All Chapters of Cinta CEO dalam Jebakan: Chapter 261 - Chapter 270
356 Chapters
S2| 110. Kawanan Penculik
“Hentikan omong kosong Anda, Nyonya! Istriku bukan penculik. Kenapa tidak kau tenangkan dulu putrimu itu agar kita bisa mendengar keterangan darinya?” tanya Julian lantang. Mendapat tantangan semacam itu, si ibu muda sontak menelan ludah dengan susah payah. “Anakku menangis karena takut pada perempuan ini. Apa lagi yang ingin kau ketahui? Semuanya sudah jelas,” sangkalnya dengan suara serak. Sedetik kemudian, wanita itu berlutut di hadapan putrinya. Setelah mengalungkan kamera di leher, barulah ia membelai kepala sang anak. “Tenang saja, Audrey. Ibu tidak akan membiarkan orang jahat mendekatimu lagi. Sekarang, berhentilah menangis.” Alih-alih mereda, isak tangis si gadis kecil malah semakin membahana. Tanpa menurunkan tangan dari depan mata, ia menggeleng-geleng. “Lihatlah betapa takutnya putriku ini! Bagaimana mungkin kalian bisa percaya kalau perempuan ini bukan penculik?” seru si ibu muda dengan mata yang membara. “Tentu saja anak itu ketak
Read more
S2| 111. Bahaya yang Mengintai
Mengetahui alasan paniknya laki-laki itu, Mia pun termenung. Selang keheningan sejenak, ia akhirnya menghela napas samar. “Maaf, aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu panik.” Dengan senyum minim, Julian mengangguk. “Tidak apa-apa. Aku tahu kalau kau hanya ingin menolong gadis kecil tadi. Tapi,” ucap pria itu sambil mengacungkan telunjuk, “mulai detik ini, jangan pergi tanpa kabar. Aku tidak mau menggila lagi karena takut kehilanganmu.” “Baiklah, aku akan mengingatnya baik-baik,” sahut Mia seraya berkedip tegas. “Jangan hanya diingat, Mia, tapi dilaksanakan,” celetuk sang pria sembari membetulkan topi sang kekasih. Lewat lengkung bibir yang tipis, sang gadis mengekspresikan penyesalan. “Ya, aku tidak akan pergi ke mana-mana tanpamu lagi.” “Bagus,” desah Julian sebelum menarik kepala sang gadis untuk bertemu dengan bibirnya. Selagi pasangan itu saling mengusap punggung, seorang wanita yang sedari tadi menyimak percakapan mereka tiba-
Read more
S2| 112. Bunuh Perempuan Itu
“Sayang sekali Nona Amber tidak ikut turun bersama kita. Padahal, kita bisa berbincang lebih lama di cable car,” gumam Mia sembari menoleh ke arah pria yang berjalan di sampingnya. “Mungkin, dia tidak ingin mengganggu kita lagi. Biarkan saja dia bersenang-senang dengan salju di atas sana,” timpal Julian seraya menaikkan sudut bibir dan mengusap lengan gadis yang tidak lagi mengenakan topi rajut. Udara sudah tidak sedingin di istana gletser. “Sekarang, kita kembali ke hotel?” sambung pria itu meminta konfirmasi. Alih-alih mengangguk, sang gadis malah berkedip datar. “Kalau aku ingin ke toko cokelat, apakah masih sempat? Aku sudah berjanji untuk membawakan cokelat yang banyak untuk Cayden.” Sembari mengerucutkan bibir, Julian mengerutkan alis sejenak. “Kurasa tidak masalah. Selagi kau berbelanja, aku bisa mencari tiket untuk kita berdua.” “Baiklah. Kalau begitu, ayo bergegas ke sana! Kita masih harus mengemas koper dan kereta menuju ban
