Semua Bab Pesan Nyasar Dari Sahabatku: Bab 81 - Bab 90
119 Bab
81
BAGIAN 81KELUARGA YANG HANCUR           “H-halo, ini Dimas? Dim, gimana, Nak perjalanannya?” Indri malah terdengar membelokkan percakapan. Perempuan tidak waras, pikirku. Bisa-bisanya dia belaga pilon setelah suara lelaki asing itu menyeruak sampai sini.          “Bu, jawab pertanyaanku tadi! Siapa yang barusan ngomong?”          “Apaan sih, Dim? Kalian hanya salah dengar! Ibu sendirian di dapur nenekmu. Nggak ada siapa-siapa!” Indri malah terdengar berang di seberang sana. Dia tampaknya tak ingin disalahkan. Sinting! Sudah tertangkap basah, masih saja menghindar. Dia kira, kedua anak lelakinya itu idiot. Mereka pasti sudah berpikir bahwa lelaki yang tadi berbicara lirih adalah simpanan ibunya. Mampus kamu, In!         
Baca selengkapnya
82
BAGIAN 82EVA           “Riri, gimana kabarmu? Hari ini kamu nggak ngasih kabar ke aku.” Bawel celoteh Eva terngiang di telinga. Membuat santai malamku di teras depan semakin terasa hidup. Aku yang sedang menyeruput segelas kopi panas bikinan Mbak Sherly, tentu saja langsung tambah bahagia kala sahabat kentalku itu menelepon. Aku rasanya juga sudah sangat kangen pada Eva. Tak sabar hari Senin nanti bertemu dengannya di kantor.          “Baik. Kamu sendiri gimana, Va? Sorry, hari ini lagi-lagi jadwalku padat. Ngurus berkas ke pengadilan agama, terus jemput keponakan-keponakanku di bandara. Kamu pasti mau ngegosip, ya?” Pancingku. Untungnya, aku sedang sendirian di teras depan sini. Sasya dan Carissa sudah tidur di kamar Mama. Sedang Mbak Sherly dan Mama sendiri ada di ruang televisi. Bang Tama dan kedua orang anaknya kini di rumah sebel
Baca selengkapnya
83
BAGIAN 83POV PAK DAYUMAAF ATAS RENCANAKU           “Mi, aku janji, secepat mungkin kita akan cangkok ginjal lagi. Mami harus semangat, ya.” Kugenggam tangan Mami dengan sangat erat. Wanita 68 tahun bertubuh kurus dengan rambut berpotongan bob yang helai demi helainya telah penuh dengan uban itu tersenyum kecil. Mami tak lagi segar bugar seperti dulu kala. Gagal ginjal kronis yang telah dia alami selama tujuh tahun belakangan sempurna mengubah hidupnya yang semula bergairah.          “Sudahlah, Dayu. Mami sudah hampir 70 tahun. Apa yang kamu harapkan dari lansia tidak berguna ini?” Tangan kanan kurusnya menyentuh pipiku. Kutatap dalam ke arah wajah Mami. Namun, yang muncul di bola mataku malah selang-selang yang terpasang di lengan kirinya. Selang-selang yang mengalirkan darah dari tubuh Mami ke mesin hemodialisa itu membuatku
Baca selengkapnya
84
BAGIAN 84PRIA ITU SANGAT MENCURIGAKAN                   Pukul sembilan pagi Chris menjemput ke rumah Mama. Pria perlente yang hari ini tumben-tumbennya mengenakan kaus putih berkerah dengan motif garis-garis biru navy di bagian dada plus celana jins ¾ itu tak hanya membawa tangan kosong. Banyak sekali oleh-oleh yang dia bawa. Chris membawakan sekotak bolen pisang cokelat, sekotak brownies panggang, dan sekotaknya lagi lapis roll Surabaya. Tiga jenis panganan manis itu kesemuanya masih teraba hangat olehku. Repot-repot sekali dia.          “Kita ke rumah keluarganya Wahyu, seperti janji kemarin.” Begitu alasannya.          Aku yang agak meragu terhadap Pak Dayu maupun Chris rasanya antara mau dan enggan menuruti keinginan pria blasteran tersebut. Ha
Baca selengkapnya
85
BAGIAN 85PANTI ASUHAN DAN WAJAH LEBAM                   Sepanjang sisa perjalanan, aku hanya sanggup bungkam. Tak ada lagi kalimat yang mampu kuucapkan. Tinggal tersisa sebuah kecemasan yang menyesakkan dada.          Chris pun setali tiga uang. Melihatku termenung diam, dia tak sedikit pun memancing percakapan kembali. Derai tawanya lenyap ditelan permainan saxophone oleh Kenny G yang menemani perjalanan kami.          Tibalah aku dan Chris di halaman rumah orangtua Wahyu. Terasnya tampak sepi. Pintu pun tertutup rapat. Jantungku jadi deg-degan sendiri kala harus turun dari mobil. Bersitegang yang sempat mewarnai perjumpaanku dengan Bu Laras tempo lalu, membuat begitu canggung apabila harus kembali bertemu.        &nbs
