Semakin hari, hubungan Bara dan Cintya semakin hambar. Untuk mengusir kesedihan, Bara menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Dia bisa berhari-hari berada di luar kota, demi bisa melupakan Aisya. Bahkan, dia juga seolah melupakan Cintya. Namun, Cintya tak ambil pusing ketika harus melakukannya seorang diri. Hatinya terlanjur kebas. Ketika suami orang lain, dengan bangga mengantar istrinya periksa, tapi tidak dengan Bara. "Apa itu, Nduk?" tanya umi, yang melihat Cintya memegang satu kotak besar terbungkus plastik hitam. "Perlengkapan bayi, Mi," sahut Cintya, setelah menyerahkan sejumlah uang kepada kurir. "Dari mana?""Beli, Mi. Daripada harus keluar, mending belanja lewat ponsel." Cintya menunjukan sebuah aplikasi belanja. Umi hanya menganggukkan kepala, padahal masih bingung. Dia pernah mendengar, tapi belum melihat langsung. "Enak ya, jaman sekarang. Semua bisa dibeli tanpa harus keluar rumah," ujar umi sambil memperhatikan bungkusan yang Cintya bawa. Cintya mengajak umi masuk.
"Mau ke mana lagi, Mas?" kesal Cintya, saat Bara tengah memasukkan beberapa lembar baju ke dalam tas ransel. "Aku mau melihat perkembangan proyek. Mungkin dua hari baru pulang," sahutnya enteng. Cintya mengembuskan nafas kecewa. Jadwal persalinannya hanya tinggal menunggu hari. Bahkan, semua persiapan sudah dilakukan. Mulai dari ruangan bayi, sampai orang yang membantu merawatnya kelak. Sudah lebih dari seminggu, dia mengambil cuti, hanya untuk menyambut kelahiran bayinya. Lalu, Bara dengan entengnya pergi begitu saja, tanpa mau tahu perasaan Cintya. "Kamu lupa, kalau jadwal melahiranku tinggal beberapa hari lagi?" tanya Cintya dengan nafas tertahan. Dadanya terasa sesak. Mungkin, dulu ia bisa bersikap biasa saja, saat Bara pergi. Namun kini, dia tak bisa berpura-pura lagi. Dia membutuhkannya. Cintya hanya ingin ditemani, tidak lebih. "Tidak. Aku hanya pergi dua hari." Rongga dada Cintya semakin sesak, mengetahui kenyataan, bahwa Bara memang sengaja pergi. Padahal dia sudah tahu
Umi berjalan mondar-mandir. Mulutnya menggumam tak jelas. Cintya hanya melewati saja, tanpa berniat mengajak berbicara. Lalu, dia memilih kembali memasuki kamarnya, setelah mengambil sebotol air dingin. Selama hamil, dia hanya bisa meminum air dingin. Jika dipaksa minum air biasa, dia akan mual. Cintya melihat pesan yang ia kirim ke Bara. Tidak ada balasan. Bahkan, nomornya tidak aktif, saat ditelfon. Sekarang sudah lewat dua hari, tapi Bara belum juga pulang. Cintya kembali dilanda gelisah. Clek!Pintu terbuka. Kepala umi menyembul dari balik pintu. Tangannya menggenggam ponsel. "Lagi apa, Nduk?" "Tidak ada, Mi. Pinggangku agak pegal aja, makanya mau tiduran," sahut Cintya sambil mengurut pelan pinggangnya. "Sini, umi gosok pelan!" Cintya tidur miring. Pinggangnya gampang sekali lelah, karena beban berat di perutnya. Umi Khofsoh mengusap-usap pinggang Cintya. Dia tersenyum miris. Seharusnya, Baralah yang berada di posisi umi. "Sudah, Mi." Cintya bangun, saat dirasa lebih enaka
Cintya menarik nafas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Sejenak, rasa sakitnya bisa berkurang. Namun tak lama, nyeri hebat kembali mendera. Cintya menggigit bibir bawahnya. Rasanya seperti saat ia sedang nyeri haid, tapi bedanya, sekarang sakitnya berkali lipat. "Tarik nafas, lalu dibuang saat terasa sakit, Nduk. Umi persiapkan bajunya dulu!" "Tunggu, Mi. Minta bantuan dulu. Aku sudah enggak bisa bawa mobil.""Tidak tunggu Bara dulu?" "Sudah di mana dia?" "Umi telfon dulu!" Umi melesat masuk kamar, mengambil ponselnya. Berkali-kali Cintya membuang nafas kasar. Dia berjalan tertatih, meninggalkan dapur. Sesampainya di kamar, dia berjongkok di samping ranjang. Kepalanya bersandar di bibir ranjang. Tangannya mencengkram kuat sprei, saat perutnya seperti diremas. "Nduk, Bara katanya masih di Kotaraya," ujar umi sambil menerobos masuk kamar. "Masih jauh, Mi," rintihnya. Umi mengusap punggung Cintya. Rasanya nyaman sekali, tapi tetap saja, nyerinya belum hilang. "Mas Bara masih
