Share

Part 3 : Hari Pertama

Aku sadar memang terkadang kejam, tapi itu berkaitan dengan para pengkhianat di kerajaanku. Aku takan bersikap seperti itu tanpa alasan. Apa—nantinya akan ada pengkhianat di Vainea?

"Rein, kau percaya pada peramal itu?" tanya Henry memecah keheningan.

"Sebenarnya ... tidak terlalu," sahutku, masih setengah melamun. "Kau sendiri?"

Henry mengendikkan bahu. "Entahlah. Aku sedikit percaya, tapi juga tidak. Kebanyakan orang Axiandra sangat mempercayai ramalan." Ia menghela napas sejenak dengan mata menerawang. "Gadis bangsawan dengan cinta yang tulus dan rela mengorbankan apa pun untukmu. Ah, manis sekali. Dia pasti gadis lembut dan penuh kasih sayang."

"Itu akan menjadi misteri yang memusingkan. Pasalnya, gadis bangsawan yang dikenalkan padaku sangat banyak dan mereka terlihat lembut saat berhadapan denganku. Itu sama saja seperti mencari jarum di tengah tumpukan jerami."

"Hmm ... ya, kau benar. Kita tidak bisa menilai seseorang dari sikap luarnya saja, jadi kau harus mengenal mereka dengan baik. Coba kau sapa mereka dan mulai akrab, jadi kau bisa menilai mana yang sesuai dengan kriteria pasanganmu dan yang tidak," ujarnya. "Ah, mungkin saja di Royale Academy kau bisa menemukannya."

"Itu akan semakin mempersulit pencarianku. Gadis bangsawan yang ada di sini jumlahnya sangat banyak dan dari berbagai kerajaan."

"Harusnya tadi kau bertanya gadis itu bangsawan kelas menengah atas atau ke bawah."

"Mana terpikirkan olehku yang seperti itu," sahutku penat.

"Ah, padahal kau sudah harus menikah sebelum naik tahta, 'kan?"

"Menemukan kriteria yang disebut peramal itu tidah mudah. Jika yang disebutkan berupa ciri-ciri fisik mungkin aku bisa menemukannya, masalahnya yang kakek sebutkan itu masalah hati dan karakter. Sedangkan aku tak bisa sembarang menilai seseorang dari luarnya."

Ia mengerang gemas seketika. "Kau itu rumit sekali. Padahal tinggal tunjuk satu wanita saja semua sudah beres."

"Meski aku memiliki wewenang untuk itu, tapi aku tak ingin menikah dengan wanita asal pilih. Seperti yang kau tahu, pernikahan di Vainea itu rumit."

"Ya, pasti karena ritual aneh itu, 'kan? Ya ... ya... aku mengerti."

"Dan sekarang mengenai ramalanmu. Aku curiga kalau masa depanmu berkaitan dengan Vincent. Aku paham betul masalah pelik yang terjadi di istanamu terutama kekuasaan pangeran dan juga ratu. Aku pernah mendengar kalau selir-selir di harem ayahmu itu penuh persaingan."

Ia menghela sejenak. "Tak kusangka aib seperti itu bisa terdengar olehmu yang jaraknya paling jauh dari Axiandra. Tapi ... memang benar, selama ini aku memang menutupi semua kemampuanku untuk melindungi kakakku. Aku bersedia melakukan apa saja asal kakakku bisa hidup dengan aman."

"Berarti ... kau rela menjadi mata-mata untuk musuh kakakmu?"

"Ya, itu lah kenapa aku berusaha bersikap polos dan pura-pura bodoh agar tak ada yang tahu jika aku mengetahui banyak hal. Kau adalah orang yang tahu mengenaiku selain Vincent."

"Ya, aku cukup mengerti situasimu. Tenang saja, rahasiamu aman padaku."

"Terima kasih, Rein. Tapi—" Ia menatapku sejenak. "Aku tak tahu bagaimana kau bisa menjadi penguasa kejam. Aku jadi khawatir dengan apa yang akan terjadi padamu."

"Soal itu ... aku juga tidak tahu. Tapi aku yakin, ada kesalahan dalam ramalan itu," sahutku yang juga berpikir. Entah pencapaian apa yang akan kudapat di masa depan, tapi—sepertinya itu di luar kendaliku.