Read more
S2| 113. Pembunuh yang Berkeliaran
“Apakah semua sudah siap?” tanya Julian setelah menurunkan koper dari tempat tidur dan menarik gagangnya. “Ya,” sahut Mia seraya menutup ritsleting, “sudah. Tasku jadi lebih penuh dibandingkan dengan saat berangkat kemari.” Sambil membantu sang kekasih menurunkan koper yang menggembung, Julian menyunggingkan senyum. “Aku yakin, Cayden akan senang ketika melihatmu membuka koper.” “Kuharap begitu. Jika tidak, aku akan sangat kecewa,” gurau sang gadis sebelum menghela napas cepat. “Mari kita pulang!” ucapnya sembari mengangguk yakin. Ia enggan menunjukkan kerinduan yang mulai tumbuh dalam hati. Mengetahui perasaan yang disembunyikan oleh Mia, sang pria spontan melebarkan senyum. “Setelah menikah nanti, mari kita kembali ke sini untuk berbulan madu. Kita bisa melanjutkan perjalanan yang terputus ini.” “Itu ide yang sangat bagus, Julian,” gumam sang gadis seraya membentuk lengkung kecil dengan bibirnya. “Ya, aku tahu,” desah sang pria semba
Read more
S2| 114. Kehilangan Tumpuan
“Apakah kau gugup?” bisik Julian saat mobil yang mereka tumpangi sudah memasuki area bandara. Sambil mengeratkan genggaman, Mia menelan ludah. “Sedikit,” sahut gadis itu dengan suara lemah. Menyadari betapa dingin dan berkeringat jemari sang kekasih, Julian pun memiringkan kepala dan memasang tatapan teduh. Seraya mengelus punggung tangan kekasihnya dengan ibu jari, ia berkata, “Tenang saja, Mia. Semua akan baik-baik saja. Keamanan bandara sudah diperketat dan polisi pun berjaga di beberapa tempat.” “Maaf, Julian,” desah gadis yang tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. “Mustahil aku bisa meredakan ketakutan ini. Aku tidak mau sesuatu yang buruk terjadi padamu.” Sebelum sang pria menyanggah, Mia melanjutkan omongan. “Jadi, biarlah ketegangan mengisi sarafku. Aku membutuhkannya untuk lebih waspada.” Sadar bahwa ucapan sang kekasih memang benar, sudut bibir Julian terangkat walau berat. “Kau tahu? Aku sudah tidak sabar ingin melihatmu mengen
Read more
S2| 115. Kesakitan
Sambil membasahi kerongkongannya yang terbakar keresahan, Julian mengusap keringat dingin di wajah putih kekasihnya. “Mia,” panggilnya dengan suara serak. “Maafkan aku. Maafkan aku karena tidak menjagamu dengan benar.” Alih-alih menjawab, sang gadis bergeming dengan tatapan menerawang. Sama sekali tidak ada pergerakan yang ia lakukan. Pelupuk mata yang terangkat maksimal itu bahkan enggan membuat satu kedipan. “Mia?” panggil Julian dengan suara yang lebih mengiris. Tak kunjung mendapat jawaban, pria itu akhirnya menurunkan pandangan ke arah lubang di baju sang kekasih. Meski tidak ada darah yang mengucur, ia tetap saja merasa tak tenang. “Apakah kita sudah boleh membukanya?” tanya Julian kepada pria yang sibuk menyimak suara dari speaker kecil di telinga. “Sebaiknya kita pindahkan dulu istri Anda ke tempat yang lebih aman,” jawab petugas itu disertai anggukan meyakinkan. “Baiklah,” desah sang CEO sembari menempatkan lengannya d
Read more
S2| 116. Apakah Masih Sakit?
