Share

SEMALAM DENGAN PREMAN
SEMALAM DENGAN PREMAN
Author: Melisristi

1. Sebuah Malapetaka

“Eughh … hangat ….”

Seorang perempuan mengerjapkan matanya pelan, tangannya melingkar indah pada hal yang membuatnya nyaman.

Mata yang masih memejam tak mampu menyadari kalau di sebelahnya ada seorang pria. Menyentuh dadanya yang berdetak tenang. Sampai tepat tangan itu menyentuh bagian lain …

Tunggu.

Kenapa ia merasakan benda kecil?

Satu detik

Dua detik

Tiga detik

“Aaaaa!” Perempuan itu terpekik kaget. Dengan spontan ia bangun dari baringannya. Terduduk dengan selimut yang ia tarik untuk menutup tubuhnya.

Seorang pria yang tadi berada di sampingnya mengerjap. Pria itu mendesis kecil.

“Ssshh, pusing …,” ucapnya dengan nada berat.

“Bangun! Siapa kamu hah?!” Perempuan itu berteriak marah. “kenapa kamu ada di kamarku!” teriaknya kembali.

Jantung perempuan itu berdetak dua kali lebih cepat saat mengetahui siapa lelaki yang tertidur dengannya— di sampingnya. Menyadari satu hal lantas ia mer*ba bagian tubuhnya.

Helaan nafas terdengar pelan kala menyadari kalau ia masih memakai baju. Namun, kenapa pria itu tidak memakai baju?

Ya, perempuan bernama lengkap Carissa Rindiyani menoleh pada lelaki itu. Sosok laki-laki yang paling ia kenal.

Tidak! Kenapa ia harus ada di sini? Kenapa tiba-tiba ia berada seranjang dengannya? Harusnya ia menghindar dari lelaki sepertinya. Sosok laki-laki yang harus Carissa hindari!

Dengan cepat Carissa bangun dari duduknya. Perempuan bertubuh gendut itu mencari kacamatanya, namun tak ia temukan kacamata miliknya.

“Di mana kacamataku?” Perempuan itu panik, hendak membuka sebuah laci. Namun belum sempat membuka sebuah pintu didobrak dengan begitu keras.

“Carissa?!”

Deg.

Carissa terkejut kala mendengar suara yang begitu familiar di telinganya. Suara itu ..

“Ayah?” ucapnya lirih.

“Anak kurang ajar!”

Plakkk!

Suara tamp*aran yang amat keras terdengar sampai ke udara. Carissa bahkan sampai terjatuh kala tamparan keras itu mengenai pipi kanannya.

“Pak!” Sosok laki-laki yang tadi tertidur dengan Carissa terbangun dengan mata terkejut. Pria itu tak memakai baju, hanya celana panjang yang menutup setengahnya.

“Apa–”

“Jadi preman ini yang semalam tertidur denganmu Carissa?!” teriak Fathur murka. Dia menunjuk muka pria itu dengan jari telunjuknya.

“Tak tahu malu! Anak kurang ajar!”

“Enggak! Bukan Ayah, Ayah telah salah paham.” Carissa menangis, menggeleng dengan air mata yang sudah jatuh membasahi pipinya.

Perempuan bertubuh gemuk itu bersimpuh di hadapan sang Ayah.

“Ini tidak seperti yang Ayah lihat, kami tidak melakukan apapun Ayah! Tidak!”

“Sudah terbukti masih mengelak, hah?!” Napas Fathur naik turun. Dia menatap nyalang putrinya. Ah putrinya, bahkan gelar itu tak pantas di dapat karena sudah mempermalukan nama baik keluarga.

“Puas kamu mempermalukan Ayah! Puas kamu jadi wanita murahan untuk pria yang tidak tau diri sepertinya?!”

“Kami tidak melakukan apapun!” Pria itu menjawab dengan tegas. “kau—”

“Diam kamu!” Fathur memotong ucapan pria itu. “Preman seperti kamu tidak pantas dipercayai! Apalagi yang setiap harinya selalu diincar oleh para polisi, kau telah menodai putriku!”

“Tidak Ay--ayah, kami tidak melakukan apapun.” Carissa masih bersimpuh, namun dengan cepat Fathur menghempaskan kakinya. Tak sudi ia dipeluk oleh putri yang telah mempermalukan dirinya.

“Pak, pak! Sudah, lebih baik kita bicarakan hal ini nanti di rumah. Malu, ini hotel Pak. Tempat orang.” Seseorang tiba-tiba bersuara, menjadi penengah atas kericuhan yang ada.

“Tidak! Kita selesaikan di sini saja!” potong seseorang dengan tegas. “Saya, selaku tunangannya Carissa memutuskan menggagalkan pernikahan ini! Tidak sudi saya menikah dengan perempuan penz*ina sepertinya!”

