All Chapters of Cinta CEO dalam Jebakan: Chapter 81 - Chapter 90
356 Chapters
81. Perpisahan
Begitu terbangun di pagi hari, Gabriella tidak berani bergerak. Sang suami masih tertidur pulas, seperti bayi yang tengkurap di atas tubuh ibunya. “Max?” bisik wanita itu menguji. Selang beberapa detik, tidak ada suara yang terdengar. Pria itu tetap bergeming. Mengetahui bahwa sang suami nyaman dengan bantal empuknya, bibir Gabriella otomatis melengkung kecil. “Kau pasti kelelahan,” gumamnya sembari menyentuh rambut sang suami. Dalam diam, wanita itu memperhatikan detail wajah di bawah dagunya. Mata yang sering ia tatap, sedang bersembunyi di balik kelopak lebar. Bibir yang sering memberinya kehangatan, sedang bergeming tanpa suara. Perlahan-lahan, kesedihan mulai menggetarkan udara dalam paru-parunya. “Aku pasti akan sangat merindukanmu,” batin Gabriella sebelum menelan ludah. Sedetik kemudian, ia terpejam, berusaha menahan gejolak dalam dada. Matanya yang panas tidak boleh menampakkan kegelisahan. Rencananya bisa berantakan jika samp
Read more
82. Balik Mengancam
“Selamat pagi, Mia,” sapa Max dengan nada ceria. Wanita muda di balik meja sontak terbelalak. Dengan anggukan kaku, ia membalas sapaan sang CEO. “Selamat pagi, Tuan. Apakah ada kabar baik hari ini? Wajah Anda tampak sangat cerah.” Senyum terkulum langsung menjawab pertanyaan si sekretaris kedua. “Belum ada kabar baik. Aku masih belum menemukan pembelaan yang tepat.” Lengkung alis Mia seketika berubah menjadi kerutan. Melihat ekspresi itu, sang CEO mendengus geli. “Hari ini adalah ulang tahun istriku. Nanti malam, kami mengadakan pesta kecil di rumah. Datanglah kalau kau sempat,” ucap Max sukses meredakan kebingungan si wanita. “Oh, pantas saja Anda terlihat bahagia. Ternyata, Nona Gabriella sedang berulang tahun,” angguk Mia sambil memajukan bibir. “Bukan Nona Gabriella, tapi Nyonya Evans,” koreksi sang pria dengan mata menyipit. Hanya dalam sekejap, sang wanita mengangkat tangan menutupi mulutnya. “Maaf, Tuan. Saya sudah terbi
Read more
83. Pembalikan Fakta
“Apakah tebakanku benar? Semua ini adalah perbuatan ayahku?” tanya Max yang masih menatap punggung sang sekretaris. Selang keheningan sejenak, Sebastian akhirnya berbalik menatap sang CEO. “Kenapa kau menuduh ayahmu sendiri? Apakah kau benar-benar sudah kehilangan akal sehat?” timpal pria itu dengan raut kaku. Tanpa terduga, bibir Max mulai melengkung miris. Setelah mengembuskan napas cepat, ia meringis sembari menggeleng. “Tak kusangka, ternyata benar-benar Papa. Apa yang harus kulakukan untuk melawannya sekarang? Aku tidak ingin menjadi anak durhaka,” gumamnya dengan tatapan menerawang. Mengetahui bahwa Max telah menemukan kebenaran, kerongkongan Sebastian semakin terasa gersang. Ia ditugaskan untuk menambah tekanan dalam kepala sang CEO, tetapi malah dirinya yang terdesak dan kehabisan kata-kata. “Aku sungguh tidak mengerti, apa salahku sampai kalian diam-diam menusukku. Untuk apa aku diberikan kepercayaan kalau pada akhirnya dijatuhkan sep