* * *

"Yang Mulia, sudah waktunya makan malam."

Aku membuka mata saat bahuku diguncang dengan lembut. Senja telah ditelan oleh gelapnya malam saat kesadaran menyergap.

"Makan malam sudah siap. Pangeran Henry sudah menunggu Anda."

"Ya," sahutku, sambil terduduk lesu.

Di tempat ini tidak ada pelayan pribadi, tapi setiap ruangan di sediakan pelayan masing-masing untuk melayani penghuni kamar dalam ruangan mereka.

"Ah, bisa-bisanya kau langsung tidur setelah pulang dari perjalanan tadi. Kau seperti tidak tidur semalaman." Henry muncul dan bersandar di ambang pintu. "Lihat, ada banyak lipatan bantal di wajahmu."

"Aku memang tidak pernah tidur malam."

Ia memiringkan kepala dengan heran. "Pantas saja wajahmu terlihat suram sepanjang hari. Apa yang membuatmu seperti itu? Apa ada trauma yang membuatmu takut tidur malam?"

Aku melengos ke arah Henry dan menatapnya. Ya, dia tak sepolos kelihatannya dan mampu membaca situasi tanpa orang lain duga. Sangat wajar jika langsung menebak situasiku hanya karena sepatah kata dariku.

"Ada banyak hal yang tak perlu kau tahu tentangku," jawabku dengan wajah muram dan sedikit lemas.

"Ah, dari jawabanmu sepertinya ... itu hal yang menakutkan dan menyakitkan," ujarnya tersenyum miring. "Baiklah, aku takan memaksamu. Sebaiknya kau bersiap untuk makan malam."

"Ya," cicitku. "Aku akan menyusul.

* * *

Aku duduk di kursi dengan sebuah buku yang tengah terbuka. Kalimat dari peramal itu membuatku berpikir tentang penyihir Necromancer itu. Tak banyak buku yang menuliskan tentang mereka dan cara kerja kekuatannya yang bisa dengan mudah membolak-balikan kematian.

Meski dalam beberapa buku sihir ada yang membenarkan keberadaan mereka, tapi tak banyak yang tahu ciri khas kekuatan sihir mereka. Yang tertulis hanya kalimat dimana mereka tak boleh ada, itu lah kenapa para penyihir dengan kekuatan Necromancy banyak diburu untuk dibunuh.

Malam semakin larut dengan udara sunyi yang mencekam. Papan peringatan yang tadi kulihat membuat suara air terjun di dekat tempatku terdengar memiliki rahasia yang mengerikan.

Entah apa yang membuat tempat itu menjadi kawasan terlarang. Padahal aku sudah membayangkan tempat itu sangat indah di siang hari.

Aku menyeruput teh dengan asap yang masih mengepul, memberi kesan hangat di tengah udara malam yang dingin.

Sejenak, aku dilanda cemas untuk hari esok, khawatir jika aku akan mengantuk saat jam belajar dimulai. Aku tak tahu bagaimana cara mengubah kebiasaan yang telah kulakukan selama bertahun-tahun untuk mengubah jam tidur.

Kuteguk teh sekali lagi dan mataku tak sengaja melihat seorang gadis membawa lentera memasuki wilayah terlarang itu. Aku terdiam untuk mengamati gadis itu. Kegelapan membuat sosoknya sedikit tersamarkan. Namun, dari pakaiannya aku yakin dia seorang wanita.

Benakku kini dipenuhi tanya, siapa gadis itu? Kenapa dia menerobos wilayah itu? Apa dia gadis dari Royale Academy yang tidak tahu bahwa wilayah itu terlarang? Atau penduduk asli sini? Tapi untuk apa dia ke tempat itu malam-malam seperti ini?

Aku menyangga dagu di meja, masih menatap sosoknya hingga benar-benar hilang ditelan hutan yang gelap. Kuusap dahi yang berkeringat karena terlalu banyak berpikir. Rasa penasaran kini melanda, membuatku ingin mengikutinya. Namun, aku juga takut jika keingintahuanku malah berakibat fatal.

"Ya, sebaiknya kuabaikan saja orang itu. Semua yang terjadi di sini bukan urusanku," gumamku, menampik semua rasa penasaran.

