All Chapters of Berawal dari perjodohan: Chapter 1 - Chapter 10
31 Chapters
Menolak dijodohkan
Kediaman Keluarga Susanto, “APA? Dijodohkan? Ben nggak mau. Ini zaman apa, Pa, Ma? Yang bener aja masih main jodoh-jodohan. Pokoknya Ben nggak bakalan terima dijodohin, titik." Ben Sander Susanto menolak keras hendak dijodohkan oleh kedua orang tuanya. "Tapi ini demi kebaikanmu, Ben. Kamu harus menikah dengan Caroline," tanggap Ernanda. "Ben nggak mau, Ma. Siapa lagi Caroline, Ben nggak kenal. Gimana bisa Ben menikah sama perempuan yang nggak Ben cintai sama sekali? Kalaupun Ben harus menikah, Ben hanya mau nikah sama Gaby, pacar Ben," tolaknya sekali lagi. "Tidak! Sampai kapanpun Mama nggak akan pernah merestui hubungan Kamu dengan Gaby. Gaby bukan wanita baik-baik, Caroline lebih cocok untukmu, percaya sama Mama." "Mama selalu saja bicara seperti ini, Mama selalu jelek-jelekin Gaby. Memangnya apa salah Gaby sih, Ma? Gaby juga wanita baik-baik kok. Wanita yang mencintai Ben, dan satu hal lagi yang paling penting, Ben juga mencintai Gaby."
Read more
Menemukan Kejanggalan
"Tunggu, tunggu ... j-jadi, Tante Nanda sama Om Tristan mau menjodohkan Kamu dengan perempuan pilihan mereka? "Iya, Sayang, tapi aku menolak, aku hanya mau denganmu saja," ujar Ben menatap kedua mata Gaby.  Gaby tersenyum kaku identik dengan senyuman yang dipaksakan. "Terus, setelah ini apa yang akan Kamu lakukan?" Tepatnya dia sedang memikirkan Ben yang sudah tidak memiliki apapun lagi. "Aku akan coba cari kerja. Memulai semuanya dari nol. Kamu mau mendukung aku, kan?" Gaby memalingkan wajahnya sejenak, dan berkata tanpa mengeluarkan suara, "what?" Kemudian berbalik lagi menghadap Ben, dan berusaha tersenyum senormal mungkin. "Apa Kamu yakin mampu melakukan semua itu?" tanyanya lagi. "Tentu saja. Aku ingin membuktikan ke mama sama papa aku kalau aku bisa tanpa mereka. Kamu mau kan, Sayang ... memulai semuanya dari nol sama aku?" ulang Ben. Gaby mengangkat kedua alisnya, dengan ekspresi sedikit aneh, tapi tetap ber
Read more
Terpaksa menerima perjodohan
Suara erangan semakin terdengar jelas saat ia memasuki kamar, perasaan Ben mulai tidak nyaman. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi di depan sana, tepatnya di balik sofa bed yang terhalang sandaran. Ben terus melangkah pelan sembari menyiapkan diri untuk menerima kenyataan jika saja dugaannya memang benar. Jujur saja otaknya sudah kemana-mana saat ini. Dan ... “Gaby!?” sergah Ben. Matanya melotot seketika saat ia sungguh melihat Gaby sedang berduaan dengan pria lain di balik sofa bed. Pria yang sedang menindih Gaby nampak segera beranjak. “Be-Ben ….” Gaby jauh lebih terkejut, ia segera meraih apa saja yang ada di dekatnya untuk menutupi bagian sensitif tubuhnya. “Kau …," sebut Ben tertahan. Ia marah sekali tentunya. "Kau keterlaluan!" bentaknya kemudian. "Aku nggak nyangka, Kau tega berbuat begini sama aku.” Ben menatap tajam Gaby dan kekasih gelapnya itu bergantian. Gaby segera beranjak menghampiri Ben. Ia meraih lengan Ben, dan berkata, “maafk
Read more
Mengunjungi Kediaman Caroline
