“Siapa dia?!” Rama mencengkram wajah Jenna dengan kasar, laki-laki itu baru saja pulang dari kantornya ketika menemukan Jenna turun dari boncengan motor seorang lelaki.
“Temen, dia cuma temen Ram.”
“Jangan bohong!”
“Sumpah, dia cuma temen.” Jenna mulai terisak, ia ketakutan setengah mati melihat kemarahan Rama yang seperti ini.
“Jangan macem-macem Jenna, inget lo bisa hidup sampai detik ini karena siapa? jangan ngelunjak, ngerti?” Jenna menganggukan kepala, setelah itu jatuh terduduk sembari memegangi dadanya yang sesak karena terluka dengan ucapan Rama yang baru saja meninggalkannya.
***
“Ck…ck…ck…” Rama pura-pura tidak melihat saudara kembarnya yang sedang asik bermain game konsol di atas ranjangnya.
“Astaga, apa susahnya sih bilang kalau lo cemburu. Bilang sama Jenna, kalau lo enggak suka dia deket sama laki-laki lain terus bilang juga kalau dia pulang kemaleman dia boleh minta jemput lo kapan aja.”
“Berisik.”
“Lo bikin dia takut, kalau kayak tadi.” Kembarannya itu pasti melihat semua dari kamera pengawas yang memang diam-diam ia pasang di tempat tinggal Jenna.
“Gue bilang diem Bima!”
“Haah, bunda pasti marah kalau tau ini.”
“Kalau gitu pastiin lo tutup mulut lo yang ember itu.” ucap Rama dingin, kemudian menghilang di balik pintu kamar mandi.
Rama bukannya tidak tau kalau ia sudah keterlaluan, laki-laki itu bahkan tidak bisa menghilangkan begitu saja wajah ketakutan Jenna dari benaknya. Tapi emosi jelas bukan sesuatu yang bisa ia kendalikan, Rama selalu kesulitan mengontrol diri untuk sesuatu yang berkaitan dengan Jenna.
“Lo liat orangnya kan?” tanya Rama begitu keluar dari kamar mandi dengan rambut setengah basah.
“Siapa?”
“Ck, yang nganter Jenna pulang.”
“Oh, Enggak.” Rama melipat tangan di depan dada sembari menatap kembarannya dengan kesal.
“Seriusan, enggak liat gue. Orang dia pake helm.”
“Ck, periksa kamera ke amanan. Catet plat nomornya, abis itu lo cari tau siapa orangnya.”
“Haah, udah sih Ram. Jenna juga udah bilangkan kalau orang itu cuma temennya.”
“Laki-laki sama perempuan enggak bisa temenan gitu aja Bima, gue harus peringatin laki-laki itu supaya sadar kalau dia sama sekali enggak punya kesempatan sama Jenna.”
“Ck, posesif. Padahal pacar juga bukan.” Gerutu Bima dengan pelan meski matanya sama sekali tidak pernah teralihkan dari layar televisi di hadapannya.
“Cari tau Bim! laporin ke gue secepatnya.”
“Iya..iya, bawel lo ah. Ngalahin bunda kalau lagi kesel sama ayah.” Rama tidak menjawab.
“Tapi lo mau sampe kapan kayak gini? Cemburuan enggak jelas, posesif enggak jelas, larang ini itu. Gue kalau jadi Jenna pasti bingung dan serba salah. Lo enggak liat gimana paniknya dia kalau tiba-tiba ngeliat lo di deket dia?” Bima menghela napas ketik saudara kembarnya yang entah sejak kapan berubah menjadi temperamental itu hanya diam.
“Jenna bukan barang yang bisa lo simpen buat diri lo sendiri Ram, dia manusia yang punya kehidupan sendiri juga. Kalau lo ngiket dia terlalu kenceng, bisa aja suatu hari nanti dia lebih milih pergi.” Bima membereskan perangkat gamenya sebelum bangkit dan bersiap kembali ke kamarnya. Sebelum benar-benar meninggalkan kamar saudaranya, Bima memberikan satu petuah terakhir yang membuat Rama tidak bisa memejamkan mata hingga pagi datang.
“Kalau suatu saat nanti dia pergi, lo enggak bisa nyalahin orang lain selain diri lo sendiri Ram. Jadi hati-hati.”
