Share

Rahim Pengganti CEO Arogan
Rahim Pengganti CEO Arogan
Author: Purwa ningsih

Menolak

"Akan aku beri kau uang, asal kau mau menikah dengan suamiku." Jelasnya membuat kedua netra Naya melotot kaget.

"Apa? mana ada seorang istri meminta wanita lain untuk dijadikan istri Hana jangan ngada-ngada deh."

Hani terdiam dan Naya tak percaya dengan apa yang di ucapakan sahabatnya itu.

"Naya please."

"Kamu gila Han. Sudahlah aku kerja lagi saja." Naya menyunggingkan senyum, tangannya menarik tas dari atas meja lalu meninggalkan wanita yang aneh menurut Naya.

"Naya Maharani, kumohon. Apa menurutmu, persahabatan kita ini persahabatan biasa? Tidak kan, bahkan aku sangat menyayangimu."

Naya tersenyum miring dan berbalik kembali duduk. Mungkin saja langit akan tertawa mendengar ucapan Hani saat itu.

"Salah sudah pasti ini salah. Karena tak seharusnya kamu menyimpan nama lain untuk suamimu, dan itu adalah namamu sendiri bukan nama orang lain, Han."

"Nay, kumohon. Setidaknya biarkan aku bahagia."

Naya mendapati Hani begitu tertekan, Naya melihat dan merasakan kepahitan dalam suara sahabatnya itu, juga sepasang netra yang meredup. Perempuan itu sesaat berkaca-kaca.

"Jujur aku memang tak sebaik dan soleha sepertimu. Tapi aku tidak akan merampas laki-laki itu darimu apalagi kamu sahabatku sendiri, Hani."

"Naya ...."

"Aku tak mau titik," kesal Naya.

"Aku hanya ingin, suamiku mempunyai keturunan seorang anak darimu."

Kepala Naya mendadak berat.

Naya menggeleng kuat. "Tidak. Bukan seperti itu. Aku hanya tidak tahu cara berpikirmu, Han."

Naya memegang gelas lalu meneguknya. Berharap jika Hani akan kembali waras.

Dia masih membisu. Matanya melihat Naya dengan raut wajah sendu. Netra itu memerah seiring dengan kening yang mengkerut menyimpan pemikiran yang mungkin tidak selaras dengan hatinya. Entahlah bahkan Naya tak bisa berpikir lagi saat itu.

"Aku tahu kau butuh banyak uang untuk pengobatan adikmu. Kami akan membiayai operasinya dan tambahan rumah lengkap dengan isinya juga tabungan, satu Milayar bagaimana?"

Naya menelan saliva yang terasa begitu pahit. "Jadi kau akan membeliku. Dengan uangmu? Bagaimana jika aku jatuh cinta pada suamimu bukankah itu akan sangat bahaya, hah."

"Ada perjanjiannya Nay."

Ucapan Hani terpotong ia melihat ke arah Naya, Naya melirik Hani yang kini wajahnya terlihat semakin memucat.

"Perjanjian jika aku dan suamimu tak boleh saling jatuh cinta?" tanya Naya dengan nada menyindir.

Hani terdiam.

"Astaghfirullah, kau benar-benar tidak waras, Hani." Jelas Naya.

Hani mengembuskan napas kasar. Dia mengusap wajah, lalu memandang Naya lagi. "Iya, itupun aku iklas jika kau yang jadi maduku."

"Satu tahun, dua tahun, atau selamanya?" tanya Naya menahan panas dalam dada.

Mulut Hani tertutup rapat. Hanya matanya yang memandang, tapi isi pikirannya melayang entah ke mana. "Setelah bayi itu lahir, Naya."

Lagi, Naya tersenyum miring. "Aku, akan bekerja lagi. Jam istirahatku sudah habis."

"Kumohon pikirkan lagi. Aku butuh bantuanmu, selamatkan pernikahanku, dan berikan aku seorang anak dari rahimmu bukan dari wanita lain, Nay."