Aku melanjutkan aktivitas membolak-balikkan buku, tapi pikiranku tak terpaut pada lembaran yang kini terbuka sejak melihat sosok yang masuk ke area terlarang itu. Seketika frustrasi melanda, membuatku kesal atas diriku yang tak bisa tenang jika sudah terusik.

Aku terus melihat keluar jendela, menatap hutan gelap itu dengan penuh harap menemukan sesuatu. Namun, tak ada tanda-tanda lagi.

Hingga pagi menjelang, aku masih mengawasi tempat itu sambil sesekali melihat buku dengan pikiran kalut. Mataku menyipit saat kulihat sosok gadis keluar dari tempat itu. Wajahnya tak terlihat begitu jelas karena tertutup tudung kepala.

Langkahnya sedikit limbung. Ia membawa lentera dan berjalan menuju salah satu tempat yang sepertinya—bagian dari Royale Academy. Dilihat dari arahnya, gadis itu menuju ke asrama Putri.

Benakku kembali dipenuhi tanya, siapa dia dan apa yang ia lakukan di wilayah terlarang malam-malam?

Aku menggelengkan kepala dengan frustrasi, berharap beban dalam pikiranku berkurang. Kuhela napas panjang agar tenang dan kini, sosok itu telah menghilang sepenuhnya ditelan kabut.

* * *

Setengah jam lagi, sarapan akan disiapkan dan aku masih sibuk membereskan semua buku dan menatanya dengan rapi ke dalam rak. Bayangan bukit air terjun membuat kamarku sedikit teduh dan menghalangi hangatnya mentari pagi. Ini adalah hari pertama belajar dimulai. Aku bergegas untuk mandi dan bersiap.

Tubuhku kembali segar saat air sejuk mengguyur. Pikiranku sedikit ringan dan tenang. Ada banyak bayangan yang berkelebat di pelupuk mata. Pikiranku mulai melalang buana, memikirkan beberapa hal. Aku segera memakai pakaian saat pelayan memberi tahu bahwa sarapan telah siap.

Langkahku menggema saat menuruni tangga dan kulihat Henry sudah duduk di meja makan tepat waktu. Sangat disiplin dan rajin, tidak sepertiku yang terkadang lamban jika pikiranku sedang terusik.

"Kau tidak tidur semalaman lagi?" tanyanya membuka percakapan.

"Sudah kubilang, aku tak pernah tidur malam," sahutku, lalu duduk di kursi makan.

"Ya ... ya, itu kebiasaan aneh. Aku tak bisa membayangkan jika kau nanti dinobatkan menjadi raja. Kau akan menghabiskan waktu siangmu untuk tidur dan bekerja di malam hari?" celotehnya. "Masyarakat pasti akan berpikir bagaimana jadinya kalau kerajaan mereka dipimpin oleh raja tukang tidur sepertimu, sedangkan mereka tak mengerti masalahmu."

Aku menghela napas sejenak dan memikirkan hal itu seketika. Aku pernah memikirkannya dari dulu, tapi aku selalu menganggapnya remeh karena saat itu waktuku masih lama.

"Sebaiknya, kau ubah kebiasaanmu selagi masih ada waktu. Jangan sampai kau ketiduran di singgasanamu atau reputasimu akan merosot."

"Aku sama sekali tidak mempedulikan reputasi, tapi ... kau benar. Mungkin aku harus mengubah kebiasaanku perlahan."

"Perlu bantuan?" tawarnya dengan seringai mencurigakan.

"Apa kau akan memberiku obat tidur? Itu tidak akan mempan untukku."

"Bagaimana kalau sesuatu yang menyenangkan?"

Alisku terangkat sejenak, menebak pikirannya. "Tolong jangan lakukan hal yang aneh. Ini di sekolah."

Ia terkekeh seketika. "Oh astaga, sebagai Pangeran Axiandra, Royale Academy adalah rumah keduaku. Aku bisa melakukan apa saja, apa lagi dengan teman seruanganku."

"Kau boleh melakukan apa pun sesukamu, asal tak melawan aturan dan membuat masalah," tegasku curiga dan ia makin terkekeh atas reaksiku.

* * *

Kami menyusuri koridor menuju ruang belajar. Seperti yang sudah kuduga, meski di asrama status kami tak dibedakan, tapi kelas kami tetap berbeda antara pangeran keturunan raja dengan putra bangsawan lain. Begitu pun dengan kelas tuan putri.

