Share

Rein (Shirea book 3)
Rein (Shirea book 3)
Penulis: Indah Riera

Part 1 : Putri Kerajaan Keylion

Aku menatap lembaran-lembaran kertas usang yang menumpuk di meja. Kutata berdasarkan urutan tanggal terbit media berita itu satu persatu. Rasa penasaran terhadap kematian kedua orang tuaku begitu kuat, sampai aku tak bisa tidur karena memikirkannya.

Kuhela napas untuk beristirahat sejenak sambil menatap lukisan wajah mereka. Tak habis pikir dengan berita-berita tentang mereka di masa lalu yang penuh kejanggalan.

"Rein, kau sedang sibuk?"

Aku menoleh ketika seorang wanita membuka pintu kamar. Segera kubereskan semua kertas-kertas itu secepat mungkin. "Bisakah ketuk pintu sebelum masuk ke kamarku?"

Bibi Erina melangkah masuk sambil memperhatikan kertas-kertas di tanganku lalu bertanya, "Sepenasaran itu kau dengan kisah kedua orang tuamu?" Ia menarik selembar kertas yang berada di tumpukan teratas. "Tidakkah kau mempercayai rumor yang beredar?"

Aku menghela napas sejenak, lalu menunjukkan salah satu kertas yang memberitakan perang terakhir mereka.

"Rumornya, mereka saling mencintai. Tapi kenapa ayah mendeklarasikan perang pada Axylon saat ibu menjadi ratu penguasa di sana?"

"Kau tidak mengerti masalah yang mereka alami, Rein. Ada alasan tersendiri kenapa ayahmu melakukan hal itu."

"Bagaimana aku bisa mengerti?" rajukku penat. "Kematian mereka saja sudah membuatku terpukul dan kebingungan saat itu. Dengan mengetahui masa lalu mereka, mungkin aku bisa menemukan jawaban."

Aku kembali menatap kertas yang tadi kutunjukkan pada Bibi Erina dan membacanya sekalai lagi. Di sini aku menemukan kejanggalan yang membuatku bertanya-tanya.

"Pada perang terakhir mereka, Vainea menang dari Axylon, tapi kenapa ayah tidak melakukan invasi sedikit pun di tanah mereka? Sebenarnya apa tujuan ayah menyerang Axylon? Dan—." Aku menatap lembaran kertas berikutnya. "Ayah malah meminta ibu untuk mengundurkan diri sebagai ratu penguasa Axylon? Apa bibi mengetahui sesuatu kenapa ayah melakukannya?"

Ia menghela sejenak lalu duduk berhadapan denganku. "Rein, ayahmu melakukan itu karena ingin menjaga kedaulatan ibumu sebagai Ratu Vainea. Beliau mencintai ibumu, itulah alasannya beliau mendeklarasikan perang."

Aku mengerutkan kening karena merasa aneh. "Jadi ... maksud bibi, ayah menyerang Axylon hanya untuk membuat ibu mengundurkan diri dari Axylon?"

Ia mengangguk dengan santainya. "Memang seperti itu kenyataanya."

Aku mendengkus tertawa, tapi akal sehatku masih menolak alasan seperti itu. Tak kusangka, ayah akan melakukan hal kekanakan seperti itu.

"Tapi ... jika mereka saling mencintai bukankah itu berarti komunikasi mereka sangat baik? Apa mereka tidak membicarakannya lebih dulu sebelum mengambil keputusan untuk berperang?" tanyaku lagi, masih tak menyangka.

"Rein, meskipun mereka saling mencintai, bukan berarti hubungan mereka baik-baik saja, 'kan? Ditambah, terjadi kesalahpahaman di antara mereka yang membuat ayahmu terpaksa memutuskan untuk mendeklarasi perang pada ibumu, demi sebuah politik."

"Termasuk pernikahan ayah dengan putri dari kerajaan Tryenthee?" tanyaku sedih, jika mengingat pernah membaca berita itu. "Apa itu termasuk politik ayah untuk menghadapi ibu?"

