Semua Bab Andai Semua Berbeda: Bab 161 - Bab 170
237 Bab
160. Tidak Ada Pilihan
Arnon terus mendengar penjelasan Riko mengenai perkembangan masalah yang terjadi di resto luar kota yang masih belum tuntas. Ternyata tidak bisa teratasi oleh menajer yang dipercaya di sana. Mau tidak mau Arnon harus berangkat ke sana. "Oke, Riko. Aku tidak punya pilihan. Besok aku pergi. Jam tiga sore aku kita ketemu, menyiapkan apa yang perlu." Arnon menutup telpon. Fea yang ada di sisi Arnon mendengarkan dan mulai mengambil kesimpulan. "Kamu akan pergi?"  "Ya, kuharap bisa dalam tiga hari aku urus semua. Walaupun aku ga yakin." Arnon jelas jadi tegang dan gelisah.  "Jangan pergi sendiri, Ar. Bawa teman. Dengan begitu kamu ada teman bicara di jalan. Please ..." Fea mengusulkan ini karena Arnon baru sehat. Fea sedikit kuatir situasi ini akan membuat tekanan Arnon akan kembali naik. "Iya, Sayang, aku akan bawa satu pegaai menemani." Arnon menoleh pada Fea, memastikan dia mendengar permintaan istrinya. Jalanan yang ramai membu
Baca selengkapnya
161. Ketegangan Mulai Memudar
Matias memperhatikan Arnon yang tidur dengan pulas. Sebenarnya kasihan juga kalau diganggu. Tapi mau bagaimana lagi. Pria itu melangkah ke ranjang Arnon dan menepuk pundaknya beberapa kali. "Pak Arnon, Pak ..." Matias bicara pelan, takut membuat Arnon terkejut. Arnon tidak bergerak. Lagi, tangan Matias menepuk pundak Arnon lebih keras.  "Pak, Pak Arnon, maaf, Pak ..." Matias sedikit mengeraskan suaranya. Arnon menggeliat, dia memiringkan badan lalu membuka mata. Matias tepat di depannya memandang dengan wajah tegang. Arnon bergegas duduk. "Hei, kenapa?" "Dari Pak Manajer." Matias menyodorkan ponsel yang dia genggam. Masih dengan mata berat Arnon menerima telpon itu. Mendengar kabar dari resto Arnon langsung melebarkan mata. Kantuknya dengan cepat menghilang. "Oke, aku akan sampai setengah jam lagi." Arnon menutup telpon. Wajah Arnon berubah tegang juga. "Berangkat, Pak?" Matias berdiri. "Ya, tidak ada waktu
Baca selengkapnya
162. Aku Segera Pulang
Sesuai rencana, Fea membawa si kembar pulang ke rumah besar selesai sekolah hari itu. Arfen dan Fernan langsung menuju ke taman samping, ke playgroung yang ada di sana. Seperti tidak ada lelah, mereka berlarian dan naik turun di perusutan. Pindah ke ayunan, lalu main jungkat-jungkit. Suara teriakan mereka membahana memenuhi seluruh area."Aku seperti melihat Arnon kecil. Dia sangat aktif, tidak kenal lelah. Sampai kemudian sakit asma mendera. Jika ingat saat-saat itu, masa-masa yang sulit harus Arnon hadapi." Arnella memandang pada kedua cucunya yang masih bermain dengan gembira. Dia dan Fea duduk di teras samping sambil memperhatikan keduanya."Tidak mungkin aku lupa, Ma. Arnon sangat menderita. Dia ingin berbuat banyak tapi tubuhnya lemah. Bersyukur akhirnya dia bisa sehat." Fea juga kembali terkenang bagaimana di masa kanak-kanak, dia terus di sisi Arnon, mendampingi waktu Arnon sakit."Dan sayangnya di situasi itu, kamu dan nenek kamu yang lebih sering bersa
Baca selengkapnya
163. Kabar Mengejutkan
Pagi datang. Segera Fea menghubungi Arnon memastikan semua baik-baik. Sebenarnya Fea hanya ingin yakin mimpi buruknya hanya bunga tidur yang tidak menyenangkan dan tidak ada hubungannya dengan Arnon."Aku baik-baik, Fea. Aku bangun pagi, berdoa, buat kamu dan anak-anak, buat semua yang kita sayangi, dan juga apa yang kita hadapi. Aku siap menjalani hari ini." Jawaban Arnon sangat melegakan Fea."Oke, Ar. Semoga semua lancar. Hari ini aku dan anak-anak akan jalan-jalan dengan Pak Riko. Dia akan menjemput jam sembilan." Fea memberitahu rencana mereka hari itu."Baguslah, nikmati semuanya. Be happy. Cium yang banyak buat si kembar. Love you much." Arnon mengucapkan sayang dengan sepenuh hati, lalu dia mengakhiri panggilan itu.Semua baik, semua aman. Fea pun tenang. Hari itu menjadi hari yang penuh kegembiraan. Seperti janjinya, Riko datang bersama istrinya, menjemput si kembar pergi ke tempat bermain. Riko benar-benar memanjakan si kembar. Apa saja yang mer
