All Chapters of Jerat Casanova Insaf: Chapter 91 - Chapter 100
118 Chapters
91. Damai
Ketukan di pintu ruang kerja Agus membuat Gendis menghentikan pekerjaannya. Agus yang baru saja pergi bersama Satyo mengunjungi proyek terbaru mereka di bidang property meninggalkan Gendis dengan setumpuk pekerjaan di hari pertama dia bekerja. "Masih banyak kerjaannya?" tanya Sakti masuk lalu menutup pintu itu rapat. Sakti tahu betul jika Gendis masih menyimpan marah padanya. Dia menyandarkan bokongnya pada sisi meja kerja Gendis. "Masih," jawab Gendis singkat. "Mau aku bantuin biar cepat selesai?" "Enggak usah, aku bisa kok." Gendis masih pokus dengan pekerjaannya. "Maaf kalo masa lalu aku mengganggu kamu—" "Enggak usah di bahas, aku maklum, aku yang salah," ujar Gendis namun matanya masih menatap layar monitor. "Dari awal aku bilang, aku mau berubah, sampai kita berada di tahap sekarang pun itu karena aku serius," ujar Sakti pelan. "Aku tau ... jadi nggak usah di bahas. Mungkin mood aku yang enggak baik. Risih aja setiap kali ada yang ngomongin masa lalu kamu," ujar Gendis ka
Read more
92. Satu Sama
Ami baru saja keluar dari kamar mandi ketika Mbok Sari masuk ke kamarnya. Pengasuhnya sejak kecil itu tersenyum padanya, Ami malah heran melihat wanita tua itu tersenyum sumringah. "Kenapa, Mbok?" tanya Ami sambil mengibaskan rambutnya yang basah dengan handuk. "Niku wonten sing madosi, kadose dereng pernah teng mriki. Ganteng ... Mbok ngantos kesupen, nek Mbok sampun sepuh." (Itu ada yang cari, kayaknya belum pernah datang kesini. Ganteng ... Mbok sampe lupa kalo diri Mbok sudah tua.) Mbok Sari tersenyum malu. "Siapa sih?" Ami penasaran. "Ndak tau, lagi ngobrol sama ayahnya Mbak Ami di teras," ujar Mbok Sari khas dengan logat Jawa nya. Ami cepat-cepat berpakaian, lelaki mana tiba-tiba datang ke rumahnya tanpa memberi kabar terlebih dahulu, mana lagi sampai bisa ngobrol dengan ayahnya, itu suatu hal yang sangat jarang terjadi. Ami keluar dari kamarnya, melangkah menuju teras rumah. Sayup terdengar tawa sang ayah begitu renyah, gadis itu semakin mengerutkan keningnya. Siapa lelak
Read more
93. Calon Mertua Idaman
Gendis memasuki ruang kerja Satyo, hari ini terhitung sudah tiga hari Gendis bekerja di perusahaan itu. Perusahaan yang tadinya hanya bergerak di bidang batu bara seiring waktu berjalan merambah hingga bidang lainnya. "Ada beberapa kata yang masih harus kamu revisi, selebihnya sudah bagus. Kamu belajr cepat juga ternyata," ujar Satyo sambil memberikan beberapa berkas yang sudah di tanda tangani dan beberapa lagi harus di perbaiki oleh Gendis. "Ini vitaminnya dan ini obatnya, kemarin obatnya tidak Bapak minum. Jadi sekarang saya pastikan Bapak harus meminumnya sebelum saya tinggal pergi." Gendis menyodorkan mangkuk kecil berisi beberapa suplemen, vitamin dan obat jantung serta tekanan darah tinggi yang harus Satyo minum setiap hari. "Sakti tau?" tanya Satyo. "Tidak, Pak. Hanya saya dan Pak Agus yang tau." "Saya minta kamu merahasiakan ini dari keluarga saya." Satyo meneguk satu kapsul terakhir. "Saya nggak mau membuat mereka khawatir, terlebih istri saya." "Baik, Pak." Gendis m
Read more
94. Haru