Jantung Carissa terasa mau copot saat ia mendengar suara pria. Dia … tunangannya!

Carissa mendongak dengan air mata yang setia membasahi pipinya. Dan benar saja, tunangannya yang besok lusa akan menikah ada di sini tepat di samping Ayahnya.

Carissa semakin menggeleng, tangisnya tidak bisa lagi ditahan. Sesak, sakit, semuanya … terasa menghimpit hatinya.

“Tolong … percaya padaku. Aku tidak melakukan apapun.” Bibir Carissa bergetar hebat. Namun, tidak ada satu orang pun yang percaya padanya.

“Sudahlah Tur, kau nikahkan saja dia dengan lelaki yang telah menodainya,” ucap seorang pria. “daripada putrimu menanggung malu, lebih baik kau nikahkan saja dengannya.”

Fathur mengepalkan kedua tangannya. Pria dengan pahatan keras itu menatap tajam pria yang berhasil menodai anaknya. Seorang preman di kompleknya, bagaimana mungkin ia tidak mengenali lelaki itu?

"Setiap orang memang melakukan kesalahan, tapi setiap kesalahan harus mendapatkan pertanggung jawaban! Maka dengan ini saya ... Fathur Damarsatya menyatakan bahwa putri saya yang bernama Carissa Rindiyani ... telah meninggal dunia."

Semua orang yang mendengar tercengang sudah. Apalagi teruntuk Carissa yang mendengarnya secara langsung. Perempuan itu membekap mulutnya sendiri. Menahan tangis yang kian membanjiri kelopak matanya. Lemas sudah pertahan Carissa menahan tubuhnya, perempuan itu menangis sekeras-kerasnya.

“Lakukan proses kematiannya sekarang juga!” ucap Fathur tanpa melihat putrinya yang menangis keras, apalagi melihat tubuhnya yang bergetar hebat. Pria itu melenggang pergi dengan kemarahan yang tersimpan di ubun-ubunnya.

Sakit, sesak. Bagaikan di tikam ribuan jarum besar. Bagaikan dilempari tombak yang amat runcing, Carissa merasakan itu semua. Ayahnya … seseorang yang paling ia banggakan, seseorang yang paling ia puja dan hormati. Mengatakan bahwa putrinya ini … telah meninggal dunia?

Menangis sekeras-kerasnya, tubuhnya semakin bergetar, lemas sudah semua pertahannya dalam menerima keadaan ini. Kenapa … kenapa dunia setega itu padanya?

Di depannya Carissa melihat ada seseorang berdiri di hadapannya. Dengan mata memburam Carissa mendongak, mendongak walau tau hanya air mata yang terkumpul di sana.

“Maafkan aku, Carissa. Aku tidak berniat melakukan ini, hanya saja … aku tidak ingin menikah denganmu.”

Pria itu, pria yang besok lusa akan menikahinya. Berjanji akan mengikat sebuah hubungan dalam kehalalan. Dia yang tak lain tunangannya.

“Tidak perlu kau tanyakan alasan aku menolak pernikahan ini. Kau pasti tau alasannya bukan?” ucapnya tersenyum miring.

“Kau … tidak menarik di mataku. Sama sekali tidak. Sudah gendut, cupu, norak pula. Siapa yang mau menikah dengan perempuan seperti itu? Setiap laki-laki pasti menginginkan pasangan yang enak dipandang bukan? Dan kau tau siapa yang ingin aku nikahi …” Pria itu menjeda, sedang Carissa hanya bisa menangis. Menahan rasa sesak dan sakit yang ditambah berkali-kali lipat.

“Adikmu!”

Carissa memejamkan matanya. Selalu, selalu saja adiknya yang mereka inginkan. Kenapa, kenapa dunia selalu mengucilkan dirinya?

“Aku hanya ingin menggagalkan pernikahan ini, tapi tak ku sangka. Ayahmu bahkan langsung men-cap dirimu sudah mati. Hal itu benar-benar membuatku ikut sedih.” Pria berucap dengan tatapan sendu.

“Aku pergi, semoga hari-harimu bahagia.”

Pria tidak tahu malu itu hanya tersenyum tipis. Melenggang pergi meninggalkan luka yang kian menganga di hati Carissa. Tidak peduli atas apa yang sudah dia lakukan. Hanya untuk menggagalkan pernikahan itu agar tak terlaksana, pria itu nekad memfitnah dirinya?

Sungguh. Tidak ada dunia yang lebih kejam daripada manusia itu sendiri.

Lemas. Tubuh Carissa lemas. Matanya semakin memburam, pusing sekaligus sakit terasa di kepalanya. Sampai detik berikutnya … Carissa pingsan tak sadarkan diri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status