54“Sarapan, Mas,” tawar Mentari saat Samudra melewati ruang makan pagi ini. Tadi ia sudah membuat dua tangkup roti bakar. Sengaja membuat dua walaupun tidak yakin pria itu akan pulang. “Hmm.” Hanya itu jawaban Samudra. Kemudian berlalu menuju kamar pribadinya. Mentari menggigit bibirnya. Sesuatu yang ia takutkan pun akhirnya terjadi. Sikap pria itu benar-benar berubah. Tak lagi sama seperti saat sebelum wanita itu datang. Mentari memejam, saat mendengar pintu kamar Samudra tertutup. Ia menggigit roti dengan tidak ada selera sama sekali. Tapi harus tetap ia makan. Jangan sampai karena kejadian ini membuatnya lemah. Mungkin sekarang Samudra masih lelah. Mungkin nanti setelah beristirahat akan menjelaskan semuanyaSekitar satu jam Mentari menunggu Samudra keluar dari kamarnya, tetapi pria itu tak kunjung juga muncul. Entah apa yang dilakukannya di dalam sana. Tak terhitung berapa kali ia menoleh ke arah pintu itu hanya untuk menunggu penghuninya muncul. Namun, semua masih sama. Ia m
55Mentari memejam setelah tiba di dalam benda metalik yang kini melaju turun membawa dirinya seorang diri ke bawah. Punggungnya bersandar di salah satu dindingnya. Bahkan tidak ada kata-kata lagi yang keluar dari mulut Samudra sebelum ia benar-benar pergi. Padahal ia berharap Samudra menahannya dengan sikap lembutnya, sambil meyakinkan jika dirinya akan menjelaskan kesalahpahaman di antara mereka. Namun, kenyataannya itu hanya khayalannya sendiri. Digigit bibirnya kuat-kuat untuk menahan segala sebah yang bercampur di dada. Apa arti semua ini? Pria itu benar-benar tidak menginginkan dirinya lagi? Keyakinan jika Samudra selama ini belum menikah karena menunggu seseorang, ternyata benar adanya. Karena Setelah orang yang ditunggunya itu datang, sikapnya benar-benar berubah. Sayatan terasa semakin menambah luka di hatinya. Namun, tidak lama. Wanita itu segera menegakkan tubuhnya. Lalu menarik nafas panjang berulang-ulang. Sebanyak yang ia bisa. Mensugesti diri adalah hal yang dil
56“Jadi, fix ya Kak ini sudah bisa dicetak?”“Tentu saja. Karya sebagus ini sayang sekali jika tidak sampai naik cetak. Saya yakin bukumu akan booming. Akan banyak menghasilkan pundi-pundi rupiah. Semoga kelak ada PH juga yang tertarik dan meminangnya untuk menjadi sebuah karya layar lebar.”“Amin.” Mentari menjawab singkat seraya menengadahkan kedua tangan. Sejenak lupa dengan masalahnya di rumah. “Terima kasih banyak, Kak. Terima kasih, ya,” ujarya dengan keharuan memenuhi dada. “Terima kasih untuk apa, Dek Violet? Semua ini karena kerja kerasmu, kok. Di sini saya hanya pembuka jalan saja. Kamu memang sudah hebat dan berbakat, hanya belum ditemukan untuk bisa lebih hebat lagi. Beruntungnya saya menjadi orang pertama yang bisa menemukan kamu.” Kembali Bima tersenyum.“Sebenarnya kamu belajar menulis di mana, Dek?”“Aku ikut banyak kelas menulis online, Kak. Setelah sebelumnya belajar otodidak hanya dengan membaca karya-karya orang lain.” Mentari menjawab seadanya. “Bagus, kamu ad
56“Besar juga nyali kamu buat nyelingkuhin Samudra.” Kali ini kalimat itu meluncur dari mulut Esther. “Jangan-jangan benar apa yang dikatakan Bastian selama ini kalau Om Sam itu sebenarnya tidak normal, Ma,” Novita menimpali. Esther tersenyum miring. Wanita setengah bule itu melipat kedua tangan di dada. “Apa kamu tidak takut ibu mertua tersayang kamu tahu?” tanya wanita bertubuh tinggi itu lagi dengan tatapan menilai sosok Bima yang memasang raut tidak mengerti. “Laporin aja sekalian, Ma. Biar Tari tahu rasa.” Novita terus mengompori. “Kalian ini bicara apa, sih?” Mentari memekik setelah beberapa lama larut dalam kekagetan. Ditatapnya tajam Novita dan ibu mertuanya yang mulutnya sama-sama busuk. “Jangan sembarangan bicara kalau tidak tahu yang sesungguhnya,” ujar Mentari dengan menahan kekesalan yang sebenarnya ingin meledak. Tuduhan mereka sangat kejam. Namun, ini tempat umum. Ada banyak pasang mata yang memperhatikan mereka. Lagipula, walaupun sedang marah dengan Samudra, K