Read more
84. Mana Istriku?
“Gaby? Gabriella?” teriak Max tidak peduli jika pita suaranya rusak. Malangnya, sekencang apa pun ia memanggil, sang istri tetap tidak menjawab. Sambil menelan ludah dan air mata, Max mencengkeram kepala yang serasa hampir pecah. “Tidak mungkin dia kabur lagi. Tidak,” gelengnya berusaha mengingkari. “Dia sudah berjanji untuk merayakan ulang tahun bersama. Tidak mungkin dia pergi begitu saja.” Selang perenungan singkat, alis pria itu terangkat maksimal. Tanpa membuang waktu, ia berlari menuju pos penjaga. “Di mana istriku?” tanya Max, tidak lagi memikirkan kesopanan. Dua penjaga berwajah pucat pun otomatis berdiri menghadapnya. “Eng ... itu ....” “Di mana!” desak sang CEO membuat para penjaga tersentak. “Begini, Tuan .... Sesuatu telah terjadi.” “Jangan berbelit-belit dan cepat katakan yang sesungguhnya!” hardik pria yang tak pernah semarah itu sebelumnya. Dengan bola mata yang tidak bisa diam, seorang penjaga mu
Read more
85. Perlakuan Herbert
Napas Max seketika tertahan. Pernyataan sang ayah yang terdengar sangat yakin itu telah memperdalam kerutan alisnya. “Apa maksud Papa?” Dengan santai, Herbert duduk di sofa dan meletakkan setumpuk dokumen di atas meja. Alih-alih memberikan jawaban, pria tua itu malah membuka lembaran kertas yang paling atas. “Ternyata, hari ini adalah hari ulang tahunnya? Kasihan sekali,” gumamnya sukses mencuri perhatian si putra bungsu. “Ayahnya bernama Tomy dan ibunya Brenda. Ck, aku masih penasaran mengapa mereka tidak memiliki nama belakang.” “Kenapa Papa memiliki dokumen tentang Gabriella?” sela Max dengan tangan terkepal. Kecurigaan yang sempat tenggelam telah kembali ke permukaan. Dengan alis yang sedikit terangkat, Herbert membalas tatapan sang CEO. “Istrimu? Kau masih menganggap perempuan yang telah meninggalkanmu sebagai istri? Sungguh luar biasa.” “Jaga omongan Papa. Gabriella tidak pernah meninggalkanku,” sahut Max tanpa menurunkan nada suara.
Read more
86. Pilihan Max
Mendapat pertanyaan menguji itu, Max sontak menegakkan wajah. Rahangnya yang berdenyut-denyut tampak lebih jelas, begitu juga dengan sorot mata yang murka. “Apakah sejak dulu, kau memiliki sikap seburuk ini?” ucapnya lambat dan penuh penekanan. Mendengar kata-kata yang tak terduga itu, mata Herbert sedikit melebar. “Apa yang kau bicarakan?” Dengus remeh spontan terlepas dari mulut sang CEO. “Jika sejak dulu kau memang memiliki sifat egois dan akal selicik ini, tidak heran jika Mama berselingkuh darimu.” Hanya dalam hitungan detik, si pria tua telah berdiri dengan kedua tangan terkepal erat. “Jaga bicaramu! Untuk apa kau membenarkan perbuatan hina perempuan licik itu?” Sekali lagi, sudut bibir Max berkedut miris. “Lantas, apakah perbuatan hinamu ini bisa dibenarkan?” Sedetik kemudian, sang CEO melangkah maju dan meluruskan kembali lembaran foto yang telah kusut. “Bukankah kau sendiri yang bilang bahwa aku ini cerdas?” Usai berta
Read more
87. Kerinduan
Dengan pandangan berputar dan telinga berdenging, Max mencoba meraih Snowy. Setelah berhasil mendapatkan boneka beruang putih itu, ia keluar dari mobil yang dipenuhi balon kempis. “Tuan, apakah Anda tidak apa-apa?” tanya seseorang yang tidak dihiraukan oleh Max. Pria itu terus berjalan sempoyongan sambil mengucapkan nama sang istri. Tidak ada darah yang terlihat. Namun, semua orang khawatir dengan wajah pucatnya. “Tuan? Bagaimana kalau kita ke rumah sakit?” Max menoleh ke arah wanita yang berdiri tidak jauh darinya itu. Alih-alih menjawab, ia malah berbisik, “Gabriella?” Selang dua detik, pria itu jatuh membentur aspal. Pekik histeris langsung terdengar dari orang-orang yang mengelilinginya. “Cepat panggil ambulans!” “Adakah dokter di sekitar sini?” “Bagaimana kalau kita bawa saja ke rumah sakit terdekat?” Max sama sekali tidak mengetahui kepanikan orang-orang itu. Dirinya telah terlelap dengan bayangan Gabriella sebaga
