Share

Part 2 : Ramalan

"Yang Mulia, kita sudah masuk ke perbatasan Axiandra."

Mataku mengerjap saat kusir di depan bersuara. Kulihat hari sudah senja dengan cahaya keemasan di ufuk barat. Aku menguap sejenak dan meregangkan tubuh setelah beberapa jam tertidur di kereta. Punggungku sedikit pegal karena terlalu lama tidur dalam posisi duduk dan meringkuk.

Kulempar pandangan ke luar jendela. Peristiwa saat bertemu Putri Zora sedikit melekat dalam ingatan dan membuatku tak habis pikir, tapi aku berusaha mengabaikannya.

Sebuah monumen besar kini terpampang di hadapanku dengan keramaian kota yang sangat padat. Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Axiandra, kerajaan terjauh dari Vainea. Aroma kayu manis menguar dari salah satu kedai, juga—aroma biskuit jahe. Memberi kesan hangat pada bangunan unik itu.

Axiandra, salah satu kerajaan besar dengan wilayah yang luas membuat perjalananku semakin terasa lama. Hingga akhirnya, aku sampai di Royale Academy pada malam harinya.

Kedatanganku langsung disambut oleh petugas di sana dan beberapa orang sudah membawakan berang-barangku.

"Selamat datang," sapanya saat aku sampai di aula. "Silakan tunjukkan undangan Anda dan identitas Anda."

Aku menyodorkan undangan pada salah satu petugas administrasi serta beberapa berkas yang diminta.

"Kamar Anda sudah kami siapkan di asrama 'Pangeran'. Silakan mengikuti petunjuk yang ada di sini," ujarnya sambil menyodorkan perkamen berisi sebuah peta. "Di sana Anda akan ditempatkan bersama pangeran dari kerajaan lain."

"Terima kasih."

"Dan ini buku pedoman Anda yang berisi beberapa aturan yang harus ditaati selama berada di Royale Academy." Kini ia menyodorkan sebuah buku berukuran sedang. "Mohon untuk dipelajari dan pahami."

"Baik, terima kasih."

Aku langsung berjalan mengikuti peta hingga akhirnya, aku sampai di sebuah mansion besar. Ya, asrama Pangeran.

Katanya, di tempat ini semua pangeran akan dianggap sama, termasuk pangeran dari keturunan adipati dan bangsawan tingkat menengah. Dengan kata lain, aku harus berbaur dengan yang lain karena status putra mahkota tak berlaku di sini.

Di sana juga sudah ada petugas yang menyambutku dan menjelaskan seluk beluk ruangan yang akan kutempati.

Lorong mansion benar-benar sepi meski ada beberapa yang berlalu lalang dan kini, aku tiba di depan pintu besar yang menunjukkan ruangan luas di dalamnya.

Aroma kayu menguar saat aku memasukinya. Semua peralatan dan perabot masih terlihat baru dengan dominasi warna kuning keemasan yang memberi kesan mewah.

Dalam ruangan ini semua fasilitas begitu lengkap, dari balkon yang menampakkan pemandangan yang menawan, perapian, ruang makan yang hanya di isi meja panjang dengan dua kursi, perpusatakaan, juga—dua kamar.

"Kamar Anda ada di sebelah sini, Yang Mulia."

Aku digiring ke sebuah ruangan yang rapi. Meski tak semewah kamarku di istana, tapi aku menyukai tata letak dan dekorasinya. Posisinya begitu strategis untuk melihat pemandangan air terjun di luar sana yang nampak gelap di malam hari.

"Mungkin ... ada yang ingin Anda tanyakan mengenai ruangan ini, Yang Mulia?"

"Cukup," jawabku termanggut. "Sisanya akan saya pelajari di peta."

"Kalau begitu, saya pamit undur diri, Yang Mulia."

"Terima kasih untuk penjelasannya malam ini."

"Selamat malam dan selamat beristirahat."