Naya terdiam dan pergi meninggalkan Hani dengan amarah. Jika harus jujur, hatinya seperti disayat saat mendengar cerita Hani yang tidak juga hamil. Yang aku dengar jika suami Hani dari keluarga kaya raya yang sayangnya menikahi seorang wanita yang tak bisa memberikan keturunan. Segala cara Hani lakukan agar punya seorang anak yang sudah keluarga mereka dambakan sejak lama.

Terlebih saat ini memang benar adanya Naya begitu gelisah saat mendengar kata penolakan dari keluarga Galih yang terang-terangan menolak Naya dan menjodohkannya dengan wanita pilihan keluarganya. Dan pada saat yang sama, adiknya membutuhkan biaya yang sangat mahal. Dan gaji Naya satu tahun pun tak akan cukup untuk biaya operasi adiknya itu.

"Apa ada seorang gadis dibayar mahal untuk memberikan anak dengan jaminan uang setelah anak itu lahir aku akan dicampakkan. Astaga tawaran macam apa itu?" Bisik Naya sedih.

***

Naya duduk memeriksa laporannya, ia bekerja sebagai perawat sebuah Rumah Sakit.

"Nay. Pasien nomor 108 saatnya ganti infus." Ucapan Tata menyadarkan Naya dari lamunan.

"Ohya?"

"Ibunya minta, jika kamu yang harus ganti."

Naya tersenyum. "Masa sih?"

"Iya."

Naya mengangguk mengiyakan, membawa peralatan dan masuk ke dalam kamar inab itu. Lalu mengganti dengan infus yang baru.

"Bagaimana, sudah membaik? Apa ada keluhan lainnya, Bu?"

Wanita paruh baya itu menggeleng. "Tidak ada, Suster."

"Syukurlah, tensinya juga sudah normal. InsyaAllah jika tidak ada keluhan mungkin bisa pulang nunggu Dokter Bima dulu ya Bu" Jelas Naya.

"Alhamdulillah."

"Baiklah, saya permisi. Cepat sembuh Bu."

"Terima kasih. Selama ini merawat Ibu dengan baik."

Naya melengkungkan senyum. "Sama-sama, Bu."

Setelah selesai tugasnya bekerja hari ini, diruangan yang berbeda Naya menjenguk adiknya yang sakit karena kangker. Adiknya itu tertidur, Naya meraih tangannya dan berharap ada keajaiban jika adiknya bisa kembali membuka mata. Namun sia-sia sudah dua minggu Daren koma dan tak bisa membuka mata.

***

Naya berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju ke area parkir. Semburat senja yang menguning di ufuk kulon terbingkai indah di balik spion motornya. Naya mengemukakan sepeda motornya dengan kecepatan pelan. Memasuki gerbang kontrakan, disana Naya berpapasan dengan penghuni kontrakan lainnya yang juga seorang wanita. Mereka menyapa hangat, kebanyakan mereka begitu baik pada Naya.

Peninggalan kedua orang tuanya adalah tiga buah kamar kontrakan, yang sampai saat ini masih bisa buat membantu kebutuhan Naya dan adiknya. Naya masuk segera mandi dan merebahkan tubuh diatas kasur. Rasanya Naya begitu lelah dengan ujian yang kini begitu dekat dengannya. Lelah Naya begitu lelah dengan semuanya tidak sanggup untuk memperlihatkan keadaan itu pada orang lain. Biarlah, biarkan Naya yang menanggung sendiri hingga sesak didada sedikit mereda. Tubuhnya semakin lemah, kini ia meringkuk di pembaringan, tak lama kepalanya terasa begitu berat dan ia terlelap.

Pagi tampak begitu cerah, Naya kembali bekerja menuntun sepeda motor keluar dari parkiran yang sengaja di sediakan di kontrakan. Naya berpapasan dengan Sheren gadia dari jawa yang mengontrak ditempatnya, gadis itu bekerja di sebuah pabrik.