Bibi Erina mengangguk lagi, lalu menyeruput teh yang sudah tersedia. Namun, matanya terlihat sendu dengan raut sedih. "Hubungan yang benar-benar rumit."

Aku menghela untuk kesekian kalinya, tak mengerti dengan apa yang mendiang ayah pikirkan. Bukankah itu sama saja ia sudah mengkhianati pernikahannya dengan ibu? Hanya demi politik, beliau mengorbankan kesetiannya.

"Dari pada kau memikirkan hal itu, lebih baik kau persiapkan dirimu untuk dikirim ke Royale Academy," ujar bibi, membuyarkan lamunanku.

"Ya, jaman semakin berubah dari tahun ke tahun. Dulu, para orang tua dituntut cerdas agar bisa mengajari keturunannya. Tapi sekarang, semua pengetahuan itu sudah diserahkan pada ahlinya sesuai dengan standar," lanjutnya.

Ya, karena setiap orang tua akan mendidik anaknya dengan cara yang berbeda-beda.  Sekarang, dengan didirikannya sekolah itu, para keturunan raja akan mendapat pendidikan yang sama sesuai standarnya. Biasanya pihak istana akan menyewa guru untuk mengajari para keturunan raja, tapi dengan adanya sekolah ini, mereka bisa belajar lebih dari yang mereka terima termasuk pengetahuan dalam bersosialisasi dengan sesama.

"Kau sudah siap?" tanyanya. "Kudengar di sana bukan hanya keturunan raja, tapi ada juga bangsawan lain dari berbagai negara."

"Ya, semakin banyak mengenal orang, semakin luas wawasannya. Dulu aku sering mendengar kalimat itu dari ayah. Tapi sepertinya ... akan tetap ada pembedaan kelas antara bangsawan tingkat atas dengan bawah."

"Kalau begitu—." Bibi Erina menyodorkan samplop besar. "Kau sudah tahu harus pergi kemana, 'kan? Sebagai putra mahkota, kau harus melewati tahap ini sebelum naik tahta. Apa lagi usiamu sudah 19 tahun."

Aku menerima amplop itu dan membukanya. Di dalamnya terdapat kertas berisi undangan resmi untuk mengikuti pendidikan di Royale Academy yang resmi dibuka tahun ini.

"Kau akan belajar di sana hanya setahun, karena di usiamu yang ke-20 nanti, kau sudah harus naik takhta," ujarnya. "Selain itu, jangan lupa sembari memilih gadis terhormat untuk menjadi pendampingmu."

Aku mendesah dengan enggan. "Soal itu ... apa tidak bisa diundur sampai aku benar-benar siap?"

"Rein, bukankah bibi pernah bilang kalau kau sudah harus bertunangan saat menginjak usia 15 tahun? Dan sekarang sudah lebih lama dari waktu yang ditentukan. Kau selalu menghabiskan waktumu untuk mengorek masa lalu orang tuamu tanpa memperhatikan masa depanmu."

"Bibi sendiri juga kenapa belum menikah? Bukankah bibi juga sudah cukup umur untuk menikah?"

Bibi Erina yang tadi sedang menyeruput teh kini tersedak mendengar kalimatku.

"Itu karena ... bibi harus menjagamu sebagai penerus takhta," jawabnya dengan nada sebal. "Bibi baru bisa menikah setelah kau menjadi raja."

"Kalau begitu, apa bibi sudah punya kandidat sebagai pasangan bibi?"

Ia meringis lebar dan menggeleng lalu menjawab, "Bibi harus mengutamakanmu lebih dulu. Kau 'kan pewaris, akan lebih baik jika kau menikah sebelum naik takhta. Tidak saling cinta juga tidak apa-apa, asal kau memiliki pendamping. Jika kau mulai tertarik dengan gadis lain, kau bisa mengangkatnya sebagai selir. Itu pun jika kau berminat menjalin hubungan tanpa ritual."

"Tidak," sergahku. "Aku ... ingin seperti ayah. Hanya menikahi wanita yang kusukai."

"Kau pikir ayah dan ibumu saling menyukai saat mereka menikah?" cibirnya. "Mereka baru merasakan cinta justru setelah menikah."