Sakti dan Satyo sedang berbincang di taman samping rumahnya setelah makan malam bersama Gendis, Hanna dan Tari. Obrolan malam itu mengenai undangan Satyo untuk mendatangkan keluarga Gendis ke Jakarta. "Kabari keluarganya, minta datang kemari. Papa nggak mau terlalu lama kalian berpacaran. Nanti malah yang pengennya kamu," ujar Satyo melirik sinis pada Sakti. "Jus nya, Pa." Gendis datang membawa dua gelas berisi jus strawberry yang di minta oleh Satyo tadi. "Makasih," jawab Satyo. "Sayang, kita harus kabari ibu sama bapak untuk datang ke Jakarta. Papa minta kita segera menikah," ujar Sakti tersenyum bahagia. "Secepatnya?" "Iya, kenapa? jangan bilang kalian mau memundurkan jadwalnya." Satyo meletakkan gelas jus ke atas meja di sampingnya. "Oh nggak, Pa. Bukan begitu," kata Gendis kelabakan. "Maksudnya, nanti Gendis minta bapak sama ibu datang." Tangan gadis itu begitu dingin, berbicara dengan Satyo di rumah dengan di kantor menurutnya lebih membuat jantung berdebar jika berbicara
Read more
95. Kita Harus Bersabar
Gendis menarik koper besar milik Wati dari teras hingga masuk ke dalam kamar tamu. Kamar itu sudah dirapikan Bik Sumi dari jauh-jauh hari. "Ibu sama bapak nanti tidurnya di sini, Gendis di atas." Gendis meletakkan koper dekat dengan lerai pakaian. "Kamar mandinya ada di sini," ujar Gendis lagi membuka pintu kamar mandi. "Jadi kamu tinggal di rumahnya Nak Sakti, Dis?" Wati duduk di sisi tempat tidur. "Enggak seperti yang ibu pikirkan. Sakti tinggal di apartemen, kadang kita lebih sering di rumah keluarga Anggara. Jangan mikir yang macem-macem ah." Gendis tersenyum. "Bapakmu itu kalo sudah ketemu Sakti ada aja yang di bahas." Wati memperhatikan Gendis dengan seksama, matanya turun pada lingkaran leher Gendis dengan seuntai kalung yang menghias lehernya. "Oh iya, ini dari Mama Hanna. Dia kasih ke Gendis, Bu. Katanya dengan kalung ini, itu artinya Gendis sudah di terima di keluarga mereka." "Cantik sekali, Dis. Ibu malah nggak ada kasih apa-apa ke kamu," ujar Wati dengan ekspresi waj
Read more
96. Proses Adat
Gendis mematut dirinya di depan kaca besar di dalam kamarnya. Tubuhnya kini berbalut kain berwarna hijau dipadukan dengan roncean melati sebagai slayer penutup bagian bahu. Gadis itu sudah menunggu kurang lebih setengah jam dan akhirnya di jemput oleh sang Ibu untuk turun ke bawah melakukan prosesi siraman adat Jawa. Acara adat itu begitu khidmat, padahal dalam bayangan Gendis pernikahannya akan berlangsung sederhana namun Satyo menolak permintaan calon menantunya itu. "Relasi Papa ini banyak, belum lagi relasi Sakti dan keluarga besar Anggara, enggak mungkin kalo kita rayakan hanya secara sederhana," ujar Satyo pada Gendis kala itu dan diiyakan oleh Hendro. "Lagi pula Dis, keluarga di kampung juga pengen liat kamu nikah. Pakde itu kan saudara Bapak satu-satunya, walau bagaimanapun kita tetap harus mengundang dia dan keluarganya kemari apalagi keluarga ibumu itu," ujar Hendro. "Mama juga sudah ada pembicaraan dengan pihak wedding organizer nya, Dis. Untuk semua acara dilakukan di d
Read more
97. Satu Kamar Berdua
Mbok Sari muncul dari balik pintu, sosok gagah itu tersenyum padanya. Bukannya bertanya dimana orang yang dia cari, namun mata Arya mengamati Mbok Sari yang terdiam terpaku. Ini sudah kesekian kalinya seperti ini semenjak tiga minggu belakangan Arya sering menampakkan diri kediaman Hartono, rumah Ami. "Mbok, Ami ne wonten?" (Mbok, Ami nya ada?) tanya Arya pada wanita tua itu. "Eh, mbak Ami dereng kondur, siweg nganter bapak teng rumah sakit," (Eh, Mbak Ami belum pulang, dia mengantar bapak ke rumah sakit.) jawab Mbok Sari. "Nopo mbak Ami mboten maringi kabar kalian mas Arya?" (Memangnya Mbak Ami tidak memberi kabar pada Mas Arya?) Arya menggeleng. "Sakit? Ayah sakit?" Sakit apa?" "Mboten sakit, namung cek up mawon. Monggo mas Arya, mbok damelke teh, rumiyin kalian ngentosi Mbak Ami." (Tidak sakit, hanya cek up saja. Silahkan masuk Mas Arya, Mbok bikinin teh dulu, sambil menunggu Mbak Ami.) Arya masuk ke dalam rumah, duduk di sofa ruang tamu itu sambil menggulir layar gawainya. Be