Aku mulai merapikan barang bawaanku di rak dan laci, kemudian memasukkan pakaianku ke dalam lemari.

"Selamat datang, Penghuni baru."

Aku menghentikan aktivitasku sejenak saat ada sosok lain yang menyapa. Kulihat sosok pria yang terlihat seumuran denganku tengah berdiri dengan menyandarkan punggung di ambang pintu. Ia tersenyum sejenak dan masuk, lalu duduk di meja.

"Terima kasih untuk kalimat sambutannya," sahutku.

"Namaku Henry, pangeran dari Axiandra," ujarnya memperkenalkan diri. "Jadi ... kau putra mahkota Vainea yang menempati tiga besar pangeran dengan popularitas tertinggi? Jujur, aku kagum dengan pencapaianmu."

Aku menghela napas. "Aku bahkan tidak tahu kalau posisiku ada di tiga besar. Aku tak pernah memikirkan tentang hal itu."

Ia mendengkus tertawa dan menuang teh yang sudah tersedia, lalu meneguknya. "Ternyata kau memang seperti rumornya. Namamu selalu dielukan banyak orang, tapi kau tak peduli dengan semua itu. Persis mendiang ayahmu yang berhati dingin."

"Cara bicaramu seolah-olah telah mengenal lama mendiang ayahku," cibirku tersenyum miring.

"Tapi begitulah faktanya. Popularitasmu bahkan lebih unggul dibanding beliau, tapi kau seperti tak membutuhkan semua itu."

Aku mendengkus tersenyum. "Karena yang kubutuhkan bukan itu. Ada beberapa hal yang harus kuprioritaskan."

"Ah, putra mahkota memang pola pikirnya berbeda dibanding pangeran biasa, ya? Bicaramu terdengar seperti penguasa yang sedang berkampanye," ujarnya. "Oh, kudengar kau hanya di sini selama setahun karena tahun depan kau akan diangkat sebagai raja, 'kan? Sepertinya ... itu tanggung jawab yang berat."

"Ya, begitulah," sahutku, sembari memasukkan buku terakhirku ke dalam rak. "Memang berat tapi mau bagaimana lagi. Tak pernah ada pilihan untuk pewaris tunggal sepertiku."

"Sebenarnya kau sangat beruntung, Rein. Kau lahir dari kerajaan Vainea, dimana penguasa mereka memliki kesetiaan tinggi terhadap pasangan." Henry turun dari meja dan kini pindah posisi duduk di jendela.

"Meski diperbolehkan memiliki selir, tapi kebanyakan raja atau pangeran dari Vainea pasti lebih memilih untuk tetap bertahan terhadap satu pasangan. Jadi kau takan kerepotan harus berebut takhta dengan pangeran yang lahir dari para selir. Nyawamu juga terjamin karena kau putra tunggal," lanjutnya.

"Apa kau sedang membicarakan kondisi di Axiandra?" tanyaku setelah tahu arah pembicaraan ini.

Ia terkekeh sejenak. "Wah, putra mahkota otaknya memang beda, bisa langsung menebak padahal hanya obrolan ringan seperti ini."

Aku mendengkus tertawa mendengarnya terus membandingkan kedudukanku. "Orang awam pun tahu kau sedang membicarakan masalah yang terjadi di lingkunganmu. Lagi pula ... kau bukan putra mahkota, 'kan? Kau tidak perlu mengkhawatirkan nyawamu akan terancam."

"Ya, aku tahu. Tapi putra mahkota Axiandra adalah kakakku," sahutnya dengan nada rendah. "Setiap hari aku melihatnya dikelilingi oleh bahaya dan ... yah, aku tak bisa membayangkan jika berada di posisinya."

"Aku cukup mengerti masalah pelik seperti itu. Tapi aku yakin kakakmu sudah menyiapkan beberapa hal untuk menghadapi itu semua. Dan pastinya, beliau sudah memperhitungkan semuanya saat ia dinobatkan sebagai putra mahkota."

