All Chapters of Wonderstruck: Chapter 71 - Chapter 80
281 Chapters
Trouble [3]
Marco maju dua langkah, membuat genggamannya pada tanganku pun terlepas. Di saat yang sama, efek serudukan banteng di perutku pun mereda. Aku bisa memindai kerut di kening Marco, mungkin berusaha mengenali Nilla. Namun dokter meminta kami semua untuk tidak bicara dulu karena beliau ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada Nilla.Beberapa saat kemudian, kami cuma mendengarkan dokter mengajukan beberapa pertanyaan pada Nilla dan mencatatnya di kartu pasien. Dokter akhirnya memastikan bahwa Nilla menderita kurang gizi. Selain itu, tidak ada masalah serius. Seperti dugaanku, gadis itu memang baru dipukuli. Untungnya tidak ada tulang yang patah atau cedera yang harus mendapat perawatan serius. Untuk itu, dokter meresepkan vitamin dan obat luar untuk mengobati luka-luka yang diderita Nilla.Begitu kami keluar dari ruang praktik dan menunggu obat disiapkan oleh perawat, Marco menelepon ke Puan Derana. Dia meminta untuk dijemput. Cowok itu berencana membawa Nilla ke tempat it
Read more
Trouble [4]
Air mataku nyaris tumpah. Untungnya saat itu Levi datang, sehingga perhatianku teralihkan. Cowok itu menyerahkan kantong plastik berisi belanjaan kepadaku.“Kamu nggak bakalan dipaksa kerja kayak gitu lagi di Puan Derana,” kata Marco. “Aku juga nggak akan menipumu. Di Puan Derana, ada banyak perempuan yang tinggal di sana dan bisa jadi temanmu. Kamu beneran bisa belajar macam-macam di sana.”“Kalau gitu, aku mau,” putus Nilla tanpa ragu.Aku mengangsurkan roti kepada Nilla. Sementara Levi melepas pembungkus sandal jepit. “Makan dulu ya, Nilla. Setelah itu, baru minum vitaminnya.”“Maaf ya, Kak. Sandalnya hilang sebelah.” Nilla menatapku dengan sorot bersalah. Dia mulai menggigit rotinya dengan perlahan.“Nggak apa-apa. Jangan dipikirin, itu cuma sandal.” Aku membuka segel botol air mineral. Nilla sudah menghabiskan roti suapan pertamanya. “Nih, minum dulu.”&
Read more
Speechless [1]
Perjalanan menuju Puan Derana nyaris kulewatkan dalam diam, hanya menjadi pendengar. Cuma sesekali aku merespons. Itu pun jika memang dibutuhkan. Bukan karena masih terlalu terkesima oleh efek pegangan tangan Marco, lho! Melainkan alasan lain yang berkaitan dengan Nilla.Aku duduk di jok tengah, diapit oleh Marco dan Nilla. Sementara Levi memilih berada di sebelah kiri sopir yang disapanya dengan “Pak Awan”. Saat kami duduk semobil itulah banyak sekali pengalaman mengerikan yang dibagikan Nilla pada semua orang. Membuat bulu kudukku meremang dan berkali-kali harus menahan air mata.“Makasih ya, Kak. Kalau tadi Kakak nggak ada, aku pasti nggak akan ketemu Marco,” kata Nilla padaku, saat mobil baru saja bergerak.“Nggak perlu bilang makasih. Karena aku nggak ngapa-ngapain, La. Kebetulan aja kita bisa ketemu,” ucapku.“Kenapa manggil ‘Marco’ doang, La? Bang Marco, harusnya,” sergah Levi diikuti tawa
Read more
Speechless [2]