Tiba-tiba, hatinya teriris. Dia begitu iri. Di saat seperti ini, yang dia butuhkan hanya dukungan Bara. Sering dia menonton di film, saat seorang istri melahirkan, di situ suaminya berperan aktif. Mulai dari mengusap punggungnya. Mengelap keringat yang berlomba keluar. Semuanya justru membuatnya merasa sakit hati. "Ibunya?" tanya suster yang tadi mendorong Cintya, kepada umi. "Iya, saya mertuanya," balas umi. "Tolong dibantu untuk ganti baju, ya, Bu!" pinta suster kepada umi. Lalu, dia menyerahkan sebuah baju, yang terbuka bagian belakangnya. Bahkan, tidak ada resleting, maupun kancing. "Semuanya dilepas ya, Bu, termasuk pakaian dalamnya!" ujarnya ramah, dengan senyum mengembang. Umi, dibantu mbah Yah, membangunkan Cintya, agar lebih mudah melepas bajunya. Awalnya dia malu, tapi suster meyakinkannya, kalau ini sesuai prosedur rumah sakit. Dengan perasaan malu, Cintya melucuti semua bajunya, diganti dengan baju berwarna krem dari rumah sakit. Baju yang panjangnya tak sampai lu
"Auh!" teriak Cintya cukup keras. Mela langsung menyeruak masuk. "Kalau sakit, berpegangan sini, Bu," ujar suster, sambil menunjukkan gagang ranjang yang terbuat dari besi. Wajah Cintya memerah, menahan malu, lantaran harus menunjukkan bagian intimnya ke dokter kandungan. "Belum saatnya," ujar dokter, sambil melepas sarung tangan yang ia kenakan."Ini sudah sakit sekali, Dok," rintih Cintya tak terima, dibilang masih lama. Padahal, pinggangnya sudah mau patah. "Anak pertama, belum lancar jalannya." Sang dokter melempar guyonan, agar pasiennya tidak tegang. Suster membantu menutup kaki Cintya dengan selimut, lalu pergi. "Mel, bilangin dokter itu, suruh cepat kasih tindakan. Aku sudah enggak tahan," omel Cintya, membuat Mela ingin tertawa keras. Namun, urung ia lakukan, karena kondisi Cintya yang sudah tak karuan.Berbagai posisi, dari miring, sampai nungging sudah Cintya lakukakan, tapi tetap saja, rasa sakitnya justru semakin bertambah. "Jangan keras-keras, di sebelah juga ada
Cintya terbaring lemah, setelah berjuang antara hidup dan mati, seorang diri. Kini, kehadiran seorang bayi mungil, menjadi penyemangat hidupnya. Air mata haru tak kuasa ia tahan, ketika kulitnya bersentuhan, dengan malaikat kecil, yang kini menjadi bagian dari hidupnya. Bayi merah, yang kini sedang mencari sumber makanannya. Umi Khofsoh tak dapat menyembunyikan kebahagiaan yang begitu memenuhi hatinya. Ingin sekali, ia segera menggendong cucunya, tapi urung. Dokter menyarankan, agar sang bayi menyusu. "Cantik sekali!" seru Mela, yang baru saja masuk.Cintya hanya tersenyum, mendengar pujian dari sahabatnya. Hilang sudah rasa sakitnya, kala mendengar tangisan pertama, dari anaknya. Suster kembali membawa bayi Cintya, untuk dibersihkan. ***Paginya, Cintya sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Mela sengaja memilihkan kamar VIP di rumah sakit ini. Cintya juga sudah berganti pakaian. Kondisinya yang masih lemah, ditambah semalam tidak tidur sama sekali, membuat matanya begitu berat.
"Malu, umi punya anak seperti Kamu!" Bara menunduk dalam. "Keluar Kamu, Mas!" usir Cintya. Andai fisiknya sudah kuat, tentu ia akan mendorong Bara sampai ke depan pintu. "Cintya!""Jangan menyentuhku!" tolak Cintya, saat Bara maju beberapa langkah. "Izinkan aku mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya, di telinga anak kita!" mohon Bara lembut. Bayi mungil, yang kini terbaring di samping Cintya, mengalihkan perhatian Bara. Ingin sekali Bara menggendongnya, tapi Cintya terus melarang. "Tak perlu! Dia tidak butuh bapak sepertimu!" "Maafkan aku!" "Jika mema'afkanmu bisa mengubah segalanya, tentu akan kulakukan, tanpa Kau minta." "Aku sudah berusaha pulang cepat, Cintya, tapi di tengah jalan, tiba-tiba pecah ban," terang Bara. Dia mengatakan yang sebenarnya. Di tengah hutan, dia harus berjuang mengganti ban seorang diri. Suasana yang gelap, agak menghambat pekerjaannya. Cintya tersenyum sinis. Dia tak mudah percaya begitu saja. Alasan yang klasik. "Apa aku harus percaya? Buka