Semua Bab Red in Us: Bab 131 - Bab 140
176 Bab
131. Telepon yang Sama
“Papa cerewetin lo, ya?” tanya Katha sambil berjalan sepanjang lorong rumah sakit. Lehernya kini sudah bebas dari collar neck, dan hasil CT Scan tidak memunculkan masalah serius. Jadilah dia hari ini bisa pulang. “Iyalah. Habisnya elo kenapa nggak mau dijemput Papa?” tanya Rabu. Lelaki itu berjalan di sebelah Katha sambil menenteng tas tangan berukuran sedang. Isinya ada tas tali rantai, pakaian, dan sedikit kebutuhan Katha. “Berisik entar, Bu. Capek tau,” sahut Katha tanpa merasa bersalah. “Gitu-gitu orang tua lo. Kalau beliau udah nggak ada, yakin lo bakal kangen sama omelannya,” tegur Rabu. Katha melirik Rabu, lalu menjawab, “Nggak usah lo kasih tau, gue sadar kok sebenarnya. Cuma, ya, lo tau sendiri ego seorang anak.” Rabu mengangguk-anggukkan kepala. Dia tidak ingin melanjutkan perbincangan soal ini lagi, karena takut memancing perdebatan tidak penting. Apalagi moodnya hari ini sudah sangat baik. Tidur bersama Katha tanpa jarak seperti se
Baca selengkapnya
132. Firasat Seorang Langit
“Lo kayak orang nggak guna tau, nggak, di sini,” ujar Shae sambil duduk di sebelah Katha. “Bosan banget, gue,” sahut Katha. Perempuan itu kini duduk di balik etalase, memperhatikan pelanggan-pelanggan yang tadi sedang ramai. Kini toko sudah kembali sepi, dan hanya dihuni oleh Katha, Shae, dan Diyah—karyawan toko yang baru bekerja satu minggu. Hari ini Kandara belum mengizinkannya bekerja, hingga dia bosan terus beristirahat di rumah. Maka di tempat kerja Shae inilah dia berakhir. Tangan Katha kemudian mengeluarkan keripik tales dari etalase, lalu membuka bungkusnya secara brutal. “Eh, kalian kalau mau makan apa pun, ambil aja. Ntar gue bayar,” ujarnya sambil mengunyah keripik talas. Diyah terbengong-bengong melihat kelakuan Katha. Dia merasa kedatangan sahabat Shae yang tiba-tiba itu aja sudah aneh, lalu perempuan itu kini malah duduk bagai bos sambil ngemil. “Mbak, itu nggak apa-apa?” bisik Diyah di telinga Shae. Dia menunjuk Katha de
Baca selengkapnya
133. Sosok Misterius dalam Perjalanan ke Jepang
“Kita ke rumah Mama-Papa dulu, ya,” ujar Rabu sambil mengeluarkan koper dari kamar menuju pintu depan. Katha yang sedang mengaduk gelas berisi cokelat panas menggeleng. “Nggak usah, kita langsung berangkat aja.” “Tapi kita kan harus pamit, Tha,” tegur Rabu. Katha menghampiri Rabu di pintu depan dengan gelas cokelat di tangan. “Pamit kan bisa lewat telepon. Percaya, deh, kalau kita ke sana, yang ada makin ribet.” Rabu menghela napas. Dia menerima gelas yang disodorkan Katha, lalu menghidu aroma cokelat yang khas. “Terima kasih,”ujar Rabu. “Gue udah pesan taksi online. Kita tunggu aja. Ntar gue yang telepon Papa, bilang kalau kita kesiangan, dan nggak sempat pamit langsung.” Katha beranjak lagi ke dapur, sementara Rabu menggeleng-gelengkan kepala. Dia tidak habis pikir dengan pemikiran aneh Katha. Perempuan itu kadang terlihat begitu mirip dengan Agung. Hanya saja, keduanya tidak mau mengakui kalau sifat mereka memang banyak yang
Baca selengkapnya
134. Buka Baju