58 Mentari terus membuang pandangan keluar jendela. Ya, akhirnya kini ia berada di dalam mobil Bastian yang meluncur membelah hujan menuju apartemen Samudra. Laki-laki itu berhasil memaksanya masuk setelah meyakinkan semua orang di sana yang akhirnya malah memojokkan Mentari. Beberapa malah mengatai jika dirinya adik tidak tahu diri yang menyusahkan kakaknya juga keluarga. Padahal kakaknya sudah begitu baik menyempatkan menjemput di sela jam istirahat kerjanya. Begitu pandai Bastian bersandiwara. “Om Sam ke mana? Kenapa kamu hujan-hujanan di jalan sendiri?” Bastian mulai bertanya setelah lumayan lama mobil melaju membelah hujan. “Bukankah orang seperti dia punya banyak waktu untuk menemani istrinya?” lanjutnya. Dan Mentari masih tetap dengan posisi dan sikap yang sama. Diam seribu bahasa. “Tari.” Hening. Hingga Bastian harus menarik napas dalam sebanyak mungkin entah untuk apa. “Sebenci itu kamu padaku, Tari?” Pertanyaan itu akhirnya terdengar setelah beberapa lama hanya tarikan
59“Dasar pelakor! Perebut suami orang…!” Makian dan jambakan keras membuat tubuh Mentari hampir terpelanting. Bahkan ransel yang dipeluknya sampai terjatuh menimpa kakinya. Jeritan kesakitannya pun berbaur dengan teriakan si penjambak. Untuk beberapa lama Mentari merasa tertarik ke pusaran waktu. Tak dapat melakukan apa pun. Hanya merasakan pedas dan perih di kulit kepalanya. Ia berusaha melepaskan tangan si penjambak sambil menahan kepalanya. Namun, penjambak yang seperti kesetanan, terus saja menarik-narik rambutnya ke belakang sambil berteriak memaki. “Vita, lepaskan! Apa-apaan kamu?”Bukan hanya sumpah serapah Si penjambak dan jeritan Mentari yang kini terdengar, tetapi juga suara laki-laki yang mencoba melepaskan tangan si pejambak dari rambut Mentari. Kegaduhan seketika tercipta, berbagai suara saling bertabrakan saling bersahutan. Hingga akhirnya Bastian dapat melepaskan tangan Novita dari rambut Mentari. Apalagi setelah petugas keamanan datang melerai. Namun, kegaduhan
60Mentari menutup mulutnya dengan kedua tangan agar tangisnya tidak pecah. Tadi perawat sudah mewanti-wanti agar ia tidak membuat kegaduhan dengan tangisnya. Matanya mengintip dari kaca kecil di pintu sebuah ruangan di mana di atasnya tertera tulisan ICU.Tubuhnya sebenarnya sangat lelah. Bahkan tadi hampir ambruk karena tulang-tulang bagai dilolosi dari persendian.Bagaimana tidak? Saat tiba di rumah sakit langsung disambut berita jika sang ayah mengalami pendarahan di kepalanya. Rupanya benturan keras yang mengenai kepala bagian belakang saat terjatuh di kamar mandi membuat cinta pertamanya itu mengalami cidera parah.Bahkan kini setelah tiga jam ia menunggu di sana, pria itu tidak ada tanda-tanda akan membuka mata. Masih berbaring dengan mata terpejam.Berbagai perasaan bercampur baur dalam dadanya. Cemas, takut, dan tidak rela melihat pria terkasihnya kini tak berdaya. Ia takut jika sampai hal terburuk terjadi dengan sang ayah. Bagaimana jika Tuhan mengambil juga ayahnya setelah
61“Asal kamu tahu ya, Mentari. Kalau ayahmu tercinta itu sudah bangkrut. Sudah tidak punya apa-apa. Sudah tidak bisa lagi mencukupi kebutuhanku. Jadi aku harus berusaha menutupi kebutuhanku sendiri. Karenanya aku tidak bisa terus mengurusinya.”Mentari masih mematung di tempatnya. Dadanya masih bergerak cepat, tapi ia tidak bisa berbuat apa pun. Hanya matanya yang menatap nyalang kepergian ibu tirinya bersama dua petugas keamanan.Atas negosiasi Samudra, akhirnya Yulia yang dibawa keluar petugas keamanan karena sebelum kedatangan wanita itu semua baik-baik saja.“Kita duduk lagi, ya,” ajak Samudra lagi lembut. Tangannya merangkul pundak Mentari yang masih mematung padahal ibu tirinya sudah lama menghilang di tikungan koridor rumah sakit.“Ayahmu bangkrut. Tidak punya apa-apa. Ayahmu bangkrut, Mentari.” Ucapan Yulia terus berputar-putar di kepala Mentari seolah kaset rekaman yang kusut. Bahkan saat Samudra membimbingnya untuk duduk, ia hanya pasrah. Lelembutnya entah ke mana. Ia seola