“Udah delapan bulan, Co. Awalnya, aku disuruh ke Medan. Karena katanya aku bakalan sekolah sambil kerja di sana. Baru sehari di Medan, tau-tau aku dibawa ke sini. Waktu itu, ada tiga orang cewek lain yang juga sama kayak aku. Sampai di sini, kami diajak ke salon untuk potong rambut. Dibeliin baju, parfum, sepatu, sampai tas. Aku kan cuma bawa pakaian seadanya, nggak terlalu bagus juga. Karena keluargaku hidupnya susah. Jangankan beli baju bagus, untuk makan aja kesulitan, Co.”Perasaanku makin tak keruan. Apalagi ketika Nilla bercerita tentang hari-hari yang harus dilaluinya selama berada di kota kesayanganku ini. Nilla dilarang menghubungi keluarga, belum lagi keharusan untuk melayani sejumlah pria hidung belang setiap harinya. Jika ketahuan membangkang, harus siap mendapat hukuman. Masih menurut Nilla, dipukuli sudah menjadi hal yang lumrah baginya dan teman-temannya.“Kami berdelapan, semua tinggal satu rumah kos-kosan. Bos dan istrinya yang jadi i
Read more
Speechless [3]
Gurauan Levi mencairkan ketegangan yang terentang di udara. Tawa geliku pun pecah. Begitu juga dengan Marco dan Nilla.“Kurasa, kami semua memang kekurangan gizi, Bang. Bukan cuma aku aja,” gumam Nilla setelah tawanya reda. Suara lirihnya membuatku makin sedih. “Karena tiap hari kami cuma dikasih makan maksimal dua kali. Itu pun lebih sering pakai tahu, tempe, atau tumisan sayur doang,” imbuh gadis itu lagi.Levi meringis sambil kembali menoleh ke belakang. “Umurmu berapa, sih?”“Baru masuk enam belas tahun, Bang.”“Enam belas?” ulang Levi, tak percaya. Tatapan tak berdayanya kemudian diarahkan kepadaku. Sementara aku cuma bisa menggeleng pasrah, tanda tak habis pikir.“He-eh. Aku anak sulung, punya adik tiga. Makanya pengin sekolah supaya bisa biayain adik-adikku. Aku nggak mau hidup susah terus.” Nilla menghela napas. Kepalanya menempel di bahuku. “Selama di sini, semua
Read more
Speechless [4]
“Aku mau cuci muka dulu, ya?” kata Levi, memecah kesunyian. “Butuh air dan udara segar supaya tetap waras. Aku salut sama kamu, Co. Udah sering ketemu cewek-cewek kayak Nilla, tapi kamu bisa tetap santai.”“Santai apaan? Kepaksa, tau! Karena aku nggak boleh pingsan atau muntah di depan mereka. Yang ada, mereka malah nggak mau terbuka kalau aku kagetan,” Marco beralasan.Levi mengacungkan jempol kanannya. “Marco memang nggak ada lawan. Beruntung kamu Nef, punya pacar langka kayak gini. Sebelas dua belas sama orang utan. Harus dilestarikan. Jadi, tolong jangan sakiti sahabatku, ya?”“Astaga,” aku mengerjap. Sementara Marco hanya geleng-geleng kepala, tak sanggup marah pada Levi yang sudah menjauh dengan langkah-langkah panjang. Marco sempat berbalik untuk kembali ke mobil. Dia mengambilkan tas selempangku yang masih tergeletak di jok mobil, sebelum menutup pintunya. Aku bahkan lupa sudah meninggalkan task
Read more
You Are [1]
Banyak yang terjadi dalam hidupku selama liburan semester ini. Mulai dari menunggui kelahiran Noni hingga membantu menyelamatkan Nilla yang kini menetap di Puan Derana. Tiap kali aku ke sana, gadis itu langsung menemuiku dengan wajah semringah. Eh, jangan lupa hal terpenting yang juga terjadi padaku. Yaitu, memiliki pacar.Kondisi Sonya sudah membaik. Dia tak lagi mengurung diri di kamar. Meski tak pernah menyusui Noni karena ASI-nya tak lagi keluar, gadis itu makin rajin menggendong putrinya. Sonya bahkan sudah ahli mengganti popok, membuat susu, hingga menenangkan Noni jika rewel. Itu fakta yang sangat menggembirakan.“Kayaknya pelan-pelan Sonya mulai bisa menerima Noni ya, Co,” kataku pada Marco. Cowok itu mengangguk untuk membenarkan.“Memang. Perkembangannya pelan tapi bagus. Semua orang senang karena Sonya sekarang lebih tenang dan santai. Keliatan juga kalau dia mulai sayang sama Noni,” ujar Marco.“Iya. Aku ikut hepi
