Share

Sesakit Itu

"Nikmati harimu. Aku ada di sini. Kau bisa memanggilku kapan saja kau membutuhkanku. Nay. Terima kasih banyak."

"Ya."

"Aku tinggal dulu ya. Ingat ini malam pertamamu aku harap kamu bisa melakukannya."

Naya terdiam.

"Suamiku sangat manis, Naya."

"Terserah."

"Jangan lupa. Aku pergi dulu."

Naya sudah pernah merasakan sakit hati. Berhubungan dengan seseorang Galih yang ia pikir akan menikahinya, Ah rasanya semua itu hanya mimpi, tapi berbeda kini Naya malah terjebak di pernikahan konyol itu. Di tepi ranjang Naya menatap ke arah sekitar, kamar paling mewah yang pernah ia lihat. Dengan tirai halus dan mengkilat, sofa empuk dan meja kokoh dengan ukiran dari kayu jati yang terkesan begitu elegan, dan sebuah ranjang besar berukuran king size berpelitur mengagumkan dengan warna keemasan.

Juga cermin rias yang begitu wah, lemari semua berbahan dari kayu jati.

Naya duduk ditepi ranjang mengamati setiap ruangan yang begitu menakjubkan. Memang sangatlah berbeda antara dirinya dan Han bagaikan langit dan bumi, Naya gugup saat suara derap langkah kaki makin mendekat. Naya memalingkan wajah hingga terdengar suaranya pelan di belakangnya. Naya tak berkutik apakah malam ini malam yang menakutkan baginya.

"Naya Maharani."

Naya terdiam dan menunduk.

"Aku sangat mencintai istriku Hani, tidak tahu bagaimana caranya Hani membujukmu untuk menikah denganku, tapi aku menikahimu hanya untuk membuatnya bahagia saja. Kau akan mendapatkan hak istimewa di rumah ini, tapi tidak untuk hatiku. Aku harap kau berbesar hati dan seiring berjalannya waktu kau akan memaafkanku." Lelaki itu kembali berjalan meninggalkan kamar yang telah dihias dengan indahnya ini.

Naya berbalik menatap punggungnya yang kian menjauh dari balik pintu. "Hina bukan bahkan di malam pernikahannya Naya tak diinginkan suami."

***

Satu minggu setelah pernikahan konyol itu Naya masih bekerja dan masuk siang, masih sama Naya belum pernah melihat lelaki itu yang telah bersetatus sebagai suaminya itu. Rumah yang besar dengan banyak asisten rumah tangga membuat Naya sedikit bingung. Bahkan kamarnya saja besarnya melebihi sepuluh kali lipat kontrakannya. Sore itu selesai menemui Deren, setelah operasi keadaannya makin membaik, Naya memeriksa beberapa pasien, selesai Naya kembali kembali ke ruangan kerja.

Tari mendekati Naya seraya berbisik.

"Gosipnya Dokter Seruni resign dari sini, Nay."

"Resign kenapa?" tanya Naya heran.

"Katanya sih gara-gara disuruh sama calon suaminya tuh, Dokter Galih. Kan sebentar lagi mereka menikah, Nay."

Naya tersenyum getir.

"Kamu kuat, dengar ini?" tanyanya.

"Mau gimana lagi anggap saja bukan jodohku, Tari."

Di tengah-tengan percakapan mereka, Ana datang, menyahut percakapan mereka. "Bukan resign. Hanya cuti. Aku iri deh mereka itu sungguh pasangan yang sempurna."

Naya sadar perkataan Ana begitu karena ia tak megetahui hubungan dirinya dengan Galih selama ini.

"Cuti?" tanya Tari tak percaya.

"Iya, karena mau menikah minggu depan katanya."

Tari menatap Naya dengan sorot mata yang sulit Naya tafsirkan. "Jangan pingsan ya, Nay." Bisiknya.

Naya menggeleng. "Tak ada gunaanya pingsan. Toh kami sudah selesai kan." Lirih Naya.

"Coba lihat ini undangan pernikahannya." Ana memperlihatkan undangan itu lengkap dengan foto prewedding membuat ulu hati Naya bergedik nyeri.

Naya menatapnya sekilas, sungguh pasangan yang serasi. Satunya anak dari pemilik rumah sakit ini dan satunya juga seorang dokter specialis THT muda yang kompeten juga. Ah bukankah itu sempurna. Apalah arti Naya yang hanya seorang perawat yang bahkan saat kuliah selalu menunggak banyak saat pembayaran. Beruntung Naya bisa bekerja disini sebelum lulus karena bantuan Galih merekomendasikan dirinya sehingga dengan mudah untuk Naya bisa bekerja sambil kuliah.

"Lihat calonnya Dokter Galih masih cantikan kamu sih, Nay." Jelas Tari memperlihatkan foto frewedding.

"Ya sih cantikan Naya, meskipun jarang pakai make up tetap cantik, tapi lebih beruntung Dokter Jihan ya gak sih. Mendapatkan Dokter Galih yang tampan itu." Jelas Ana menatap Naya seraya tersenyum.

"Sudahlah, jangan gosip terus." Sahut Tari.

"Eh ngomong-ngomong kalian berdua, tak diundang?"

Naya dan Tari saling tatap dan kemudian menatap Ana dan menggeleng bersamaan.

"Kok, padahal semuanya diundang, lo." Jelas Ana.

Naya sedikit syok, akhirnya Naya benar-benar kehilangan lelaki baik itu. Bayang-bayang itu tergambar kembali dalam lembaran ingatan, tak bisa dipungkiri jika Galih begitu manis. Galih terlalu sulit untuk menjadi nyata, nyatanya Naya kalah beradu dengan harapan. Sehingga Galih tercipta hanya sebagai ilusi yang tak henti menghantui.

