“Sial! Gara-gara Rion, aku jadi gak fokus kerja.” Setengah hari yang menurut Ama sangat lama. Bagaimana tidak, hampir 5 jam ia dibuat mati penasaran dengan maksud ucapan dari sang suami. Kini, langkahnya begitu pasti masuk ke dalam sebuah restoran di mana ia sudah janjian dengan Orion dan ayah mertua. Ia melongok, mencari keberadaan dua pria tersebut. Namun, selama mata menyusuri, tidak ia temukan keluarga barunya itu.Kenapa Orion tak menjemput? Karena Ama yang melarang. Ia begitu tak ingin menyusahkan orang lain pada saat kaki dan tangannya masih berfungsi untuk menyetir mobil. Lagipula, ia sudah biasa pergi-pergi sendiri selama ini.“Selamat datang, Nona. Apa Anda sudah buat janji?” tanya salah satu pegawai resto ketika melihatnya kebingungan di depan pintu.“Saya sudah buat janji dengan Tuan Orion,” jawabnya. “Apa mereka sudah datang?”“Baik, mari saya antar ke ruangannya, Nona.”Ama hanya mendengarkan sambil mengikuti langkah si pramusaji membawanya ke dalam sebuah lorong yang m
Ama pikir, Orion adalah lelaki berbeda dari yang lain. Kenyataannya, pria itu sama saja brengseknya dengan Edrick. “Rion itu benar-benar udah bikin mood aku hancur!” Ama menghentakkan satu kakinya kesal tepat di depan mobilnya. Parkiran terlihat sepi siang itu dan membuat Ama leluasa meluapkan emosinya. “Tau gitu tadi aku makan sendiri!” Ia menghela napas keras, lalu berbalik badan untuk membuka pintu mobil. Namun, suara Orion di belakang bahu segera membuatnya menoleh. “Amal! Tunggu dulu!” Adalah Orion Setiawan yang memanggilnya. “Biar aku antar!” Ama menepis tangan Orion. Ia lalu bersandar di badan mobil sambil bersedekap di depan dada. Tatapannya begitu bosan. “Jadi, ini yang kamu maksud tadi pagi?” Lelaki itu tak menjawab. Orion justru bertingkah seperti anak kecil yang hendak minta uang pada ibunya. Si suami memainkan ujung blazer yang dikenakan olehnya tanpa berani menatap manik coklat miliknya. Ia menepis tangan sang suami, lalu berseru tak sabar. “Jawab, Rion!” Kepala
Sesampainya di apartemen, Ama langsung melempar tas miliknya di atas sofa. Ia duduk dengan tangan sesekali memijat kening yang terasa pening. Embusan napas lelah pun tak terelakan. Baru saja ia memejamkan, suara ponselnya berdering. Sontak, decakan dari bibir merah pudar itu memenuhi ruang tamu. Dengan melawan malas dan kesal, Ama berusaha melihat si penelpon.“Siapa sebenarnya orang kurang ajar yang mengganggu waktu istirahatku? Apa dia tak tahu, kalau aku lagi kesel?” Bibirnya terus mendumel, tetapi tangan satunya tetap mencari keberadaan gawai tersebut.Setelah ketemu, Ama meliriknya. Adalah Orion Setiawan. “Cih! Masih ada muka itu orang hubungin aku!” Ia memang memutuskan tak pulang ke rumah milik sang suami hari ini. Ama butuh ketenangan setelah bergulat dengan banyak masalah hari ini. Ia juga butuh mendinginkan pikiran di rumahnya sendiri.Bayangan akan nikmatnya tidur di kamar sendiri harus terhempas karena dering ponsel. Mau tidak mau, Ama memperbaiki posisi duduknya agar le
“Kamu gak mau?” Ama tersenyum mencemooh menatap suaminya. Ia bahkan terlihat santai dengan tangan bersedekap di depan dada. “Itu hak kamu, Rion. Karena aku, gak akan pernah mau dibodohi lagi sama kamu!” “Kapan aku membodohimu, Mal?” Tangannya ditarik, lalu tubuhnya di pojokan ke dinding.“Cih! Apa kau lupa dengan semua yang telah kamu lakukan padaku dulu? Atau, kau hanya pura-pura lupa?” Ama menatap sengit lelaki itu. “Semua tak akan pernah terjadi jika kamu tak meniduriku, Bodoh!”“Tunggu dulu!” Rion segera mengkoreksi. “Bukankah kejadian itu karena ulahmu sendiri? Kalau kamu lupa, kamu yang udah merayuku, menggodaku, Amal!” Lelaki itu menyangkal dengan santai.“Tapi, lelaki yang baik tidak akan pernah tergoda, Rion!” Ama bersikeras. Ia melengos ke arah lain asal bukan mata Orion. Tatapan sang suami sungguh mematikan hingga sulit bagi dirinya mengelak.Lelaki itu tiba-tiba tersenyum menyeringai. “Jadi, aku bukanlah lelaki yang baik? Hm?”“Itu,” jedanya ragu, “k-kamu bisa menilainya