Read more
You Are [2]
Aku benar-benar bersyukur karena tidak ada kendala berarti. Dosen pembimbingku adalah Bu Tiur Sidabutar yang gampang dihubungi dan tak pernah keberatan jika diajak berdiskusi. Beliau orang yang sangat kooperatif dan selalu bicara dengan suara lembut. Tanpa bermaksud rasis, itu adalah fakta yang bertolak belakang dibanding tipikal orang Batak pada umumnya, terutama yang tinggal di Sumatera Utara. Aku sendiri yang sama sekali tak memiliki darah Batak, tak bisa bicara dengan suara pelan.Bu Tiur bukan tipe dosen rewel yang banyak menuntut. Judul, tema, dan isi bab yang kuajukan langsung disetujui. Hanya ada sedikit koreksi agar isi skripsiku lebih fokus dan tajam, tidak melebar ke mana-mana.Sebenarnya, aku sempat cemas setengah mati sebelum semester baru dimulai. Pasalnya, aku sudah mendengar banyak cerita horor dari kakak tingkatku di masa lalu, tentang kesulitan menyusun skripsi. Seringnya terganjal pada restu dosen pembimbing. Bahkan, menentukan judul saja bisa memaka
Read more
You Are [3]
“Aku ceroboh luar biasa hari ini. Beberapa kali aku malah kayak ngasih poin untuk Dito. Kontrol bolaku pun jelek. Tadi kamu liat sendiri, kan? Lebih dari sekali kubiarin bola jatuh di lapangan karena mengira posisinya ada di luar garis. Ternyata nggak. Netting-ku pun parah, gagalnya terlalu sering.”“Aku nggak setuju. Buatku, kamu udah berusaha semaksimal mungkin. Berjuang mati-matian. Kadang, faktor X memang nggak bisa dijelasin, Co. Hari ini, Dewi Fortuna berpihak sama Dito,” gumamku pelan.Cliff yang datang menonton bersama Joyce, memiliki cara yang lebih jitu untuk menghibur Marco. Setelah kami meninggalkan gedung olahraga sore itu, dia mentraktir kami semua untuk makan malam. Awalnya, cowok itu mengusulkan untuk makan di restoran steak yang baru dibuka. Lokasinya tak terlalu jauh dari toko roti legendaris di Pematangsiantar, Roti Ganda. Namun, Levi menolak usul itu mentah-mentah.“Ngapain sih makan steak
Read more
You Are [4]
Kami akhirnya makan malam di restoran padang yang letaknya tak terlalu jauh dari kampus, duduk berenam mengelilingi meja yang dipenuhi makanan menggiurkan. Sebenarnya,  restoran berlabel Lamak Bana itu tidak khusus menyajikan menu ala padang. Melainkan juga masakan melayu. Namun, para cowok memilih tempat itu dengan alasan jaraknya yang tak terlalu jauh.Karena itu, aku menyantap sayuran berbeda. Alih-alih mencicipi daun singkong rebus dan gulai kapau, aku  memilih anyang pakis yang juga tersedia.Setelah mulai makan, barulah aku tahu alasan Levi mengajukan usul yang sempat ditentang Cliff tadi. Baru paham juga mengapa mereka memilih Lamak Bana yang notabene menyiapkan masakan yang tak terlalu pedas untuk lidahku.Marco memang tak punya waktu untuk terus memikirkan kekalahannya dari Dito karena cowok itu terlalu sibuk melawan rasa pedas di mulutnya. Menyantap komposisi nasi padang dengan rendang daging sebagai lauk utama yang sengaja dipilihkan oleh Yu
Read more
PREV
1
...
678910
...
29
DMCA.com Protection Status