Ah sial, benar juga. Ayah dan ibu menikah karena perjodohan politik dan mereka baru saling menyukai setelah bersanding.

"Ya, lihat saja nanti," sahutku pasrah.

"Tapi ingat, Rein. Jangan lakukan ritual pernikahan tanpa cinta. Menikah tanpa ritual juga tidak masalah jika kau belum siap dengan perasaanmu," ujarnya mengingatkan. "Jangan ulangi kesalahan yang pernah ayahmu lakukan pada ibumu."

Aku hanya terdiam mendengar kalimatnya, aku tidak mengerti hubungan rumit macam apa yang mereka jalani. Jika ayah melakukan kesalahan atas ritual itu, kenapa perasaan mereka begitu kuat satu sama lain?

* * *

Hari ini kereta kudaku melaju menuju kerajaan Axiandra, dimana tempat tujuanku berada. Tentu saja, sekolah itu dibangun atas persetujuan seluruh penguasa dari berbagai kerajaan beberapa tahun yang lalu termasuk ayahku. Dan sekarang, tempat itu akhirnya diresmikan.

Aku sudah membawa beberapa barang yang kuanggap penting, termasuk kumpulan berita usang tentang kedua orang tuaku. Membaca berita itu membuatku ingin mengenang dua sosok yang kukagumi, itu lah alasanku begitu terobsesi dengan peliknya kehidupan mereka.

Aku memejamkan mata perlahan. Bagiku, siang adalah waktunya tidur dan malam adalah hidupku yang sesungguhnya.

Ya, sejak kejadian 10 tahun yang lalu, aku jadi trauma untuk tidur malam. Waktu itu kami tidur bertiga dan mereka sudah terbujur kaku saat aku membuka mata di pagi harinya.

Sejak saat itu, aku takut untuk tidur malam dan mengganti waktu tidurku di siang hari, meski tidak seharian penuh dan hanya beberapa jam saja.

Bahkan sampai saat ini, aku masih menyesal karena terlelap di malam terakhir bersama mereka. Aku benar-benar hampir dibuat gila dengan kepergian mereka yang sangat mendadak.

"Bangunkan aku jika sudah sampai di kerajaan Keylion," ujarku pada kusir di depan.

"Baik, Yang Mulia," sahutnya.

* * *

Aku membuka mata perlahan saat senja menerpa wajah dari balik lubang tirai. Sinarnya begitu menyilaukan sampai aku harus mengejap berkali-kali sebelum akhirnya mengubah posisiku menjadi duduk.

"Yang Mulia, kita sudah masuk ke wilayah kerajaan Keylion. Apa Anda berencana untuk mencari penginapan sebelum melanjutkan perjalanan ke kerajaan Axiandra?"

Aku mengangguk sayu. "Ya, carikan penginapan dengan pemandangan yang bagus."

"Baik," sahutnya. "Saya tahu tempat yang bagus untuk Anda menginap."

Aku menghela napas dan membuka tirai jendela, udara sejuk langsung berembus masuk dan menerpa wajahku yang lesu.

Kini tanganku menyandar ke dagu saat menikmati pemandangan kota yang megah dan rapi. Banyak kereta kuda yang terbuka berlalu lalang, menampakkan penghuni di dalamnya yang rata-rata adalah para bangsawan dengan pakaian nyentrik serta unik.

Keylion mengingatkanku pada gadis yang kuselamatkan lima tahun yang lalu, Putri Zora. Setelah aku mengantarnya kembali ke kerajaan Keylion, aku tak lagi bertemu dengannya sampai saat ini.

Masih teringat raut wajahnya yang tampak sendu saat ia kembali ke rumahnya. Meski ucapan terima kasihnya terlihat ramah, tapi aku merasa ia terlihat sedikit cemas dan ketakutan. Ya, aku sengaja mengabaikan masalah itu karena tak ingin menyampuri urusan kerajaan Keylion.