Read more
88. Sadar
Tepat ketika Minnie sekeluarga tiba di depan kamar Max, seorang dokter keluar dari balik pintu. Tanpa sempat memperkenalkan diri, si perempuan tua menghentikan langkah pria berjas putih itu. “Dokter, bagaimana keadaan Tuan Max?” tanya Minnie dengan mata basah dan kerutan alis yang dalam. “Apakah kalian keluarga pasien?” tanya pria itu terlihat ragu. Dengan sigap, sang pelayan menggeleng. “Kami sudah menghubungi ayah dan kakaknya. Sebentar lagi, mereka akan tiba.” Dengan kedipan ragu, sang dokter memiringkan kepala. “Maaf, kami tidak diperkenankan memberitahu kondisi pasien selain kepada orang-orang terdekat atau wali.” “Tapi kami sangat dekat dengannya, Dok. Aku sudah mengasuhnya sejak kecil,” terang Minnie sambil memukul dadanya sendiri. “Anda bisa memberitahukan kondisi adik saya kepada mereka, Dok,” sela Julian yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang. Semua mata spontan tertuju padanya. Setelah mengangguk, sang dokter akhir
Read more
89. Menemukan Gabriella
“Aku tidak masalah jika kau menikahiku karena kecewa dengan penolakan Max. Aku juga tidak mempermasalahkan jika tujuanmu hanya untuk membuat Max menyesal. Tapi, kalau karena perintah orang lain ...,” kata Julian sebelum menggeleng mengekspresikan perasaannya, “aku tidak bisa menerima hal itu.” Untuk pertama kalinya, Amber tidak berani membantah perkataan Julian. Ia memang tidak mencintai laki-laki itu, tidak juga menaruh perhatian. Namun, menyadari bahwa kata-katanya telah meremukkan hati pria tulus itu, rasa bersalah akhirnya terbit dalam dirinya. Selang kebekuan sesaat, pandangan Julian beralih kepada sang ayah. “Jika tujuan Papa adalah membuat putramu merasakan sakit yang luar biasa karena pengkhianatan, kurasa ... Papa telah sukses mewujudkannya.” Herbert berkedip datar melihat putra kesayangannya menitikkan air mata. Lewat pemikiran cepat, ia mengarang pembelaan, “Ini tidak seperti yang kau bayangkan. Amber menerimamu bukan atas perintahku. Dia hanya mem
Read more
90. Panik
“Max?” desah Gabriella dengan pandangan yang mulai kabur terhalangi air mata. Tangannya yang tidak lagi menggenggam ponsel, kini bergetar hebat, sama seperti udara dalam paru-paru yang terbakar oleh kekhawatiran. Melihat gelagat aneh wanita itu, gadis yang sedang memerah sapi pun berhenti dan beranjak dari kursi kecilnya. “Ada apa, Nyonya? Apakah itu memang dari kantor pelayanan?” tanya Rose sambil menaikkan kedua alis. “Apakah saya gagal diterima di sana?” Selang beberapa saat, isak tangis akhirnya terlepas bersamaan dengan air mata. Sambil mencengkeram lengan sang gadis, Gabriella mencoba untuk tetap bernapas. “Max .... Bawa aku ke sana. Tolong ...,” pinta wanita yang tidak bisa lagi menyusun kata dengan semestinya. Otaknya telah dilumpuhkan oleh rasa takut akan kehilangan. Mendengar permintaan yang tak terduga itu, Rose sontak mengerutkan alis. “Ada apa, Nyonya? Kenapa Anda mendadak berubah pikiran?” “Tolong bawa aku ke sana!” pekik
Read more
PREV
1
...
7891011
...
36
DMCA.com Protection Status