Untuk latihan pedang, kami berlatih di area yang sama dengan yang lainnya. Selain itu, kami baru satu ruangan dengan para siswi hanya di aula dalam latihan dansa dan sesuatu yang berkaitan dengan pesta. Itu pun hanya pada akhir pekan.

Aku memasuki ruangan dengan meja bertingkat yang tersusun rapi. Untuk pertama kalinya aku bertemu dan berkumpul dengan keturunan raja lain secara langsung. Dalam ruangan yang kini kutempati, ada 25 pangeran keturunan raja dengan berbagai status. Ada yang seorang putra mahkota, ada juga yang hanya putra dari selir.

Kami saling memperkenalkan diri saat kelas dimulai. Walau di tempat ini status kami disama-ratakan, tapi sikap dari antar pangeran masih menunjukkan beberapa kesenjangan. Ya, belajar di satu ruangan seperti ini adalah hal baru bagi kami.

"Lama tidak bertemu, Rein," sapa pangeran Carl, Putra Mahkota Tryenthee. Ia duduk bersebelahan denganku. Sambil tersenyum miring, ia berkata lirih, "Bagaimana kabar Vainea setelah menang dari Tryenthee?"

Aku menatapnya dingin sejenak, lalu tersenyum. "Seperti yang kau tahu, kehidupan kami semakin membaik setelah terlepas dari politik Tryenthee."

"Kalau begitu ... bagaimana jika kita berperang sekali lagi? Aku penasaran bagaimana kau akan menghadapiku setelah kau naik takhta."

Keningku mengerut seketika atas kalimatnya yang janggal. "Menghadapimu? Apa kau akan menyerang Vainea di luar perintah Yang Mulia Raja Tryenthee?"

Ia tersenyum miring sejenak dengan ekspresi samar. "Untuk pertama kalinya kami dipermalukan karena kalah oleh kerajaan kecil. Ayahku masih menanggung malu akibat kekalahan 20 tahun yang lalu, jadi aku yang akan mengambil alih militer untuk membalas semuanya."

Aku mendengkus tertawa lalu menyeringai. "Ah, mengerikan sekali. Tapi ... sepertinya masalahmu bukan hanya karena kekalahan Tryenthee waktu itu. Kurasa lebih bersifat pribadi." Aku menatapnya lekat. "Kau seperti orang yang sedang tak percaya diri."

Ia mengerutkan kening seketika dan menatapku tak suka. "Jangan bertingkah seolah-olah kau mengetahui tentangku."

"Aku memang tidak tahu apa-apa tentangmu, kecuali tentang ... kau yang mendapat kedudukan putra mahkota setelah putra mahkota terdahulu tewas terbunuh."

"Kau pikir kematian putra mahkota terdahulu karena siapa?" Ia menunjukkan seringai liciknya lagi dan menatapku tajam. "Meski dalam rumornya beliau tewas karena perang saudara, tapi aku tahu kalau pembunuhan beliau direncanakan oleh mendiang Raja Azura. Aku paham betul taktik ayah dan ibumu yang memanfaatkan kondisi Tryenthee yang sedang carut-marut waktu itu."

Keningku berkerut untuk kesekian kali. Ini adalah hal yang baru kudengar jika ayahku terlibat dalam pembunuhan mendiang Putra Mahkota Tryenthee, tapi akal sehatku masih menyangkal.

"Aku terkadang heran dengan Yang Mulia Raja Tryenthee. Kenapa menyerang Vainea di saat kondisi kerajaannya sedang tak stabil? Dan sekarang kau menuduh ayahku terlibat dalam kasus pembunuhan putra mahkota yang disebabkan oleh perang saudara?" Aku tertawa sejenak. "Lucu sekali, Carl."

Ia mendengkus tertawa sambil membuka buku di hadapannya "Aku jadi sedih denganmu. Ternyata kau bocah yang tidak tahu apa-apa."

Kami saling terdiam saat pria di hadapan kami berbicara. "Perkenalkan nama saya Andrew, saya adalah mentor yang akan mengajari ilmu etika, hukum dan juga politik. Saya dikhususkan untuk mendidik para putra bangsawan dari keturunan raja seperti kalian."