Tak lama, kereta kudaku berhenti di depan halaman sebuah mansion megah. Bangunannya begitu mewah dengan ukiran-ukiran rumit dari seniman terkemuka pastinya. Warna cokelat keemasan membuatnya semakin berkelas dengan nuansa khas bangsawan.

"Yang Mulia, ini penginapan yang paling direkomendasikan untuk para bangsawan kelas atas. Di sini fasilitasnya sangat lengkap dengan hidangan yang mewah. Mungkin Anda akan menyukainya."

"Oh ya," sahutku ternganga, kerajaan besar seperti Keylion memang luar biasa. "Dari luar sudah kelihatan kalau tempat ini sangat berkelas dan nyaman."

Aku segera menuruni kereta kuda dan masuk ke dalam bangunan. Kedatanganku disambut hangat oleh beberapa pelayan di sana dan aku diantar ke sebuah ruangan yang mereka rekomendasikan untuk tamu untuk pangeran sepertiku.

Ruangan yang benar-benar luas untuk seukuran penginapan, dilengkapi balkon dan taman yang segar. Aroma mawar semerbak memenuhi setiap udara ketika angin bertiup lembut. Mengingatkanku pada—mendiang ibu. Dan benar saja, di balkon terdapat tanaman mawar merah yang nampak elok.

Aku segera membanting diri di tempat tidur setelah para pelayan itu meninggalkanku di ruangan. Memejamkan mata dan kembali terlelap di senja hari.

* * *

Tubuhku kembali segar dengan rambut basah setelah mandi. Udara malam terasa dingin meski langit begitu cerah. Kulihat beberapa hidangan makan malam sudah tersaji di meja dengan rapi, tak lupa dengan kudapan dan teh hangat yang asapnya terlihat mengepul.

Aku mulai menyantap makan malamku sembari membaca beberapa aturan yang harus kupatuhi selama di sekolah, yang ternyata—lumayan banyak dan rumit.

"Selamat malam, Yang Mulia."

Aktivitasku terhenti sejenak saat seorang pelayan masuk dengan wajah ramah. "Ya?"

"Maaf menganggu waktu makan malam Anda," ujarnya. "Apa Anda ingin menggunakan fasilitas malam Anda?"

Keningku berkerut, bingung. "Fasilitas malam?"

"Jika Anda membutuhkan wanita untuk menemani malam Anda, kami akan menyiapkannya untuk Anda."

"Tidak," sahutku cepat. "Aku tidak akan mengambil fasilitas itu."

"Oh baiklah. Kalau begitu ... saya pamit undur diri."

Aku terdiam saat kamarku kembali hening. Tempat ini—terlalu bagus, bukan hanya fasilitas dan pelayanannya yang baik, tapi juga menyediakan wanita untuk menemani tamunya.

Malam semakin larut dan mataku semakin segar. Aku bisa menikmati pemandangan langit berbintang dengan leluasa. Suasananya juga tenang, meski sedikit terganggu oleh mereka yang sedang mengadakan perjamuan di taman.

Semakin menuju tengah malam, suasananya semakin ramai dan—dipenuhi oleh wanita yang disediakan tempat ini untuk menemani mereka. Gelak tawa menggema dengan aroma anggur yang terbawa angin.

Bisa terlihat tatapan nakal para pria pada wanita yang tengah menemani mereka. Jujur, aku merasa tempat mewah ini terkesan seperti rumah bordil di malam hari dan aku sedikit menyesal karena harus melihat pemandangan seperti itu.

Akhirnya suasana mulai tenang saat malam mulai memasuki dini hari. Kini aku duduk di balkon dengan santai sambil membaca buku sejarah-sejarah kerajaan yang kini tengah berdiri.

Namun, lagi-lagi aku terusik. Kali ini aku mendengar suara rintihan wanita yang sepertinya—sedang menahan sakit. Aku mengedarkan pandangan untuk mencari sumber suara.

Benar saja, kulihat gadis di balkon kamar sebelah yang tak jauh dari balkon kamarku. Ia duduk bersandar di pagar pembatas dengan kepala terkulai. Di tengah udara dingin seperti ini, tubuh gadis itu hanya ditutupi kain dan—nampak basah kuyup.

