Share

Terpaksa menikah

"Naya, Deren butuh dioperasi secepatnya, sudahlah kasihan dia."

Naya pasrah keluar melihat adiknya. Mesin ventilator memompa oksigen, menggantikan fungsi pernapasan yang terhenti, karena pengaruh penyakitnya telah membuatnya tidak sadar dan lumpuh seluruh otot pernapasan. Suara dari layar monitor meramaikan suasana yang cukup tegang. Deren baru berhenti kejangnya setelah ditangani oleh Dokter Angga.

Sepuluh menit kemudian, Naya hanya duduk di depan ruang operasi.

"Ya Allah, berikan aku kekuatan!"

Naya melangkah cepat ke depan kamar operasi. Melihat meja resusitasi sudah dihangatkan dengan lampu yang menyala terang di atasnya. Meja itu ditutupi dua lembar kain berbahan. Cemas dan tegang saat melihat wajah Daren benar-benar nyata terlihat. Kemudian Naya keluar karena operasi akan; segera dimulai.

"Naya."

Tangis yang bisa Naya redam, nyatanya tak mampu ia tahan. Naya tersedu, mengeluarkan sakit yang teramat pedih di dalam dada. Dan memeluk tubuh wanita yang selama ini ada untuknya, Hani.

"Sabar, Nay."

Naya menganggukkan kepala tanpa bicara.

"Maaf, apa tawaranku sudah kau pikirkan, Nay?"

Namun, sakit itu masih tertanam dan mungkin tidak akan pernah hilang.

"Kamu hanya punya dua pilihan. Menerima tawaranku atau membayar utangmu padaku yang tak jumlahnya sedikit."

"Apa kau puas, menjebakku diantara kalian?"

"Percayalah, semua akan membaik, Nay."

Astaga apa ini lelucon. Naya bahkan belum pernah melihat wajah suami sahabatnya itu. Tak sedikitpun Hani memberi Naya celah untuk membela diri. Naya kesal pada Hani yang telah menjadikannya calon madunya. Kadang Naya merasa muak atas kebaikannya. Seolah dirinyalah seseorang yang harus menanggung beban menjadi seorang madu yang bahkan tak pernah terbesit dalam benak atau dalam mimpi sekalipun.

Ya itu dulu mereka begitu manis sebagai sahabat yang saling mendukung satu sama lain. Sebelum permintaan konyol Hani dan ancamannya pada Naya seperti sekarang ini.

Tangan Naya gemetaran gugup yang ia rasakan saat ini. Salah satu kebiasaan Naya kalau sedang gugup. Sementara itu, operasi Daren juga belom selesai.

"Tananglah, Nay."

Entahlah. Naya juga tak tahu kenapa memutuskan untuk menerima tawaran Hani sahabatnya itu. Bukankah keputusannya salah, namun itu satu-satunya keputusan yang bijak agar asiknya tetap bisa hidup. Jadi, mungkin ini sudah takdirnya.

"Ini minumlah, teh hangat akan menghangatkan tubuhmu."

"Ya trima kasih, Han."

Tiga puluh menit berlalu dan dokter dengan jas sneli itu sudah keluar dari ruangan operasi.

"Bagaimana Dokter Angga?"

"Berhasil. Alhamdulillah. Daren masih dalam masa observasi pascaoperasi. Tapi keadaannya sudah stabil. Operasinya juga berhasil."

Raut wajah Naya tampak lega. "Syukurlah kalau begitu. Terima kasih, Dok."

"Sama-sama Nay."

Naya mengangguk lalu mengusap wajah yang pasti tampak begitu berantakan sekarang.

"Alhamdulillah berhasil, Han."

Naya memeluk sahabatnya itu.

"Syukur Alhamdulillah. Kamu makan dulu yuk."

Naya menggelengkan kepala.

Hani merengut lalu menghela napas. "Kamu harus makan. Beberapa jam kamu belom makan karena khawatir. Lagian juga operasinya berhasil, kan."

Naya meringis. "Saking paniknya, aku sampai nggak merasa lapar tadi."

"Kalau begitu, ayo makan dulu. Setelah itu aku antar kamu pulang."

"Eh, aku masih harus kerja."

Hani tersenyum. "Ya sekarang makanlah."

Lagi pula, Naya juga sudah merasa lapar. Ternyata cemas dan menangis juga cukup menyita tenaga. Naya lalu makan bersama Hani di kantin Rumah Sakit.

"Terima kasih, Han."

"Iya."

Gelombang panas terasa menjalari pipi Naya. Buru-buru, Naya ingat jika ia harus menikahi paksa suami sahabatnya itu.

"Momen ini benar-benar mengesankan buatku, lho. Aku bahkan sampai gak tahu harus ngomong apa. Tapi."

Senyum Hani justru melebar. "Jangan dibahas lagi. Itu sekarang fokus urus Daren soal itu nanti menyusul."

"Tapi buatku itu beban. Justru akan jadi beban karena harus balas budi."

"Nay jangan begitu."

Naya hanya bisa mendesah pasrah. "Okelah. Terserah kamu aja."

Hani mengangguk dengan wajah tampak puas. Hani kemudian melambai ke arah meja pelayan. Tak lama kemudian, membayar makanannya.

"Naya." Hani memanggil Naya di saat mereka tengah menikmati minuman jus masing-masing.

"Kenapa?" tanyanya ketika Hani tak segera lanjut berbicara, padahal dia terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu.