“Terimakasih, selamat berbelanja kembali.” Jenna langsung menghela napas begitu pelanggan terakhirnya pergi meninggalkan minimarket tempatnya bekerja selama dua tahun ini.“Jenna, kamu udah mau selesai kan? Aku tunggu depan ya.”“Eng, Rud!” Jenna langsung menahan tangan Rudi.“Hari ini kamu pulang duluan aja, biar aku naik angkutan umum nanti.”“Ini udah mau jam dua belas malem Jen, enggak. Aku enggak akan ngebiarin kamu pulang naik angkutan umum. Bahaya, sayang.” Kata terakhir yang di ucapkan Rudi membuat pipi Jenna sedikit merona. Tapi perempuan itu dengan cepat berusaha menguasai diri.“Enggak bisa Rud, kemaren Rama liat kamu dan dia marah.” Jenna, langsung mengusap lengan pacarnya mencoba meminta pengertian.“Haah aku heran, dia mantan majikan atau justru mantan pacar kamu sih? Marah terus kalau kamu deket sama orang sampe kita harus sembunyi-sembunyi kayak gin
“Three of a kind.”“Aish!” Jenna merengut sembari membuka sisa kancing terakhir di bajunya, permainan mereka sudah berjalan sebanyak empat sesi dan Jenna selalu kalah.“Well, kesempatan terakhir.” Rama mulai sedikit kehilangan fokus, kancing-kancing Jenna yang terbuka benar-benar menyuguhkan pemandangan yang sangat luar biasa indah di matanya.“Kali ini aku harus menang.”“Let’s see.” Rama membiarkan Jenna mengocok kartu, gerakannya membuat sesuatu yang menggantung indah di dada perempuan selebor itu berayun kencang mengacaukan sisa-sisa kewarasan di dalam pikiran Rama.“Kalau aku menang, kamu harus ngizinin aku nonton besok.”“Oke.” Kartu di bagikan, Rama tidak perlu repot berfikir karena sudah pasti ia akan kembali memenangkan permainan ini.“Royal flush.” Ucap Rama sembari membuka kartu-kartunya.“Apa?! enggak mungkin.
“Jenna ada di Kelapa Dua mall.” Rama membaca pesan yang di kirimkan Bima kepadanya dengan dahi berkerut, laki-laki itu memang meminta Bima mencari tau di mana Jenna akan menonton bersama teman-teman kantornya hari ini.“Mall yang nyaris bangkrut dan kumuh itu? ngapain dia nonton di sana?”“Harga tiket bioskop di sana lebih murah.” Lagi-lagi kening Rama berkerut, laki-laki itu sama sekali tidak mengerti kenapa ada orang-orang yang mengorbankan kenyamanan hanya untuk mendapat potongan harga yang tidak seberapa.“Permisi pak, bapak sudah di tunggu pak Pandu untuk makan siang bersama.”“Batalin aja, bilang ayah kalau saya mau makan di Kelapa Dua Mall hari ini.”“Ta..tapi pak.” Sekretaris Rama jelas kebingungan, karena atasannya yang sangat pemilih itu tidak akan bisa menemukan makanan apapun yang sesuai dengan seleranya di mall kumuh tersebut.“Enggak usah banyak tapi,
“Udah cukup seneng-senengnya Jenna?”“Ra.. rama.” Jenna tanpa sadar menjatuhkan ice cream yang baru saja di belinya begitu melihat Rama berdiri menjulang di belakangnya.“Cih, makanan sampah apa yang lo makan ini?” tanya Rama sembari menginjang cone ice cream di lantai.“Kalau lo mau Ice cream, harusnya bilang. Gue bisa beliin lo ice cream premium yang biasa kita makan di rumah.”“Oh, lo belum ngenalin gue sama temen baru lo ini. Apa harus gue sendiri yang nyari tau dia siapa?” Jenna langsung gelagapan, urusannya pasti akan panjang nanti.“Dia… temen Ram. Kenalannya Leni.” Rama tidak akan begitu saja percaya.“Lo udah pinter bohong ya sekarang.”“Ram..”“Pulang!” Rama langsung menarik tangan Jenna dengan kasar, Rudi yang tidak terima kekasihnya di perlakukan sekasar itu jelas protes.“Jangan main kasar
“Di sini?” Rama mengecup singat tulang panggul Jenna, sedangkan perempuan itu hanya menggeleng pelan. Rama benar-benar membuatnya kelelahan hari ini.“Ah, kalau begitu di sini?” Kali ini Rama mengecup bagian di bawah panggul, sembari sesekali memberikan gigitan pelan.“Ram, udah ya. aku cape.”“Sttt, masih banyak tempat yang belum gue tandain Jenna.”“Ram..” Jenna melengkungkan tubuh, sama sekali tidak siap dengan serangan yang di berikan Rama dengan tiba-tiba. Tanggan Jenna terulur ke atas, mencari pegangan saat Rama lagi-lagi membuat tubuhnya tersentak kuat.“Sttt, Ram. Emh..”“Kalian juga melakukan ini?” Jenna menggeleng, mulutnya tidak lagi bisa di gunakan selain untuk mendesah dan merengek agar lama memperhalus gerakannya.“Jangan coba-coba Jenna, atau lo bakal tau gimana rasanya neraka di dunia.”“Eng! Ramh.. Rama!”