"Ah, ternyata kalian sedang membicarakanku?"

Kami berdua langsung menoleh ke arah sumber suara yang kini menampakan sosok pria yang mungkin umurnya lebih tua dariku.

"Kakak?"

"Aku datang kemari karena penasaran pangeran mana yang akan seruangan dengan adikku. Ternyata pangeran dari Vainea." Ia tersenyum miring. "Lama tidak bertemu, Rein."

"Ya, lama sekali sejak kita bertemu pertama kali di Axylon, Vincent."

Ia tersenyum dan kami saling merangkul satu sama lain. "Pertemuan yang tak disengaja. Untuk pertama kalinya aku bertemu pangeran yang sama denganku. Kau tahu? Itu sangat menyenangkan."

"Ya, aku bahkan masih ingat bagaimana wajahmu membeku saat melihatku."

Ia tertawa sejenak. "Aku juga masih ingat bagaimana tubuhmu membatu."

"Kalian ... saling kenal?" tanya Henry yang nampak syok. "Wah, kebetulan sekali. Kita jadi bisa sering berkumpul di sini."

"Ya, kapan lagi kita bisa bertemu di luar acara resmi begini. Sekolah memang menyenangkan."

* * *

Hari ini aku tertarik untuk mendatangi air terjun yang menjadi pemandangan utama di jendela kamar. Pepohonan yang rimbun membuatku penasaran dengan keindahan di bawah sana.

Ya, ini adalah hari terakhir sebelum hari belajar di mulai.

Aku sudah membayangkan bagaimana nyenyaknya tidurku di bawah pohon itu. Suara air terjun yang bergemuruh mungkin bisa membuatku tenang dengan nuansa yang berbeda. Seharusnya, tempat itu tak terlalu jauh dari tempat ini.

Kakiku melangkah dengan antusias melalui pintu belakang mansion, karena jaraknya lebih dekat lewat taman belakang. Aku mencoba untuk mencari celah dari pagar dan—ya, akhirnya aku menemukan salah satu tembok yang sedikit rendah sehingga aku bisa melompat keluar.

Semangatku kini berubah pupus saat aku membaca papan yang bertuliskan 'WILAYAH TERLARANG'. Aku tidak tahu kenapa tempat seindah ini menjadi wilayah terlarang, padahal aku benar-benar ingin menjamah hutan rimbun di hadapanku dan melihat air terjun itu dari dekat.

"Sedang apa kau di sini, Rein?"

Aku menoleh saat Henry bertanya. "Tadinya aku ingin ke air terjun itu. Tapi ternyata ini wilayah terlarang."

"Ya, sayang sekali," desahnya yang juga kecewa. "Tapi sebaiknya jangan kita langgar aturan di sini. Jika ini dianggap wilayah terlarang, berarti memang ada sesuatu di dalamnya."

"Apa kau mengetahui sesuatu di dalam sana?" tanyaku ingin tahu.

Ia menggeleng. "Aku tidak tahu apa yang ada di dalam hutan itu, tapi ... di Axiandra memang banyak wilayah terlarang karena biasanya bersifat sakral dan tak boleh sembarang orang bisa menjejakkan kaki di area-area itu atau ... bisa saja dianggap terlarang karena ada peristiwa membahayakan di wilayah itu."

Aku hanya termanggut dengan penjelasannya. Mau bagaimana pun, Henry adalah orang Axiandra. Ia yang lebih tau seluk beluk wilayah ini meski tidak semuanya.

"Bagaimana kalau kita bepergian? Ini 'kan hari terakhir sebelum hari belajar dimulai," ajaknya.

"Ya, boleh," sahutku antusias. "Lagi pula ini pertama kalinya aku tinggal di Axiandra. Kuharap kau mau menunjukkan hal-hal menarik dari tempat ini."

Hari ini pun, kami memutuskan untuk keluar dari mansion dengan berkuda. Kami hanya berkeliling ke beberapa kota terdekat saja untuk mempersingkat waktu.