Wanita itu tersenyum. Tak langsung membuka suara, dia justru mengangkat jusnya sebelum kemudian menyesap isinya secara perlahan. Baru setelah dia meletakkan kembali gelas itu di meja, Hani menatap Naya dengan serius.

"Aku rasa ini cukup adil." Hani melanjutkan. "Aku menginginkan anak dari rahimu hanya kamu aku tak mau yang lain."

Pandangan Naya tiba-tiba berkabut. Seperti ada partikel kecil yang memaksa masuk hingga membuat mata terasa perih. Namun, Naya masih bisa menatap senyum tulus Hani sahabatnya itu.

***

Naya terlihat lemas meskipun bersyukur jika adiknya sudah siuman dan sudah bisa bicara dengannya. Saat Naya mau menstarter motor terhalang mobil yang sangat sangat Naya kenali, ya itu mobil Galih, untuk apa dia kemari? Naya menatap sekeliling, takut orang-orang membicaraknnya.

"Bisa bicara sebentar?"

"Aku mau lelah mau pulang, Mas."

"Aku minta maaf, aku memang salah. Aku mengakui kesalahanku. Tolong maafkan aku, Nay." ucap Galih kemudian.

"Iya, di maafkan."

"Kita mulai lagi dari awal lagi?"

"Itu tidak mungkin. Apalagi calon istrimu, seorang Dokter. Itu yang bisa membuat Mamamu senang bukan. Jadi lupakan tentang kita."

"Nay."

"Kapan menikah, dengan Dokter Seruni?"

"Tolong jangan dibahas lagi, aku tak suka dengannya aku hanya mencintaimu, Naya."

Naya menggelengkan kepala.

"Pertanyaan aku apa bisa kamu memberontak dan menentang keluargamu? Aku rasa tidak."

Galih terdiam.

"Aku rasa kamu tak pernah memperjuangkan cinta kita. Jadi semuanya sudah selesai, dan biarkan aku pergi."

Galih kembali mengusap wajahnya dengan gusar. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan.

"Tapi, Naya aku tak bisa melupakanmu."

Naya memejamkan mata menikmati angin sore yang begitu menyesakkan dada. Saat ini dada Naya sakitnya luar biasa.

"Maaf. Aku mau pulang dan istirahat."

"Aku mencintaimu, Naya." Lagi-lagi kata itu yang keluar dari bibir laki-laki yang berdiri dihadapan sepeda motornya.

Naya melengos. Menatap para pekerja di parkiran yang menatap ke arah mereka berdua. Lalu Naya menstarter motor memilih pergi untuk bisa melampiaskan rasa sakit yang teramat pedih. Motor terus berjalan, tapi air mata terus menggenang menutupi pandangan. Segera Naya menghapusnya. Tak ada gunanya juga menangisi Gilang tak yang tak pernah memperjuangkannya.

***

Satu minggu setelahnya. Naya hanya diam, tak berkutik menatap cermin, ada seorang MUA yang meriasnya. Dengan kebaya bruklat putih tulang telah melekat ditubuh. Ya begitulah Naya bagaikan di neraka saat ini. Menjadi pengantin yang tak semestinya.

"Kau sangat cantik, Nay."

Naya hanya diam.

"Kau tahu. Aku sadar bahwa kau sangat berarti bagiku. Kamu penyelamatku."

"Jangan bercanda. Aku tahu kau sedih, mana ada wanita tega menikahkan suaminya," ucap Naya diikuti helaan napas panjang.

Hani memalingkan wajahnya. "Aku. Tenanglah aku tak sedih."

"Mana bisa begitu kau memang wanita gila. Aku tahu hati kamu pasti hancur."

"Tidak biasa saja. Tapi aku bisa membuatmu melupakan lelaki egois itu." Ejeknya.

"Kamu tidak sedang bercanda, kan? Sudahlah aku muak mendengarnya."

Hani tersenyum mendengarnya. Dan memeluknya, Naya yakin dalam hati Hani ia menangis karena ia telah berbagi suami padanya.

"Kau tak lupa janjimu, kan. Kalau aku tetap diperbolehkan bekerja. Itu satu-satunya yang bisa membuat hatiku gembira."

"Iya. Aku berjanji."

Hani menjanjikan komitmen yang dibalut kesepakatan pernikahan. Membuat tubuhnya seolah lemah. Naya berjalan dan duduk di samping dari calon mempelai lelaki itu. Laki-laki itu menggenggam erat tangan istrinya Hani.

"Bisa kita mulai?" Pak penghulu bertanya dan diiyakan oleh keluarga mempelai laki-laki juga Hani.

Naya masih di sini, di ruangan sama, bahkan Naya belum pernah melihat wajah lelaki itu seperti apa? Ah gila rasanya. Disaksikan anggota keluarga mertua Hani, pastinya pernikahan ini sah di mata hukum dan agama. Hani tangannya begitu dingin menatap Naya sejenak, kemudian mendengar prosesi akad nikah dengan hikmat.

"Saya terima nikah dan kawinnya Naya Maharai ... dengan maskawin tersebut. Dibayar tunai!"

"Bagaimana saksi?"

"Sah!"

Mungkin ini adalah awal penderitaan Naya, namun semuanya demi keselamatan adiknya Daren. Naya rela melakukannya. Acara pernikahan sederhana telah selesai, Naya diantarkan ke kamar oleh Hani. Naya sedikit kaget karena kamarnya seluas kamarnya di rumah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status