Setelah tujuh jam lebih berada di pesawat, Katha dan Rabu akhirnya sampai di Jepang. Mereka berjalan menuju pintu keluar sambil membawa koper masing-masing. Begitu melihat cahaya matahari sore dari dinding kaca, membuat Katha menghela napas lega. “Akhirnya sampe. Lama nggak bepergian, badan gue rasanya rontok,” ujar Katha. “Lo belum lama ini ngikutin gue ke Malang kalau lupa,” tukas Rabu. “Ke Jogja juga.” Katha terkekeh mendengar itu. Dia lupa bahwasannya dia memang beberapa kali ke luar kota. Dan ya, perjalana Jakarta-Malang lebih panjang jika ditempuh dengan kereta api. “Ya, maksudnya udah lama nggak ke luar negeri.” Katha nyengir lebar. “Langsung ke hotel?” tanya Rabu. Mendengar itu, tiba-tiba Katha menghentikan langkahnya. Dia menatap Rabu seolah baru mengingat sesuatu. “Kita ke lantai empat dulu, yuk! Ke Edo Alley.” Rabu mengernyit. Dia pikir mereka akan langsung ke hotel agar bisa merebahkan badan di tempat yang lebih nya
Baca selengkapnya
135. Pillow Talk dan Perubahan Rencana
Tengah malam Rabu bangun karena haus. Di keremangan kamar, dia melihat Katha yang tertidur di sebelahnya dengan jarak yang begitu dekat. Tidak ada guling, karena memang mereka bukan di Indonesia. Jadilah mereka berdua tidur tanpa sekat.Rabu yang sebelumnya hendak minum jadi mengurungkan niatnya. Dia mantap Katha lamat-lamat.“Gue seneng banget ke sini sama lo,” ujar Rabu lirih. Dia tidak ingin suaranya membangunkan Katha.Perempuan yang sedang ditatap itu masih diam. Matanya terpejam dan tampak nyenyak.“Gue pengen setiap liburan, pergi sama lo,” lanjutnya bermonolog.Sakitnya kini sudah hilang sepenuhnya. Nyeri di kepala juga sudah lenyap. Bahkan dia sekarang membayangkan sedang berlibur dengan bahagia sembari terus menatap wajah Katha.“Ngomong-ngomong, terima kasih udah ngerawat gue.” Dia masih bermonolog dengan suara kecil yang lebih mirip bisikan.“Terima kasih, Tha,” ulangnya.
Baca selengkapnya
136. Let's Go to Kyoto
“Udah? Masih mau tambah?” tanya Rabu. Dia mengamati Katha yang menghabiskan kuah ramennya. Perempuan itu tadi berkata ingin tambah saat ramennya tersisa seperempat.Namun, kini Katha menggeleng. Dia menepuk-nepuk perutnya sendiri. “Kenyang,” kekehnya.Rabu menggeleng-gelengkan kepala. Pagi tadi saat mereka setuju untuk berangkat ke Kyoto, tiba-tiba Katha minta makan ramen di daerah Tokyo lebih dulu sebagai sarapan. Rabu sempat terheran-heran, pasalnya mereka butuh sarapan. Dan sampai saat ini baginya sarapan yang benar bukanlah mi, apalagi ramen.Ya, tapi Rabu hampir selalu tak berdaya bila berurusan dengan keinginan Katha yang tidak terlalu menyimpang itu. Mereka akhirnya menuju Kappsu Yama, salah satu tempat ramen yang memang sebelumnya menjadi tujuan mereka.“Gitu tadi lo bilang mau nambah,” goda Rabu.Katha menempelkan jari telunjuknya di depan bibir. “Shtt, jangan keras-keras.”“Lagi
Baca selengkapnya
137. Bertemu Nabila
“Anak tadi lucu banget, tahu, Bu,” ujar Katha saat keduanya sudah keluar stasiun. Sejak tadi, Katha tidak berhenti membicarakan anak kecil yang menghampiri mereka. Apalagi sewaktu hendak menuntaskan niatnya memangku anak itu, ibu si anak tiba-tiba bangun dan membawa kembali anaknya ke kursi depan. Dia sempat kecewa, dan hal itu membuat Rabu kembali menggodanya. Namun, hal itu tidak membuatnya berhenti membicarakan anak perempuan lucu tadi. “Emang lucu. Cantik dia,” ujar Rabu. Tapi matanya malah terfokus pada Rabu, sementara Katha kini sudah teralihkan. “Ya, ampun, Bu!” serunya. “Bunga sakuranya cantik banget.” Dia menunjuk beberapa pohon sakura yang tumbuh di pinggir jalan. “Kayaknya kita harus cari taman bunga sakura, terus piknik ala-ala orang lokal sini, deh. Bekalnya beli di minimarket aja.” Katha tiba-tiba saja membuat rencana. Rabu tersenyum. Rencana yang baru saja diutarakan Katha sebetulnya sudah muncul di kepalanya sejak dia m