Ben sangat mencintai ibunya, apapun akan dia lakukan demi keselamatan ibunya. Walaupun rasanya sangat tidak masuk akal, permintaan ibunya itu jelas-jelas tidak ada hubungannya dengan penyakitnya, Ben tetap memilih mengalah. Mendengar jawaban putranya itu, Ernanda sontak membuka kedua matanya, “benarkah?" Ben menanggapu dengan mengangguk pasti. Ernanda pun menyudahi dramanya dengan beranjak segera dari posisi baringnya memeluk Ben membuat putranya itu tersadar seketika ternyata dia sudah dikerjai oleh ibunya. "Makasih ya, Ben sudah mau menerima perjodohan itu," ucapnya Ernanda tersenyum bahagia. *** Minggu pagi, Keluarga Susanto sedang mempersiapkan diri akan mengunjungi kediaman Caroline. Mereka akan meramal gadis itu untuk putra mereka. Namun sebelum menempuh perjalanan yang cukup jauh ini, mereka sarapan terlebih dulu. Hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit saja bagi mereka untuk menuntaskan aktivitas makan pagi. Usai itu, mereka p
Read more
Salah mengartikan
Caroline terbengong sejenak di depan pintu. Dia baru saja tiba di rumah, dan tanpa sengaja mendengar ucapan Tristan yang menyebut kata perjodohan. Namun ia tidak langsung menanyakan perihal tersebut seolah-olah ia tidak mendengar apapun. “Eh, Carol … kamu sudah pulang, Nak?” Anita beranjak dari tempat duduknya namun tak melangkah, melainkan Caroline yang menghampiri perkumpulan kecil itu. Keadaan sedikit menghening saat ini. Tap tap tap. Perlahan, Carol melangkah memasuki rumahnya, langkahnya langsung tertuju ke arah ruang tamu. Tiba di dekat meja tamu, Carol menatap Ben penuh arti, Ben melirik Carol kilas kemudian segera beralih pada layar pipih yang masih menyala. "Yang bener saja, jadi dia cewek yang akan dijododin ke gue? Ya ampun, cewek kampungan begini akan dijodohkan ke gue? Apa kata dunia?" batinnya tak terima. “Hai, Sayang, ternyata Kamu sudah bertumbuh jadi wanita cantik,” puji Ernanda yang membuat Ben mengernyitkan wajahnya sambil
Read more
Jalan bareng
“Ben nggak capek, mau jalan-jalan di luar saja,” ujar Ben “Kalau begitu, biar Carol yang menemanimu, Nak Ben,” saran Galih yang membuat Carol mengangkat kedua alisnya. Ben melirik Caroline sekilas, lalu bersuara, “tidak perlu, Om. Ben bisa sendiri kok.” “Jangan, nanti Kamu tersesat. Biar Carol saja yang menemanimu, Nak Ben,” sambung Anita. “Iya, bener. Kalian berdua juga bisa saling mengenal lebih dekat. Pergilah sama Carol, Ben.” Ernanda ikut bersuara. Ben pun terdiam sekarang. Apalagi Carol juga sejak tadi hanya diam saja. Ben tak memiliki alasan untuk terus melakukan penolakan. “Ben keluar dulu ya, Ma, Pa.” Ia memilih pamit segera, lalu berbalik secepat mungkin tanpa menjawab setuju atau tidak akan saran para orang tua itu. Sementara pastinya Caroline masih terdiam di tempat, dia tidak tak tau harus melakukan apa sebab tak ada jawaban dari pria itu. Ernanda segera memberi kode padanya supaya gadis polos itu mengejar Ben yang
Read more
Ben Sander mesum
Ben dan Carol berjalan saling berdampingan. Saat mereka berdua tiba di depan dekat rumah, Galih dan Anita tak sengaja melihat mereka. Kedua orang tua Carol saling menatap, lalu tersenyum bersama. Mereka senang melihat kedekatan pasangan itu. Sejujurnya, ayah dan ibu Carol juga mengharapkan Carol mau menerima perjodohan itu. Hanya saja mereka tak ingin memaksakan kehendak, sehingga memberikan hak pada putri mereka untuk memilih. Pastinya mereka sangat berharap bisa besanan dengan sahabat mereka. "Ma, Pa ...," sapa Carol. Sedangkan Ben tersenyum tipis seraya mengangguk sopan. Perubahan sikap Ben sangat jauh berbeda setelah pulang dari jalan-jalan. Anita memperlebar senyumannya, "Kalian sudah kembali?" sambutnya. "Tadi, apa kehujanan?" tanya Anita sambil memegang kedua tangan Caroline. Carol ikut tersenyum, bahkan menyerupai tawa kecil, "Mama ada-ada saja. Iya nggaklah, Ma. Kalo kami hujan-hujanan, ga mungkin masih kering begini, kan?" "B