"Meski setiap kerajaan memiliki aturan hukum, kedisiplinan dan standar yang berbeda, tapi ada beberapa hal mendasar yang perlu kalian kuasai," lanjutnya.

Kami semua mengeluarkan beberapa buku catatan saat pelajaran dimulai dan jujur, rasanya—seperti mempelajari ulang hal-hal yang pernah kupelajari saat usiaku 13 tahun. Ayah dan ibuku sudah mengajariku banyak hal mengenai hukum, politik dan etika tanpa guru pembimbing.

Bisa dikatakan mereka yang langsung mengajariku, tapi entahlah. Bagaimana dengan pangeran yang lain? Apa mereka diajari langsung oleh orang tua mereka atau menyewa guru pembimbing?

* * *

Kami semua digiring ke sebuah ruangan yang menyajikan menu makanan. Ya, ini adalah bagian dari aturan Royale Academy, yaitu makan siang bersama setelah jam belajar selesai. Kegiatan ini bertujuan untuk mengasah komunikasi dan sosialisasi antar sesama dengan baik.

Kami sudah duduk di kursi yang tersedia dan kebetulan Vincent duduk bertepatan di sebelahku. Kami saling menyapa dengan hangat sebelum menyantap hidangan.

"Aku tadi memperhatikanmu dengan Pangeran Carl," ujarnya sambil mengelap garpu. "Aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan, tapi sepertinya serius sekali. Kau tahu? Kalian seperti dua anak kecil yang ingin berkelahi."

"Ya, mungkin bisa saja kami berkelahi jika kami tidak sadar akan status kami di sini," sahutku, menyeruput sup.

"Apa ... berkaitan dengan perang Vainea dengan Tryenthee waktu itu? Sepertinya dia sangat membencimu."

"Ya, seperti yang kau tahu, perang itu pihak Tryenthee yang memulai. Tapi dia tidak terima dengan kekalahan yang mereka alami dan menuduh Vainea melakukan taktik licik yang menyebabkan kekalahan mereka."

Vincent menghela napas sejenak. "Aku tahu tak sepatutnya mengurusi masalah kalian. Tapi ... jika aku boleh menilai, mungkin dia juga benar. Vainea takan menang dari Tryenthee jika hanya mengandalkan kekuatan."

"Maksudmu?"

"Ratu Selena dan Raja Azura, mereka berdua adalah kombinasi terbaik dalam sejarah. Mereka tahu bagaimana cara bertahan dan cara menyerang, itu saja belum cukup jika tidak disertai strategi dan politik yang bagus. Maaf jika harus membahas tentang orang tuamu yang telah tiada," jelasnya.

"Ayahku adalah teman ibumu, begitu pun dengan Raja Hans, beliau juga mengenal ibumu. Aku sering mendengar cerita tentang mereka berdua dan ayahku pernah bilang kalau Vainea menang dari Tryenthee berkat kecerdasan politik dan strategi yang bagus," lanjutnya, sembari memotong daging di hadapannya.

"Tapi aku masih tak percaya jika ayahku terlibat dalam kematian Putra Mahkota Tryenthee terdahulu. Apa mungkin ayahku benar-benar memanfaatkan keadaan dan mengambil kesempatan itu atau memang hanya bualan belaka. Aku bahkan baru tahu tentang hal itu."

"Ya, aku sendiri juga tidak bisa berspekulasi banyak. Hanya saja, yang kutahu ... orang tuamu adalah dua sosok yang pandai melihat peluang. Ditambah kondisi Tryenthee memang sedang carut marut akibat perang saudara waktu itu. Kematian putra mahkota adalah pukulan terbesar untuk Tryenthee. Mungkin kematian beliau memang sudah termasuk bagian rencana ayahmu untuk membuat Tryenthee semakin kalut."

Aku menggigit sepotong daging sembari berpikir, ternyata masalah mereka lebih rumit dari yang kubayangkan. Soal perang itu, sungguh, aku tak tahu apa pun selain berita tentang kemenangan Vainea atas Tryenthee. Aku tak tahu bagaimana ayah memenangkan perang itu dan—aku masih tak menyangka.

Ya, ini sangat menarik. Di sini aku bisa mencari sumber informasi dari berbagai pihak, termasuk orang-orang di tempat ini.

_______To be Continued_______

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status