Sepanjang jalan, Henry memberitahu banyak hal terkait museum, monumen, dan tempat-tempat bersejarah lainnya. Dia seperti buku ensiklopedi berjalan saat kami menjelajahi seluk beluk kota. Hingga akhirnya saat tiba makan siang, ia memperkenalkan sebuah kedai sederhana, tapi dengan menu yang katanya enak.

Dia bilang, meski ini bukan tempat makan para bangsawan, tapi dia sangat menyukai tempat ini. Juga, menunya yang tak bisa ia jumpai di tempat makan mewah. Lalu sejak saat itu, ia selalu memfavoritkan tempat ini bersama Vincent.

Awalnya ia ragu untuk mengajakku, takut aku akan tersinggung. Namun, jika menunya seenak yang ia katakan, kenapa tidak?

"Jika menurutmu itu tempat makan terbaik, tidak masalah. Sesekali kita mencoba menu yang berbeda, 'kan?" ujarku, berjalan lebih dulu ke arah bangunan itu.

"Ah, kupikir kau akan marah karena kuajak ke tempat seperti ini," sahutnya lega.

Beruntung, kami keluar dengan menyamar sehingga tak ada yang tahu identitas kami. Paling mereka hanya mengira bahwa kami hanya bangsawan kelas menengah.

Ternyata benar, makanan di sini memiliki rasa enak yang unik. Untuk pertama kalinya aku menikmati hidangan kelas menengah kebawah yang sialnya, tak pernah kujumpai dalam hidangan kelas menengah ke atas.

Aku jadi berpikir, apa di Vainea juga menyediakan makanan seperti ini di resto menengah ke bawah? Sepertinya aku harus menambah wawasan kuliner di kerajaanku, termasuk tempat makan para masyarakat menengah ke bawah.

Ya, saat aku kembali ke Vainea, aku harus mencobanya satu persatu.

Seusai makan, kami memutuskan untuk kembali ke asrama. Ditambah, aku sudah mulai mengantuk. Namun, dalam perjalanan kami melihat kakek tua dengan pakaian kumuh, meringkuk di sudut jalanan yang paling sepi.

"Bukan kerajaan besar kalau tidak ada pengemis," gumam Henry, lalu menatapku. "Aku akan ke sana sebentar, kau mau ikut?"

Aku mengangguk. "Ya, kemiskinan adalah masalah yang tak bisa dihindari. Meski kerajaan itu kaya raya, pasti pemandangan seperti ini memang akan selalu terlihat," sahutku, mengingat Vainea di masa lalu.

Namun, berkat upaya kedua orang tuanku, para gelandangan jadi jarang terlihat di jalanan. Kejahatan dalam perbudakan juga mulai berkurang. Begitu tahu ada budak yang diperlakukan kejam, mendiang ibuku biasanya akan membebaskan budak itu dan memberinya uang untuk modal.

Aku bahkan pernah melihat bagaimana ibu mengancam mantan budak itu. Jika uang pemberiannya tidak bisa memperbaiki kehidupan orang itu, maka beliau akan menganggapnya sebagai hutang dan akan memasukkannya ke penjara jika tidak melunasinya.

Yang artinya, tidak boleh ada kemalasan dalam berjuang memperbaiki hidup secara materi dan keuangan setelah orang itu lepas dari perbudakan.

Henry meletakkan beberapa koin uang ke dalam wadah di hadapan orang itu. "Terimalah uang ini dan makanlah dengan baik."

Aku pun melakukan hal yang sama. Berharap ia bisa makan makanan yang layak, setidaknya untuk hari ini.

"Maaf, Tuan sekalian. Saya bukan pengemis," sahutnya sambil menyodorkan uang yang ia terima. "Saya tidak ingin mendapat uang dengan cara seperti itu, jadi ... ambillah."