Read more
Keraguan Caroline
Beberapa saat kemudian, aktivitas makan malam pun usai. Caroline masih saja bergulat dengan pikirannya yang tak berkesudahan. Carol tampak sangat gelisah hingga membuat Anita sedikit heran. “Carol, Kamu kenapa?” tanyanya. Deg! “Hah? hmm … ti-tidak apa-apa,” jawab Carol gelagapan. Anita mengerutkan dahinya sembari mengedarkan pandangannya melirik ke yang lain. Kini, tak hanya Anita yang heran dengan sikap Carol yang demikian, semua yang ada di meja makan ikut merasa heran, lebih-lebih si Ben. Semua mata menatap Carol, membuat Carol sedikit terintimidasi. “Atau jangan-jangan, Kamu sakit?” khawatir Ernanda. “Nggak kok, Tan. Aku hanya ….” “Hanya apa, Carol?” sambung Galih. “Tidak biasanya Kamu bersikap seperti ini,” sambungnya. “Aku … aku mau ….” Carol menghentikan ucapannya, tatapannya tertuju pada Ben yang juga sedang melihat ke arahnya. “Mau apa, Carol?” tanya Anita penasaran. “Hmm ... Um ….” Sika
Read more
Terima atau tidak?
Ernanda dan Caroline telah mencapai ambang pintu. Anita yang baru selesai menyiapkan bingkisan muncul dari arah dapur. “Nanda, ini untuk kalian!” ucap Anita seraya menyodorkan sebuah bingkisan yang terbungkus rapi di dalam sebuah dus kecil seukuran dus mie instan.  “Ya ampun, Nit … tidak perlu serepot ini,” tanggap Ernanda sambil menyambut pemberian Anita. Ernanda juga melirik dus yang terlakban sempurna itu sekilas. “Nggak apa-apa, Nanda. Maaf, hanya bisa memberikan ini saja,” jawab Anita sambil tersenyum. “Ya ampun, ini juga sudah banyak. Seharusnya Kamu tidak perlu melakukan ini,” “Kamu ini, ini bukan apa-apa. Hanya sedikit jajanan murahan saja. Lagian kalian pulang secepat ini, ini pun masih untung kebetulan ada stok di dapur,” “Makasih ya, Nit. Aku juga lupa menyiapkan sedikit oleh-oleh untuk kalian tadi.” Ernanda menggaruk-garuk kepalanya dengan jari telunjuknya merasa tak nyaman. “Tidak apa-apa, Nanda. Kalian sudah
Read more
Booking kamar
Panggilan tersebut tak lain adalah dari Gaby. Ben masih marah pada kekasihnya itu, ia mengabaikan panggilan tersebut. Dia lebih memilih kembali menatap layar komputer di hadapannya. Kali ini Ben tak lagi melanjutkan pekerjaannya, sudah terlalu lama dirinya menatap layar,  kedua matanya bahkan terasa perih.  Ben sedang menyimpan data yang ia kerjakan, juga menyimpan beberapa file hasil tulisannya pada masing-masing folder tanpa lupa memberikan nama. Usai itu, Ben mematikan perangkat perangnya satu per satu. Dari LCD, berlanjut pada CPU. Drrrt … drrrt. Baru saja Ben menekan tombol on off pada CPU, benda persegi miliknya kembali bergetar. Tentu saja peneleponnya masih sama dengan yang tadi, yakni Gaby. Huuuh! “Mau apa sih dia?" Ben menatap layar yang menyala cukup lama kali ini. Dia sebenarnya sedikit merindukan Gaby, hanya saja dia juga sangat sakit hati pada Gaby. Tit! Ben mereject panggilan dari Gaby.
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status