“Many Face?” desah Julian dengan alis terangkat penuh tanya. “Ya. Itulah sebutan untuk wanita itu. Dia bisa merias wajahnya menjadi siapa saja. Dia juga sering mengubah bobot tubuhnya agar tidak mudah dilacak. Karena itulah, sampai saat ini, penjahat internasional itu belum tertangkap.” Menerima keterangan semacam itu, sebuah ide tiba-tiba melintas dalam benak Julian. “Apa mungkin ... No Name akan meniru cara wanita itu untuk mengubah penampilannya?” “Itu sangat mungkin terjadi, Tuan. Karena itulah, saya sarankan Anda untuk berhati-hati kepada siapa saja. Sewalah bodyguard profesional untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan.” Sembari mengeraskan rahang, sang CEO mengangguk samar. “Ya. Saya memang sudah menyiapkan beberapa orang untuk menyambut kami di bandara tujuan.” “Itu langkah yang sangat tepat,” puji sang petugas lantang. “Teruslah menjaga kewaspadaan tetap tinggi, Tuan. Jika Anda sudah kembali ke tempat asal, saya hanya bisa mendo
Read more
S2| 117. Melepas Rindu
“Maaf, Tuan. Keahlian apa yang Anda miliki sehingga Anda dijuluki ‘Sharp Knife’? Apa yang Anda maksud dengan memegang pisau?” tanya Mia takut-takut. “Apakah kau pernah mendengar lempar pisau?” tanya pria berjubah itu seraya melirik sekilas. Setelah memeriksa ingatan, sang gadis malah balik bertanya. “Apa itu?” “Banyak orang yang menyebutnya sebagai salah satu bentuk olahraga. Tapi, bagiku, itu merupakan seni yang sangat indah.” Mendapat jawaban tersirat semacam itu, Mia mendesah samar. “Apakah itu sulit?” “Kenapa, Mia? Apakah kau tertarik mempelajarinya?” selidik Julian dengan sebelah alis terangkat heran. “Ya,” sahut sang gadis dengan mata berbinar. “Bukankah akan lebih baik jika kita meningkatkan kemampuan membela diri?” “Tentu saja,” sela Sharp Knife sebelum mendengus ringan. “Kalau begitu, bagaimana kalau besok kita mulai berlatih?” Mendapat sambutan hangat dari sang master, Mia sontak meninggikan leher. “Apakah And
Read more
S2| 118. Lempar Pisau
“Kenapa kau belum berangkat kerja?” tanya Max ketika melihat sang kakak duduk di kursi samping. “Aku ingin melihat Mia berlatih dulu,” jawab Julian sembari meruncingkan telunjuk ke arah sang kekasih. “Lagipula, Papa memberiku waktu satu hari untuk beristirahat sebelum kembali ke bangku CEO. Kau sendiri kenapa belum berangkat?” Mendapat pertanyaan balasan, Max sontak mendengus. “Apakah kau lupa? Aku hanya perlu naik ke lantai atas untuk menemukan ruang kerjaku,” sahut pria itu sambil menggeleng samar. Ia sungguh tidak habis pikir dengan kebodohan kakaknya. “Ya, aku juga tahu tentang itu. Maksudku, kenapa kau sekarang berada di sini? Bukan di ruangan itu?” timpal Julian ketus. “Sama denganmu. Aku juga ingin menyaksikan pujaan hatiku berlatih lempar pisau,” jawab Max sambil menahan sudut bibir agar tidak terangkat terlalu tinggi. Ia tak ingin sang kakak tahu bahwa dirinya masih merasa senang setiap berhasil memancing kekesalan. Tak ingin emosinya
Read more
S2| 119. Meminta Ditancapkan Padamu
Melihat sang kekasih masih berdiri di hadapan papan target, Julian pun menghela napas samar. Setelah menghapus rasa iba dari wajahnya, pria itu berjalan menghampiri gadis yang baru saja melempar pisau menembus cahaya lampu taman. “Apakah kau tidak lelah?” Dalam sekejap, Mia berbalik dengan mata bulat. “Julian? Kau baru pulang?” Dengan lengkung bibir tipis, sang pria membelai rambut kekasihnya yang basah oleh keringat. “Gabriella bilang, latihan kalian sudah berakhir dua jam yang lalu. Tapi, kenapa kau masih di sini?” “Dua jam?” desah Mia sambil menarik pelupuk lebih tinggi. “Kau berlatih terlalu keras sampai lupa waktu, hm?” timpal Julian seraya mengangkat alis samar. Sembari meringis, sang gadis menggeleng. “Aku tidak tahu kalau sudah berlatih selama ini,” ujarnya di sela helaan napas. “Lalu, kau sendiri ... kenapa baru pulang sekarang? Bukankah kau bilang hanya ingin meninjau satu dokumen lagi? Kau seharusnya mengajakku lembur kalau
Read more
PREV
1
...
2526272829
...
36
DMCA.com Protection Status