Baca selengkapnya
138. Romantic Train, Yawaragi no Michi, and a Kiss
“Lo yakin kita mau naik ini?” tanya Katha heran. Dia agak geli mendengar nama Romantic Train. Ya, meski bisa dia lihat di sekeliling bahwa orang-orang yang hendak naik bukan hanya pasangan, malah kebanyakan keluarga. Rabu mengangguk yakin. “Ini pasti menyenangkan, Tha. Bukan perjalanan panjang, hanya sekitar dua puluh menit, berarti pemandangan yang disuguhkan cukup bagus.” Katha membenarkan dalam hati. Dia kemudian membenahi jaket denim yang dipakainya, lalu melipat lengan di depan parut. Ya, sudah terlambat kalau mau membatalkan perjalanan dengan Romatic Train ini. Mereka sudah membeli tiket, dan hanya tinggal satu menit sebelum kereta berjalan. Hari masih pagi. Orang-orang tampak bersemangat memasuki kereta. Begitu juga dengan Rabu yang tanpa canggung menggandeng Katha agar berjalan bersamanya. “Lo boleh deh, duduk dekat jendela,” ujar Rabu. “Wah,” gumam Katha takjub. Dia tidak tahu bahwa Romantic Train bisa seunik ini. Kursi kayu yang digu
Baca selengkapnya
139. Mengungkapkan Perasaan
"Ada apaan, Bu?" tanya Katha. Rabu terperanjat. Dia mengerjapkan mata beberapa kali, lalu menatap Katha yang sedang melihatnya kebingungan. "Kenapa, Bu? Ada apaan di rambut gue?" tanya Katha lagi. Dia mengangkat tangan hendak mmenyentuh rambutnya. Namun, Rabu yang akhirnya tersadar langsung menghentikan gerakan Katha dengan mengulurkan tangannya sendiri. Dia mengambil kelopak bunga sakura yang tersangkut di rambut perempuan itu. "Ada ini," ujarnya sambil menunjukkan kelopak bunga pada Katha. Katha tertawa melihat itu. "Harusnya biarin aja. Kan bagus, Bu, kayak hiasan rambut gitu." Sayangnya Rabu sudah tidak bisa ikut tertawa. Jantungnya kini sudah nyaris meledak akibat hayalan yang tadi dia alami. Ketika akhirnya Katha berbalik badan dan lanjut berjalan, Rabu akhirnya mendesah dan mengusap wajahnya. "Astaga," gumamnya. Dia mengggeleng-gelengkan kepala berulang kali, mencoba mengusir bayangan bibir Katha yang sukar hilang.
Baca selengkapnya
140. Kembali ke Tokyo dan Pertemuan Tak Terduga
Hari ini Katha dan Rabu sudah berada di Tokyo kembali setelah tiga hari bersenang-senang di Kyoto. Sebenarnya Rabu masih ingin lebih lama di Kyoto. Dia suka di kota itu, sebab tidak seramai Tokyo. Rasanya lebih damai. Hal itu membuatnya teringat Malang, ya, meski tidak sama persis. Malang lebih ramah.Akan tetapi, karena obsesi Katha yang ingin mendatangi Tokyo Tower, maka hati ini mereka kembali ke Tokyo.“Kita makan dulu, baru ke tempat yang lo mau,” ujar Rabu sambil melepaskan jaket dan melemparnya ke sofa.Katha sendiri langsung berbaring di tempat tidur. Dia menghela napas panjang sambil memejamkan mata.“Kenapa nggak langsung aja?” tanya Katha.Berbeda dengan Rabu yang sedikit lelah meski perjalanan dari Kyoto ke Tokyo hanya memerlukan waktu dua jam dengan shinkansen, Katha masih sangat bersemangat layaknya orang yang baru sarapan pagi.“Lo belum makan dari pagi,”sahut Rabu. Dia menurunkan ra
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1213141516
...
18
DMCA.com Protection Status