Wajah gadis itu tertutup rambutnya yang tergerai kusut, tapi aku tahu dia sedang mabuk. Ia menyengkeram pagar besi dan sesenggukan lirih, lalu ia menenggak sebotol anggur beberapa menit kemudian.

Aku masih memperhatikan gadis yang tengah mabuk itu. Ia berusaha untuk berdiri, tapi tubuhnya ambruk dan tersungkur. Rintihan darinya kembali terdengar sambil menyakari lantai kayu dengan kukunya.

Ia masih berusaha untuk bangkit sambil menutupi tubuhnya dengan kain yang melilitnya. Di situ, baru lah aku melihat jelas wajah gadis itu saat rambutnya ia kibaskan ke belakang. Wajah yang tak asing bagiku kini terlihat depresi dan kesakitan.

"Putri Zora?" gumamku, menyipitkan mata untuk memastikannya lagi. "Ya benar, itu dia. Kenapa dia ada di sini? Dan ... kenapa dia begitu? Apa dia sedang depresi karena patah hati? Atau ada sesuatu yang terjadi di istana Keylion?"

Ya, selain itu penampilannya sangat berantakan dan membiarkan udara dingin memeluk tubuhnya yang setengah telanjang.

Tegukan demi tegukan anggur ia nikmati dengan ekspresi yang menyedihkan, lalu kembali berusaha bangkit dengan tubuh limbung.

Aku tidak tahu apa yang membuatnya terisak, ia seperti sedang menahan sakit dan tangis agar tak ada orang yang mendengar.

Kudengar, ia memang tuan putri dengan reputasi buruk di Keylion. Katanya, sikapnya terlalu blak-blakan dan sulit diatur. Ia bukan putri yang akan bungkam untuk menyuarakan kebenaran.

Namun, caranya bicara membuatnya terlihat tak beretika meski tujuannya baik. Ya, begitu lah rumor yang kudengar dari beberapa orang. Bahkan aku pernah mendengar berita, kalau putri Zora terancam dicabut gelarnya sebagai Putri Keylion. Apa—dia depresi karena itu?

Kini tubuh itu terkulai di lantai dengan botol kosong yang menggelinding di sampingnya. Ia sudah terlihat tenang dan sepertinya—terlelap. Tapi—yang benar saja, dia tidur di balkon dingin dengan kondisi seperti itu?

Ada sedikit keinginan untuk mendekatinya, tapi akal sehatku menolak untuk mengurusi kehidupannya. Dan sepanjang malam, aku hanya mengawasi gadis itu tidur di lantai balkon.

Aku terlalu fokus membaca sampai-sampai sosok itu sudah tidak ada di balkon saat pagi hari. Kuhela napas lega, karena gadis itu terbangun sebelum orang lain di sekitarnya bangun dan melihatnya tidur seperti itu.

Pagi ini, aku menikmati sarapanku sebelum melanjutkan perjalanan panjangku menuju Axiandra. Kerajaan yang satu itu—memang jauh dan bisa memakan waktu dua sampai tiga hari dengan kereta kuda.

Lagi-lagi aku dikejutkan dengan sosok gadis yang tiba-tiba merangsek masuk ke kamarku dan menggebrak meja.

"Hei! Aku ingat, kau itu bocah yang menyelamatkanku di hutan lima tahun yang lalu, 'kan? Aku terkejut saat tahu anak bangsawan yang terlihat manja sepertimu ternyata Putra Mahkota Vainea," cecarnya.

"Ah, kudengar kau pangeran yang memiliki pengetahuan militer dan bermain pedang yang bagus, sampai-sampai kerajaan yang hendak menyerang Vainea harus berpikir berkali-kali untuk menghadapimu. Tapi ... kenapa tampangmu tidak meyakinkan? Apa jangan-jangan rumor itu hanya tipuan?" lanjutnya, masih mengoceh.

"Bisakah kau datang dengan cara yang sopan, Putri?" sahutku dingin, masih menahan kesal. "Apa karena aku seorang pendatang di Keylion, kau jadi bertingkah seenaknya?"