"Tapi ... saya yakin Anda membutuhkan uang bukan?" tanyaku heran atas penolakannya. Pasalnya, ia tak terlihat seperti penjual atau apa pun yang bisa ditukarkan.

"Saya memang butuh uang. Tapi saya baru bisa menerima uang ini jika Anda berdua bersedia membeli jasa saya."

"Apa yang bisa Anda lakukan?" tanya Henry.

"Saya akan menerima uang ini jika Anda berdua bersedia untuk saya ramal."

"Oh, jadi kakek ini seorang peramal?" Henry nampak berpikir.

"Benar," jawabnya.

Aku dan Henry saling bertatapan sejenak. Hal-hal seperti ini biasanya yang tertarik adalah para wanita, tapi berhubung kami hanya berniat membantunya, maka kami memutuskan untuk bersedia.

"Baiklah, kami bersedia," ujarku setuju.

"Kalau begitu saya akan mulai. Berikan tangan kalian berdua."

Kami mengulurkan tangan masing-masing dan ia mulai memejamkan mata, lalu berkata, "Jika saya tak salah menduga, sepertinya kalian bangasawan kelas atas. Aura kalian memberi tahu bahwa kalian keturunan raja."

Aku dan Henry saling berpandangan lagi, tak menjawab.

Kakek itu membuka mata dan melepas tangan kami. "Anda pangeran dari keturunan selir yang diangkat menjadi ratu dan Anda—" Kini ia menatapku. "Seorang penerus takhta?"

"Dari mana kakek tahu kalau dia penerus takhta?" tanya Henry penasaran. Pasalnya, tak ada yang mengenali Rein kecuali keluarga kerajaan Axiandra sendiri.

"Aku melihatnya memakai jubah kebesaran seorang raja di masa depan. Anda pangeran dari kerajaan terjauh. Ah, maaf saya lupa nama kerajannya, tapi saya tahu Anda datang dari sana."

"Rein, sepertinya dia memang seorang peramal," bisik Henry, mulai tertarik.

"Ya, Anda benar. Kerajaan saya memang paling jauh dari Axiandra," sahutku membenarkan.

"Baiklah, sekarang saya akan bacakan apa yang saya lihat. Dimulai dari Anda, Yang Mulia." Ia berbicara pada Henry. "Anda ... adalah pangeran yang baik, tapi anda terlalu menutupi banyak hal. Anda adalah seorang pemberani, tapi Anda senang jika orang lain menganggap Anda penakut. Banyak orang yang menganggap anda bodoh, padahal anda memiliki kecerdasan untuk memanipulasi orang lain. Anda menutupi semua itu untuk melindungi diri."

Aku melengos ke arah Henry seketika. Ya, dia terkadang terlihat polos, tapi aku tahu kalau dia memiliki sisi lain yang orang lain tak tahu. Aku bisa merasakannya.

"Anda akan mengemban tanggung jawab besar di masa depan karena sifat pelindung Anda. Akan ada masa di mana Anda harus mengambil keputusan untuk menentukan masa depan kerajaan Anda walau hanya pangeran biasa. Karakter Anda yang suka mementingkan orang lain, membuat Anda mendapatkan banyak kepercayaan dari berbagai pihak."

Ah, sepertinya dia akan mengalami masa-masa sulit, padahal dia bukan putra mahkota. Apa mungkin—ini berkaitan dengan kondisi Vincent di masa mendatang?

"Lalu ... bagaimana dengan percintaan? Apa saya akan menemukan pasangan yang sesuai?"

Aku kembali melengos ke arahnya, tak menyangka dia akan menanyakan hal picisan seperti itu.

Kakek itu menghela napas sejenak, terlihat cemas. "Anda akan mengalami kisah yang rumit. Anda akan jatuh cinta pada seorang gadis. Kalian saling mencintai, tapi ... di luar sepengetahuan kalian, sebenarnya gadis itu masih memiliiki hubungan darah dengan Anda."