"Mbak Nay. Masuk kerja pagi kah?"

Naya mengangguk pelan. "Iya."

"Gimana kabarnya, Daren?" tanyanya.

Naya menaikkan bahu. "Masih belum ada tanda-tanda membaik, Sher."

"Oh, yang sabar ya, Mbak. Aku duluan ya, takut telat."

"Iya hati-hati."

Sheren tersenyum. "Mbak juga ya."

Sampai di rumah sakit dan memperkirakan motornya Naya berjalan ke arah ruangannya lalu duduk memeriksa apa yang harus di kerjakan.

"Nay, dipanggil, Dokter Angga." Sesaat, suara perawat lainnya menghentikan goresan pena Naya pada lembar kertas.

"Astaga, ada apa dengan Daren?"

"Ada apa ya, Tar?" tanya Naya begitu takut akan kehilangan adiknya.

"Entahlah semoga adikmu baik-baik saja, cepatlah kesana. Biar kerjaan kamu aku yang handle."

"Baiklah. Makasih ya, Tar."

"Sama-sama Nay."

Dengan tergesa, setengah berlari, Naya melangkah ke ruang inab Daren sambil melempar senyum kepada para orang tua dan anak-anak yang setia di ruang tunggu. Melihat asiknya masih bernapas membuat Naya lega.

"Perjuanganmu masih panjang, Dek. Semoga kamu kuat ya. Kalak disini bersamu."Naya membisikkan doa sambil mengusap lembut dahinya dan mengenggam jari-jari adiknya.

Segera ia berjalan ke arah ruangan sampai di kamar paling ujung di lantai satu, Naya masuk dan menemui Dokter Angga. mendorong pintu masuk ruangan Dokter Angga. Rasa dingin menyergap dari pendingin ruangan. Beberapa orang dengan seragam kamar operasi berwarna hijau polos berlalu-lalang. Naya menatap tumpukan map hijau di ujung meja, dada Naya tak berhenti berdebar. Ia meneguk air mineral di gelas. Mencoba menghilangkan rasa nervous yang makin menjadi.

"Pagi Dok."

"Pagi juga. Naya, kita harus lakukan operasi secepatnya."

Tubuh Naya mendadak lemas seiring dengan air mata yang luruh tak terkendali. Naya memukul dada, mencengkram baju bagian dada yang teramat sangat sesak ini. Dokter Angga bilang jika Deren harus segera dioperasi karena jika tidak penyakit tumornya akan menyebar.

"Tadi dia kejang, dan ini kesempatan teratir takutnya akar penyakitnya akan meluas bila tidak segera dioperasi. Komplikasi lanjutan karena tekanan memperburuk kondisinya. Tapi biayanya akan sangat mahal, Naya."

"Tolong selamatkan adik saya, Dok. Lakukan apa pun yang perlu." Ia memohon dengan suara serak karena menahan tangis.

"InsyaaAllah, Naya. Kami akan lakukan semampu kami, tolong bantu dengan doa. Sekarang, kamu urus biaya administrasinya. Setelah selesai baru kami tangani adikmu. Saya lakukan tugas saya dulu, ya."

"Apa tidak ada keringanan juga memotong gaji saya setiap bukannya, Dok?"

"Saya mengerti tapi ini prosedurnya Naya. Coba biacara sama bagian administrasi ya."

"Baik. Dok."

"Lakukan operasinya sekarang juga, aku yang akan mengurus semua biaya operasinya, Dok." Jelas Hani yang tiba-tiba datang.

Dokter Angga mengangguk mengiyakan.

Naya menatap ke arah tak terima. "Han."

Naya gemetae apa benar ia akan segera menyetujui permintaan sahabatnya itu menjual raminnya juga kegadisannya yang selama ini Naya jaga. Secara dia yang membiaya semua keperluan Daren operasi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status