“Aku tidak pernah seyakin ini tentang sebuah hubungan, Amal. Aku tahu kita bukanlah yang pertama dalam sebuah hubungan. Tapi, aku ingin kita menjadi yang terakhir menjalin di mana hanya ada kita berdua dan juga calon anak-anak kita kelak!”Ucapan Orion bagaikan nyanyian yang selalu membuatnya terngiang-ngiang. “Anak,” gumam Ama.Jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Namun, rasa kantuk sama sekali tidak menghampiri. Ama justru terjaga setelah mereka menghabiskan malam panjang. Sementara Orion sendiri sudah terlelap di sampingnya.Ia mendongak, menatap wajah suaminya dalam diam. Pillow talk mereka semalam benar-benar berefek dahsyat pada dirinya. Jangankan untuk memejamkan mata, untuk sekedar menyerongkan tubuh saja ia enggan. Helaan napas panjang terembus begitu saja dari hidungnya. “Apakah tidak apa jika aku mempunyai anak sekarang? Bahkan, aku belum bisa mewujudkan mimpiku untuk menjadi seorang bisniswomen yang diakui oleh semua orang?”Ada ketakutan dalam hati Ama. Mengingat jik
“Kenapa kamu bisa lupa dengan janjimu?” tanya Ama tanpa melihat lawan bicaranya.“A-aku–”Kening Ama mengernyit. Ia seolah mencium ada yang tidak beres di situ. Kepalanya menoleh ke arah Orion di mana lelaki itu seperti salah tingkah. “Kau punya janji dengan orang lain tadi?”Terdengar helaan napas berat dari Orion. Kepala lelaki itu langsung menunduk penuh penyesalan. “Maaf.”Ama mengangguk dan cukup tahu saja. “Ok, kalau begitu tolong antarkan saya ke rumah sakit!” Ia langsung memalingkan wajah untuk melihat ke arah luar jendela.“Baiklah.” Suara Orion terdengar pasrah.Tiba-tiba, ponsel Orion berbunyi. Sebuah notifikasi pesan baru saja masuk dan tertulis di sana; Makasih atas makan malam….Belum selesai Ama membaca, ponsel itu sudah diambil. Ia menyeringai, lalu berbalik melihat ke arah jendela. “Aku bisa jelasin, Mal!” Suara Orion kembali terdengar. Ama menguap hingga matanya berembun. “Hem, silakan!” balasnya santai.Ama bukanlah perempuan yang suka meledak-ledak ketika marah.
Sepulangnya dari rumah ayah, Ama masuk ke dalam rumah suaminya dengan gontai. Permintaan ayah terdengar mudah, tetapi bagi dirinya begitu sulit. “Haruskah aku memaafkan dia?” Ama menghela napas sambil tetap berjalan, menenteng tas berisi minuman tradisional yang diberikan sang ayah untuknya dan suami.“Ini lagi ayah pakai acara ngasih jamu? Ya, kali kita disuruh begituan tiap hari,” keluhnya ngeri, “bisa bonyoken nanti yang ada aku!”“Amal. Amal, tunggu aku!” Panggilan dari belakang bahunya terdengar jelas.“Panjang umur kali dia,” dumelnya tak ikhlas. Ia lalu menatap pria itu bosan. “Apa, sih, Rion?”Tangannya tiba-tiba ditarik ke dalam genggaman erat. Sudah hampir seminggu mereka tak saling bertegur sapa dan hari ini, mungkin adalah waktu yang tepat karena mereka sama-sama libur.Hanya saja, Ama memilih kabur ke rumah ayahnya sejak pagi dan siang ini baru pulang. Itu pun karena desakan sang ayah jika tidak, mungkin ia masih bermalas-malasan di rumah.“Kamu dari mana aja? Kenapa ngg
Amalthea melirik ke arah samping kemudi di mana Orion tengah duduk sambil menyetir. Tujuan mereka adalah adalah kantornya. Namun, ada yang berbeda dari suasana mereka. Tak tahan, ia segera menelengkan kepalanya menghadap si suami.“Sshhh, mau sampai kapan kamu akan tetap mendiamkanku, Rion?” Ama memang suka sunyi, tapi akan berbeda jika di dekat Orion. Lelaki itu sudah mencekokinya dengan kerandoman dia. Jadi, akan sangat awkward jika mereka berada dalam satu mobil, duduk berdampingan, tetapi hanya saling diam. Ama tidak bisa dicuekin oleh Orion. Namun, pertanyaannya sama sekali tak mendapatkan tanggapan apa pun.Wah, hebat sekali lelaki brengsek di sampingnya itu.Ama menghela napas kesal saat tak mendapatkan jawaban apa pun dari Orion. “Yakh! Sebenarnya ada masalah apa sih, kamu sama aku, Rion?!” Wanita itu mulai kehabisan kesabaran.“Diamlah! Aku gak mau ngomong sama kamu!”“What!” Mata Ama membelalak tak percaya. “Seriously?” Lelaki itu hanya meliriknya sementara, lalu kembali