"Jadi ... maksud Anda saya akan jatuh cinta pada seorang gadis yang ternyata adik saya sendiri?"

"Ya ... kira-kira seperti itu. Kehidupan keluarga Anda begitu rumit dan berbahaya. Ada kalanya orang tua menyembunyikan sesuatu demi keselamatan anaknya, tapi ... entah bagaimana proses takdir itu berjalan."

Henry terlihat frustrasi seketika dan mendesah gelisah. Ia terlihat percaya dengan perkataan kakek tua itu dan kini ia begitu syok.

"Mungkin kau harus bertanya pada ayah dan ibumu nanti," bisikku pada Henry yang mematung gusar.

"Lalu Anda, yang mulia." Kini kakek itu menatapku. "Berdasarkan penglihatan saya, Anda akan dinobatkan sebagai raja lebih cepat dari waktu yang ditentukan karena beberapa alasan."

"Benarkah?" tanyaku tak percaya.

"Ya, mungkin ... kurang dari setahun Anda sudah dinobatkan sebagai raja di kerajaan Anda."

Mataku menyipit sejenak. Kurang dari setahun?

"Anda akan mengalami kehidupan yang rumit, dan anda akan bertemu dengan seorang penyihir dengan kekuatan ... Necromancy."

"Necromancy? Apakah penyihir seperti itu memang ada? Bukankah hidup dan mati seseorang tidak bisa diganggu gugat?"

"Ya, penyihir seperti itu seharusnya tidak boleh ada karena dapat mengganggu arus kematian, tapi nyatanya penyihir itu memang ada dalam kehidupan Anda. Bahkan jauh sebelum Anda lahir," jawabnya tanpa ragu.

Aku terdiam sejenak, masih tak percaya dengan ucapannya. Aku yakin sekali tidak ada penyihir dengan kemampuan seperti itu.

"Lalu ... apa lagi?"

"Dari sekian gadis bangsawan yang Anda kenal, salah satunya adalah jodoh Anda. Sifatnya sedikit mirip dengan Anda meski ada beberapa perbedaan di antara kalian. Meski begitu, ia seorang yang tulus. Cintanya pada Anda sangat murni, sampai-sampai ia rela mengorbankan banyak hal untuk Anda termasuk nyawanya, jika perlu. Bahkan ia rela menjalani penderitaan demi melindungi Anda. Tapi hubungan kalian juga tak berjalan dengan baik karena Anda ... adalah penguasa yang kejam."

Kini gantian Henry yang melengos ke arahku dengan tubuh membeku tanpa kata, sementara aku masih mencerna ucapan kakek di hadapanku ini.

"Saya bisa mencium bau darah di tangan Anda, sangat kental dan anyir. Menandakan bahwa ada ratusan nyawa yang terbunuh di bawah kepemimpinan Anda nantinya," lanjutnya. "Akan ada masa di mana Anda akan meraih pencapaian besar yang sebelumnya tidak pernah bisa diraih oleh para raja pendahulu di kerajaan Anda. Juga, akan menjadi penguasa yang ditakuti oleh penguasa lain."

Aku terdiam sejenak, antara percaya dan tidak. Aku tak bisa membayangkan jika aku akan menapaki jalan hidup yang mengerikan.

"Apa ada lagi?" tanyaku lagi.

Kakek itu nampak termenung sejenak sebelum menjawab, "Anda akan segera menemukan jawaban dari segala pertanyaan dalam benak Anda selama ini."

"Ah, kalau begitu terima kasih sudah mau membacakan ramalan untuk kami," ujar Henry sopan, tapi aku tahu dia mulai tak tahan. "Silakan terima bayaran Anda. Permisi."

Kami segera menaiki kuda dengan pikiran masing-masing. Henry masih terlihat gelisah dengan masalah percintaannya, sedangkan aku memikirkan jalan suram yang akan kulalui saat menjadi raja kelak.

_______To be Continued_______

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status