Jenna terbangun dan langsung terkesiap, seluruh tubuhnya benar-benar terasa nyeri sekarang. Wajah oriental Jenna juga langsung menegang begitu mendapati jam di atas nakas menunjukan pukul setengah satu siang, ia sudah sangat terlambat untuk bekerja.“Arh! Ck, pasti potong gaji lagi.” Gerutu perempuan itu dengan sebal sembari meremas-remas bed cover yang menutupi tubuh telanjangnya dengan gemas.“Kenapa enggak ada yang banguni aku sih.”“Kami bisa kena masalah kalau tuan Rama sampai tau.”“Astaga!” Jenna spontan memegangi dadanya, ia terkejut karena tidak mengira ada orang lain di kamar itu.“Ck, bu Asih! Kasih tanda dong kalau ada di kamar ini juga, aku kan kaget. Untung eggak jantungan.” Perempuan paruh baya yang di panggil bu Asih hanya tersenyum kemudian bergerak membuka tirai, cahaya yang masuk langsung membuat mata Jenna sakit.“Kamu mau tirainya di tutup lagi?”
Rama langsung menaikan alis, begitu melihat Bima sudah duduk dengan tidak sopan di atas sofa kamarnya. Di hadapan kembarannya itu juga ada Jenna, yang masih merengut sama sekali tidak mau nenatapnya.“Ck..ck.. kayaknya wakil presiden direktur kita ini punya banyak waktu luang ya sampai bisa pulang di waktu istirahat yang mepet banget ini.” Ucap Bima sebelum memindahkan lima tusuk sate bebek ke piringnya sendiri.“Berisik.”“Bim! Jangan di abisin, kamu udah makan banyak tadi.”“Duh, lo minta lagi aja nanti sama Hubert.”“Bima.” Satu terguran dari Rama membuat Bima meletakan kembali tusuk sate yang sudah di genggamnya, laki-laki itu menyerahkan piringnya kepada Jenna dengan wajah merengut.“Pelit.” Desisnya sebal.“Kamu udah makan dua puluh tusuk tadi, aku baru sepuluh tusuk sama yang ini.”“Argh! Telefon Hubert dong, suruh beli sate bebek i
Rama mengunci pintu kamarnya dengan cepat, di belakangnya Hubert hanya diam dan menyerahkan troli berisi piring sisa makanan Jenna kepada pelayan perempuan yang menunduk di sampingnya. Mereka semua menutup mata pada jeritan dan tangisan permintaan tolong Jenna yang tidak ingin di kunci di dalam kamar.“Awasin Jenna dari kamera pengawas dan jangan biarin sembarangan orang masuk ke kamar ini.” ucap Rama dengan dingin, laki-laki itu juga sudah mengamankan beberapa benda pecah belah dan juga benda-benda tajam di dalam kamarnya, ia khawatir Jenna akan mencoba melukai dirinya sendiri untuk mewujudkan ucapannya mengembalikan ‘kehidupan’ yang sudah keluarga Sore berikan untuk perempuan itu.Jenna adalah anak perempuan yang tidak sengaja di temukan Maira di jalanan, anak perempuan dengan wajah oriental itu sedang berusaha melarikan diri darikejaran beberapa preman ketika akhirnya nyaris tertabrak mobil yang di tumpangi oleh nyonya keluarga Sore. Maira da