Baca selengkapnya
164. Semua Karena Dosaku!
Fea berdiri di depan ruang gawat darurat tempat Arnon dirawat. Jantungnya berdetak begitu cepat. Tubuhnya seolah lunglai dan tak bisa bergerak. Di atas ranjang, Arnon terbaring, tak berdaya. Matanya terpejam dengan luka-luka di sekujur tubuh. di kedua tangannya jarum infus menopang agar dia bisa bertahan. Kepalanya dibalut hampir seluruhnya. Dia pucat, tak sadarkan diri. Sementara bernafas pun dia memakai alat bantu. "Bu Fea ..."  Fea menoleh mendengar panggilan itu. Di ranjang sisi kanan Arnon, Matias berbaring, dengan kaki dan kanan juga dibalut. Satu tangannya diinfus. Dia memandang Fea dengan tatapan dan nanar, cemas, dan sedih. "Maaf, Bu ... saya tidak bisa menjaga Bapak." Suara pria itu bergetar, sedikit serak. Fea merasa kerongkongannya tercekat. Dia ingin menjawab perkataan Matias, tapi yang bereaksi adalah matanya. Butiran bening dengan cepat mengalir, memenuhi wajahnya yang kuyuh dan cemas. "Bu, maafkan saya ..." Matias mengulan
Baca selengkapnya
165. Nenek!
Tidak ada piihan, Fea terjun ke dunia bisnis. Berat dan juga ada rasa kuatir, sebab dia sadar dia bukan wanita yang pintar dalam bisnis. Apa boleh buat, Fea memacu dirinya sendiri untuk belajar. Dia mulai berkantor untuk mengurus pekerjaan yang selama ini dilakukan Arnon. Dengan berat hati dia tinggalkan si kembar setiap hari dari pagi hingga sore hari. "Maafkan Mama, Nak. Ini bukan yang Mama mau. Tapi Mama tidak punya pilihan. Kalian bersama Oma dan Opa di rumah, mereka pasti sayang kalian." Fea menatap sendu pada kedua putranya yang dengan semangat berjalan masuk ke gerbang sekolah. Hati Fea teriris. Dia mulai merasa kehilangan momen-momen manis setiap hari dengan Arfen dan Fernan. Dan waktu-waktu itu tak bisa ditebus jika keduanya bertumbuh kelak. Fea menghentikan kendaraannya di depan sekolah si kembar. Arfen dan Fernan bersiap turun dari mobil.  "Ma, kapan tengok papa lagi?" Fernan bertanya sebelum tangannya membuka pintu mobil. "Hm, hari in
Baca selengkapnya
166. Kembali Menjadi Bocah
Fea, Arnella, dan Ardiansyah berdiri mematung, tidak bisa percaya mendengar yang dokter katakan. Arnon mengalami gangguan ingatan. Dia kehilangan ingatan masa dewasa. Kenangan yang masih bisa muncul dalam pikirannya saat dia kanak-kanak. Orang yang paling berkesan di hidupnya itu yang dia ingat. "Kami akan terus memantau perkembangannya. Kami berharap ini sementara. Bagaimanapun berbagai usaha akan kami lakukan untuk pemulihan Pak Arnon." Dokter berkata sambil memandang wajah tiga keluarga Arnon yang tampak gundah dan cemas."Ini permanen atau bagaimana, Dokter?" tanya Ardiansyah. Dadanya terasa penuh. Dia ingin sekali berteriak karena keadaan yang terjadi semakin menekan saja rasanya. "Amnesia seperti ini tidak bisa diprediksi. Ada yang sementara hanya beberapa hari, tetapi ada yang berlangsung lama, bahkan permanen. Yang bisa kami lakukan memberikan obat yang paling mungkin menolong memperbaiki sel otak, jika mungkin diperlukan kami lakukan operasi