***

Selesai pulang kerja tak lupa Naya menjenguk adiknya. Disana ada Mak Tini yang selalu setia menemani, beliau bekerja di rumah Naya sudah puluhan tahun sebelum Ayahnya meninggal.

"Mak pulang dulu saja biar, aku yang jagain Daren."

"Ngak usah Mbak, besok katanya Mas Daren sudah boleh pulang kok."

"Ya sudah."

"Bagaimana kabar kamu?" tanya Naya seraya tersenyum.

"Baik alhamdulillah, Mbak."

"Makan ya Mbak suapi."

Daren mengangguk. "Boleh."

Naya menangis bahagia, hampir dua minggu adiknya koma karena penyakitnya. Dan sekarang ia masih bisa melihat senyum itu lagi.

"Apa ada keluhan mungkin ada yang sakit?"

"Tidak, Mbak."

"Syukurlah."

Selesai Naya pamit pada adiknya. Dan saatnya Naya kembali pulang di rumah besar itu. Naya membelokkan kendaraan menuju komplek perumahan elite. Berhenti di sebuah rumah besar di sana, lalu masuk ke dalam. Sampai di sana Asisten rumah tangga menyambut dan membawakan makan malam.

"Non makan dulu. Tuan pesan jika Non Naya harus makan."

Naya tersenyum miring sok perhatian. "Taruh saja disitu, Mbak."

"Tuan pesan katanya aku harus pastikan makanan ini habis Non?"

"Tidak usah. Aku mandi dulu."

"Sudah saya siapkan handuk juga air hangatnya, Non."

Naya mengangguk. "Makasih, Mbak."

Selama seminggu wanita itu yang mengurus kebutuhan Naya, dari makanan pakaian dan semuanya. Entah mengapa Naya seperti masih gadis saja, lucu sekali sebuah pernikahan yang sakral layaknya sebuah drama. Dan dalangnya adalah Hani malah berlibur entah kemana. Naya mengguyur tubuhnya dengan air hangat, rasanya segar sekali. Menghilangkan penat setelah bekerja beberpa jam.

Selesai Naya menganti baju lalu Solat Isya selesai merebahkan tubuh, tanpa menyentuh makanan itu. Suara ketukan pintu membangunkan Naya, ia kaget karena jam sudah menunjukkan pukul lima pagi.

"Non sarapan dulu. Jangan membuat saya dimarahi sama, Tuan." Jelasnya.

Naya menatapnya tak tega. "Aku sudah telat, Mbak."

"Non."

"Ya baiklah." Naya meneguk segelas susu dan berjalan seraya memakan roti. Sampai di bawah aku melihat Hani yang sudah kembali dengan senyum diwajahnya.

"Nay."

"Maaf aku buru-buru, Han."

Dia tersenyum. "Ya sudah hati-hati. Nanti oleh-olehnya aku taruh dikamarmu."

"Ya."

"Nay sudah?"

"Apa?"

"Itu." Sebelah alis Hani terangkat.

"Apaan sih aku buru-buru, Han."

"Itu." Kedua tangan Hani menggambarkan dua orang sedang berciuman.

Naya menggelengkan kepala.

"What!"

"Tau ah aku kerja dulu keburu telat."

"Tapi Nay. Astaga maesk belom itu." Hani tak percaya dengan suami dan sababatnya itu.

Naya sudah berlari, berjalan menuju parkiran dan mengambil motornya.

"Nak Naya. Mama titip sesuatu boleh?" tanya wanita paruh baya itu.

Naya mengangguk meskipun ragu. "Apa, Ma?"

"File milik Raja ketinggalan sedangkan hari ini ada meeting, mau Mama antar sih tapi Mama sibuk."

"File?"

Wanita paruh baya yang masih begitu cantik itu tersenyum ke arah Naya. "Iya bantu Mama ya."

Naya mengangguk binggung, karena Naya hanya memiliki waktu setengah jam saja. "Emm baiklah ...."

"Gini deh, biar cepat, Pak Edi yang akan mengantarmu."

"Tapi, Ma."

"Ini filenya, Mama enggak mau tahu. Antar kalau enggak Raja sama Papanya nggak bisa meetingnya nanti."

Naya mengangguk pasrah. "Baiklah, Ma

Naya berangkat dulu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam, Hati-hati, Nak."

"Iya, Ma."

Naya berangkat diantar sama Pak Edi, Naya sedikit binggung karena sudah seminggu dirinya juga belom bertemu dengan suaminya itu. Naya hanya bisa tertawa saat pertama kali datang di rumah mewah itu dan ditolak mentah-mentah oleh lelaki yang bernama Raja itu.

Mobil bergerak di depan kontar perusahaan besar. Naya turun disambut oleh Satpam. Mau tidak mau suka tidak suka dialah suaminya.

Naya harus buru-buru karena waktunya tak banyak. Wanita yang mengantarkan Naya itu menunjuk dimana acara meeting berada, sepertinya akan segera di mulai. Naya mengetuk pintu. Semua orang menoleh ke arahnya, Naya hanya menunduk menunggu ada orang yang akan bertanya padaku.

"Siapa?" Suara dari dalam membuat dada Naya kian bertendak tak karuan.

"Tuan Raja."

Hening, hanya tatapan mereka yang terus mengimidasi Naya.

"Ya, saya. Anda siapa?"

Naya mendongak menatap ke arah suara.

Naya memalingkan muka, lalu tertawa. Oh itu rupanya orangnya suaminya, tapi entah kenapa mendengar langsung dari mulutnya, malah menimbulkan rasa nyeri yang sulit Naya mengerti.

"Saya Naya," jawabnya terbata.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status