Read more
98. Pengantin Baru
Sakti menunggu kedatangan Gendis di ujung karpet bertabur bunga-bunga indah yang berhadapan dengan meja altar pernikahan mereka. Dengan memakai setelan jas berwarna hitam, Sakti berdiri dengan gagahnya menanti pujaan hati. Semua mata menatap Gendis saat masuk ke dalam ruangan itu, menggunakan gaun pengantin berwarna putih yang begitu sederhana namun tampak elegan Gendis melemparkan senyuman pada para tamu yang hadir. Semakin langkahnya mendekat kepada Sakti, semakin tak beraturan detak jantungnya. Sakti mengulurkan tangannya menyambut kedatangan Gendis. Gendis menarik sudut bibirnya, tersenyum tipis pada calon suaminya itu. "You're so beautiful," bisik Sakti saat tubuh Gendis mendekat. "Makasih," jawab Gendis nyaris tak bersuara namun wajahnya merah merona. Suara Sakti menggema di udara kala mengucapkan janji suci pernikahannya. Suasana haru mewarnai sore itu, tetesan air mata Hanna yang tak kuasa melihat anak lelaki satu-satunya itu akhirnya mengakhiri masa lajang yang dulu sempa
Read more
99. A Thousand Year
Alunan musik mengalun syahdu, para tamu undangan semakin malam semakin berkurang. Keluarga besar Anggara dan Hendro Warsito duduk bersama menikmati malam panjang pernikahan anak mereka. Gendis pun ikut bersenda gurau di sana, tidak terkecuali Arya, Ami, dan Andi yang sudah di anggap sebagai keluarga. Sakti duduk di kejauhan, memandangi orang-orang yang di cintai sedang berkumpul. Kehidupan seperti ini tadinya tidak pernah dia sangka-sangka. Takdir memang selalu menyimpan misteri, entah berakhir bahagia atau sebaliknya. Gendis melangkahkan kakinya menuju lelaki yang sudah menanggalkan jas-nya di kursi sebelah. Gendis tersenyum, wanita itu begitu anggun malam ini. "Mau dansa?" tanya Gendis mengulurkan tangannya pada Sakti. "Dengan senang hati," ujar Sakti lalu berdiri merengkuh pinggang mungil istrinya. Denting piano lagu A Thousand Year, Christina Perri mengalun lembut mengiringi langkah mereka. Gendis meletakkan kepalanya di dada Sakti, degub jantung Sakti begitu tenang, begitu ny
Read more
100. Melepas Rindu
Gendis buru-buru membuka pintu rumahnya saat mobil Sakti memasuki pekarangan rumah mereka. Hari ini tepat satu minggu pernikahan mereka, dan hari ini Sakti pulang dari Bandung menemani Satyo melakukan perjalanan bisnis. Gendis berdiri di ambang pintu dengan senyuman, menunggu suaminya yang tiga hari tidak pulang setelah hari pernikahan mereka. "Kok belum tidur?" Sakti membelai lembut kepala Gendis dan menciumnya. "Nunggu kamu," ujar Gendis. "Aku bawain kamu sesuatu, tapi biar nanti Bik Sumi aja yang ambilin." "Bik Sumi udah tidur, biar besok pagi aja." Gendis bergelayutan manja di lengan Sakti, rindunya sudah menggebu. "Kamu mau mandi sekarang apa nanti? Apa mau makan dulu?" tanya Gendis sebelum mereka menaiki anak tangga menuju kamar. "Aku udah kenyang, tadi sebelum ke rumah ... Papa ngajakin makan," ujar Sakti. Nampak wajah lelah tersirat di sana. "Capek ya?" "Banget, Papa pake nggak mau di supirin supir segala jadi kemana-mana aku jadi supirnya." Sakti membuka pintu kamar,
Read more
PREV
1
...
789101112
DMCA.com Protection Status