"Kau pikir aku bisa bersikap sopan dengan pria yang terus mengawasiku sepanjang malam?" cacinya dingin. "Meski dalam keadaan setengah sadar, aku tahu kau tidak tidur semalaman. Otakmu pasti sedang berfantasi saat melihat keadaanku, 'kan?"

Aku mendengkus kesal seketika, tapi masih berusaha mengendalikan diri. "Ternyata kau memang seperti rumornya. Sangat tidak sopan, tidak beretika dan cara bicaramu sangat tidak menunjukkan statusmu sebagai putri yang terhormat. Pantas saja, musuhmu ada di mana-mana."

"Aku tidak peduli dengan penilaianmu, Yang Mulia. Hanya saja, kau sudah terlalu lancang melihatku dengan penampilan seperti itu."

"Salahmu sendiri kenapa kau mabuk dan berpenampilan seperti itu di balkon. Itu kan tempat terbuka yang bisa dilihat oleh siapa saja."

Ia menggebrak meja lagi, tapi kali ini lebih marah. "Kalau kau bukan pria mesum, harusnya kau masuk ke kamarmu dan mengabaikanku!"

Aku mendengkus tertawa saat emosiku juga turut meningkat. Sialan, dulu dia menganggapku anak bangsawan manja dan sekarang menuduhku pria mesum.

"Ah, bisa-bisanya dulu aku menyelamatkanmu. Seharusnya waktu itu aku membiarkanmu mati kelaparan atau dibunuh orang-orang itu," racauku kesal.

Sialnya lagi, dulu aku juga sempat berpikir ingin menjadikannya sebagai kandidat putri mahkota saat aku tahu Ratu Laura pernah memiliki hubungan baik dan dekat dengan mendiang ibuku.

"Baiklah, berhubung aku sudah terlanjur melihatmu seperti itu, sekarang apa maumu?" tanyaku, enggan basa-basi lagi.

"Rahasiakan itu dari siapa pun dan anggap saja kau tak melihat apa pun semalam."

"Hanya itu?" Alisku terangkat sebelah. "Kupikir kau akan menuntutku yang macam-macam."

"Tidak." Ia melipat tangannya ke depan. "Kau hanya perlu bungkam dari apa yang kau lihat semalam."

Aku mendengkus tertawa lagi karena merasa lucu. "Ya, untung saja aku seorang pangeran. Kalau aku seorang jurnalis, mungkin aku sudah menuliskan macam-macam tentangmu semalam dan menyebarkannya dalam surat kabar. Aku pasti akan mendapat bayaran fantastis dari berita itu."

"Aku sedang tidak ingin bercanda, Yang Mulia." Kini ia terlihat geram. "Aku tidak akan menuntutmu selama kau tidak membocorkannya pada orang lain."

"Jujur, aku sedikit heran." Aku menyandarkan punggung dan melipat tangan, mengabaikan hidangan di hadapanku sejenak. "Kenapa tuan putri sepertimu bisa ada di penginapan ini dan mabuk-mabukan sambil memperlihatkan tubuhmu seperti itu? Ya, aku tahu ini bukan urusanku, tapi semalam kau terlihat seperti ... gadis labil yang patah hati," cibirku.

"Apa aku terlihat seperti itu?" Ia tertawa mengejek. "Ternyata penglihatanmu serabun itu, bahkan lebih buruk."

Ya, sebenarnya aku tahu ia seperti sedang menahan sakit dan menderita, tapi aku tak mungkin mengatakannya, 'kan? Takutnya ia malah berpikir aku sedang memberi perhatian padanya.

"Ya, apa pun yang kau lakukan di balkon itu memang bukan urusanku. Dan sekarang ... apa kau datang kemari hanya untuk memintaku bungkam?"

"Ya, hanya itu," sahutnya.

Aku kembali tertawa karena—sedikit kesal. Ia sudah menggangguku sarapan dengan cacian yang ternyata tidak penting.

"Kalau begitu, kau boleh pergi dari kamarku dan urusan kita sudah selesai."

_______To be Continued_______

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status