Baca selengkapnya
167. Kapan Papa Jadi Papaku Lagi?
Arfen dan Fernan masuk ke kamar tempat Arnon dirawat. Arnon sudah pindah dari ruang IGD. Kedua bocah itu berlari kecil mendekati ranjang Arnon. Mereka berhenti kira-kira tiga meter dan menatap Arnon yang duduk menonton TV di dinding di depan ranjang. Dia tampak serius dengan tayangan yang muncul di layar kaca.  "Papa!" panggil Fernan. Arnon tidak bergerak, masih melihat tayangan kartun di layar TV. Fernan melangkah maju. "Papa!" Lebih keras bocah itu memanggil. Sedang Arfen sudah ada di sisinya. Di belakang mereka Arnella dan Ardiansyah memperhatikan. Siang itu sepulang sekolah, si kembar sengaja dibawa ke rumah sakit. Harapan Arnella dengan melihat kembarnya yang lucu dan pintar akan membuat ingatan Arnon cepat kembali. Arnon menoleh. Dia terbelalak kaget karena ada dua anak kecil yang berwajah sama berdiri memandang ke arahnya. "Papa!" Arfen gantian memanggil. "Sudah sembuh?" Arnon menegakkan badannya yang sebelumnya ber
Baca selengkapnya
168. Feaku?
Langkah Fea terhenti di depan kamar Arnon dirawat. Di dalam kamar, dia melihat Arnon sedang asyik bermain dengan Arfen dan Fernan. Terdengar tawa lepas dari bibirnya sambil memutar pesawat mainan yang dia pegang. Wajah Arnon tampak ceria bermain bersama si kembar. Hati Fea terenyuh melihat itu."Mereka teman, Fea. Arnon menjadi teman si kembar. Dia seperti kakak saja buat kedua anaknya. Lihat, wajahnya begitu gembira." Arnella menyambut Fea, memberi kabar apa yang tengah berlangsung di dalam kamar itu."Dia tidak ingat si kembar?" tanya Fea dengan hati perih.Arnella menggeleng. "Dia terpesona melihat dua anak dengan wajah sama berdiri di depannya. Tapi dia sangat senang karena punya teman."Fea melanjutkan langkahnya. Dia mendekati ranjang, Arnella pun sama."Bagusnya, dia ingat aku dan papanya. Meski awalnya dia merasa heran, papa dan mamanya terlihat tua," lanjut Arnella."Ah, baguslah ..." Fea mengangkat wajahnya memandang lurus pada Arn
Baca selengkapnya
169. Tangis Pilu di Makam Nenek
Kedua mata Arnon tak berkedip. Fea mengatakan janji padanya, tidak akan pernah pergi, mereka akan selalu bersama. Arnon ingat, ingat sekali kejadian itu. Dia sedang sakit, merasa sedih, dan merasa sendirian, merasa tidak ada yang peduli. Hanya Fea dan nenek yang mau memperhatikan dia. Itu yang dia rasakan. Karena itu Arnon meminta Fea untuk tetap bersamanya sampai kapanpun. "Kamu janji?" Arnon memandang masih tanpa kedip. "Iya, Arnon, aku akan terus sama kamu. Sampai tua, sampai kapanpun." Fea mengulang lagi janjinya. Arnon menggenggam erat tangan Fea. Ada senyum kecil di sana, di ujung bibirnya. Perlahan, dia mulai bisa yakin wanita cantik yang selalu datang mengurusnya itu memang Fea. Wati terenyuh menyaksikan adegan itu. Butiran bening tak bsia dia tahan, dia menangis. "Lalu nenek mana?" tanya Arnon, tidak mau dia lepaskan tangan Fea. "Ayo kita duduk di situ." Fea mengajak Arnon duduk di kursi di dapur. Arnon menurut. Mereka duduk b
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1516171819
...
24
DMCA.com Protection Status