dan membuat makanan. Mereka melepas rindu berbincang hingga tak terasa sudah habis magrib. Usai makan malam, Naya menemani Daren bercerita sejenak.

"Mbak, berangkat dulu ya."

"Mau kemana lagi, Mbak?"

"Emm Mbak kerja sih."

"Kerja diluar rumah sakit."

"Eumm."

"Maaf karena aku Mbak jadi banyak kerjaan."

"Sudah-sudah orang Mbak enjoy kok."

Naya sibuk mencari-cari alasan sekaligus jawaban atas keresahan yang timbul tiba-tiba sampai tak sadar rupanya jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Buru-buru Naya pamit dan izin pulang takut jika nanti keluarga Raja curiga. Taksi membawa Naya ke rumah milik keluarga besar itu.

Pikiran Naya lelah sebab dipenuhi beragam prasangka. Entah Naya harus memasuki rumah penjara itu lagi. Pelan-pelan Naya masuk, mengendap-endap berharap semua orang dalam rumah besar ini sudah pada tidur, Naya membuka pintu pelan.

"Non Nay, belum pulang?" tanya Raja pada Asiaten rumah tangga yang belum Naya ketahui siapa. Naya melangkah memasuki rumah dengan pelan. Hingga jelas suara lelaki itu aku dengar.

"Belum, Tuan." Wanita paruh baya itu sepertinya menjawab.

"Menelepon rumah?" tanyanya lagi.

"Nggak juga, Tuan."

Naya memijit kening sendiri sambil memejamkan mata. Setelah mengembuskan napas kasar, Naya menatap lurus ke tengah ruangan, terlihat lelaki itu melangkah pergi juga wanita paruh baya itu. Bergegas Naya naik ke atas tangga dan segera masuk ke dalam kamar.

"Non."

"Eh iya."

"Jangan bikin gara-gara karena Non belom pulang kami swmua kena marah." Jelas Mbak Nur itu.

Naya hanya tersenyum.

"Non, sih. Pulangnya telat jadinya, Tuan jadi marah."

"Ya aku masih ada urusan, Mbak."

"Ya sudah makan dulu. Aku tungguin. Bisa-bisa kalau Non ngak makan kepalaku bakalan dipenggal sama, Tuan."

Naya mengerjitkan dahi. "Ngeri."

"Belum tahu saja kalau, Tuan marah. Non."

"Kenapa?" tanyanya curiga.

"Serem."

Lelah berpikir dengan ocehan wanita itu, Naya memutuskan menganti pakaian lalu makan malam. Karena wanita itu membuntutinya terus. Selesai makan Naya merebahkan tubuh diatas ranjang. Pikiran-pikiran buruk kadang mengganggu tidurnya sepanjang malam. Sementara di lain waktu, kesedihan melanda Nayatanpa henti.

***

Fajar kekuningan diufuk timur sudah mulai terlihat, Naya membuka cendela menatap jauh pegunungan di balik bangunan bertingkat. Waktu terus berjalan. Naya belajar untuk menerima semua yang terjadi dalam hidup sebagai sebuah takdir.

"Non dipanggil sama Tuan dan Nyonya untuk sarapan di meja makan.

Naya memalingkan pandangan, menolak tapi gimana caranya?

"Cepatlah, Non."

Naya menelan ludah, berupaya sekuat hati agar keberaniannya tak luruh karena bertatapan dengan keluarga besar itu.

Dan terpaksa Naya turun mengikuti Mbak Nur dibelakangnya. Saat Naya tiba semua menatap Naya sedikit gugup dan menunduk.

"Naya, sini duduk, Nak."

"Iya, Ma."

Naya mendongak mencari bangku yang kosong. Ternyata di sebelah Mama mertuanya. Naya berjalan dan duduk. Mereka hanya diam menikamati sarapan tanpa ada percakapan.

"Mas dan kamu Naya, kalian harus sering bertemu, agar cepat berkomunikasi satu sama lain? Agar bisa cepat hamil." tanya Hani pelan.

Raja tersedak dengan cepat Hani mengabilkan air minum. "Hati-hati, Mas."

Naya menunduk menggigit bibir. Sepasang matanya tiba-tiba memanas. Bu Diah mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Naya dibawah meja. Naya menatapnya lalu beliau mengangguk berusaha menenangkan.

Raja menggeleng. "Aku belum bisa, Sayang."

"Mas, aku izinkan kau menyentuhnya. Aku mencintaimu."

Naya tersenyum miring mendengarnya. Ya Naya berpikir bahwa aku adalah wanita hina.

Raja dia hendak beranjak pergi setelah menjelaskan segala hal tentang cintanya pada Hani.

"Mas ...."

Naya seperti tak punya muka dihadapan Mama juga Papa mertuanya. Harusnya Hani lebih hati-hati bicara di hadapan Mama dan Papanya. Bukan malah membuat suasana sarapan menjadi panas. Kali ini, rasa bersalah menguasai dada Naya. Harusnya pernikahan ini tak Naya lakukan. Semua hanya akan menambah luka di hati Naya.

***

Hani mengejar suami angkuhnya itu. Naya hanya menunduk menahan malu, bagaimana bisa Naya ditolak mentah-mentah oleh seorang lelaki yang telah bergelar sebagai suaminnyaitu.

"Mas ...."

"Lupakan Hani. Aku akan pergi bekerja dari pada mendengar ocehanmu itu."

"Mas."

"Sudah ya aku malas bahas ini."

Masih terdengar jelas di telinga Naya apa yang mereka ributkan.

"Tidak ada yang salah Nay. Sabar karena Raja memang dingin," ucap, Mama meyakinkan Naya. .

"Tapi … saya rasa," jawab Naya penuh penekanan.

"Nay, Mama akan selalu ada untukmu, jangan takut ya." Wanita paruh baya itu memeluknya dengan erat berusaha menengkan Naya.

Naya tersenyum miring, wanita yang tidak pernah dicintai namun harus dia nikahi karena sebuah kesepakatan. Sekali lagi Naya tidak berhak kecewa, sakit hati atau menangis. Bahkan ini resikonya karena Naya sendiri yang telah memutuskan menyanggupi permintaan Hani. Naya tak ubahnya sebatang pohon bukan, yang telah habis ditelanjangi oleh kemarau. Melewati hari-hati seperti lelucon atau dongeng di sebuah pertunjukan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status