Baca selengkapnya
86
BAGIAN 86DIA MERELAKAN SEGALANYA           “Kedatangan kami ke sini, murni untuk silaturahmi dan meminta maaf atas kejadian yang telah membuat hubungan keluarga ini renggang.”          Perkataan Chris sungguh membuat kedua pipiku panas sebab merasa malu. Aku hanya bisa tertunduk di hadapan Bu Laras dan Ridwan yang masih saja terlihat angkuh. Tangis penyesalah Pak Bidin yang sudah meledak sejak awal kedatangan kami ke sini pun, seolah tiada artinya buat mereka.          “Sebaiknya kalian tidak perlu repot-repot begini. Kami tahu apa yang harus kami lakukan!” seru Ridwan dengan suara yang sengak.          Pak Bidin yang duduk di sampingku hanya bisa tergugu. Beliau masih menangkupi wajah tuanya dengan telapak tangan. Sungguh, aku ta
Baca selengkapnya
87
BAGIAN 87PERTEMUAN DENGAN MAMI           “Riri! Ini kamu?”          Eva bersorak heboh. Matanya membelalak lebar saat menjumpaiku di depan ambang pintu rumahnya. Cewek 31 tahun yang tubuhnya makin tambun itu menatapku dengan ekspresi yang tak percaya.          “Lebay, ih!” ucapku sambil menerobos masuk. Buru-buru aku duduk di sofa ruang tamunya. Celingak-celinguk mencari keberadaan Tante Rina, mamanya Eva. Beliau paling heboh kalau aku bertandang ke sini. Baru di depan pintu saja biasanya sudah menawarkan brownies atau bolu kukus buatannya. Tumben sekali keadaan rumah Eva yang cukup besar ini lengang.          “Mana Tante?” tanyaku seraya melempar pandang ke Eva.        &
Baca selengkapnya
88
BAGIAN 88MENCEKAM           “Selamat datang.” Senyum pria gemuk dengan kepala depan yang semakin terlihat botak itu terulas lebar. Wajahnya tenang. Pembawaannya kalem. Dia sendiri yang membukakan kami pintu. Tak ada tanda-tanda bahwa pria itu akan menyeringai garang sebab marah. Namun, aku masih saja deg-degan luar biasa.          “M-maaf, kami terlambat, Pak.” Suara Eva terdengar gemetar. Wanita itu yang maju menjadi tameng. Sementara itu, aku hanya bisa mematung di sampingnya. Sedikit bersembunyi di balik tubuh tambun milik Eva yang sekilas terlihat gemetar. Jangan bilang kalau aku tak takut sepertinya. Sama! Bahkan degupan jantung ini sudah seperti tabuhan genderang perang yang bertalu-talu. Semoga aku tak pingsan di sini, benakku.          “Santai saja. Silakan masuk. Lang
Baca selengkapnya
89
BAGIAN 89TETES AIR MATA           Salat Magrib kali ini begitu berkesan bagiku. Untuk kali pertamanya, aku melaksanakan salat berjamaah dengan Pak Dayu sebagai imam. Keteganganku perlahan luruh tatkala suara merdu duda dengan satu anak itu melantunkan ayat-ayat suci Alquran. Bacaannya bukan sekadar surat-surat pendek seperti Alikhlas, Alfalaq, atau Annas. Beliau membaca surat Albaqarah ayat 1-10 di rakaat pertama dan surat Almulk ayat 1-30 di rakaat kedua.          Yang membuatku semakin tenang di sini adalah kehadiran Mami Yani yang turut salat berjamaah meskipun harus duduk di atas kursi rodanya. Beliau terlihat sangat saleh sekaligus baik hati. Rasa-rasanya, seperti tak mungkin apabila lansia ini memiliki sebuah niat jahat kepadaku.          Selesai salat, Pak Dayu lagi yang memimpin doa. Pria yang semp
Baca selengkapnya
90
BAGIAN 90KEJUJURAN ITU MENYAKITKAN           “Jangan hanya diam saja, Dayu. Cepat katakan semuanya kepada Riri. Akui semua yang telah kamu rencanakan diam-diam selama ini!” Mami Yani memukul lengan Pak Dayu, membuat pria itu tersentak dari lamunannya. Atasanku itu terlihat gelagapan. Tampak takut-takut memperhatikan ke arahku.          “Riri … aku minta maaf,” ujar Pak Dayu pelan.          “Untuk?” sahutku kebingungan.          “Sebenarnya … selama ini ….”          “Jangan bertele-tele! Cepat katakan saja, Dayu! Kamu harus jujur dan mau mengakui niat jahatmu!” Perkataan Mami telak membuatku semakin kaget. Syok bercampur de
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
789101112
DMCA.com Protection Status